• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Fungsi Uang Menurut Ekonomi Islam Dan Kapitalisme

    1

    Posted on : 22-09-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Agustianto

    Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indoneia (IAEI)


    Kesalahan besar ekonomi konvensional ialah menjadikan uang sebagai komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan konvensional dan lembaga keuangan lainnya juga menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian kredit. Instrumen yang digunakan adalah bunga (interest). Uang yang memakai instrumen bunga telah menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang di muka bumi ini. Kesalahan konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Ekonomi berbagai negara di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi.

    Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti yang dianut kapitalisme. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain.  Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara.

    Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Ekonomi kapitalisme menghalalkanspekulasi mata uang. Kegiatan spekulasi inilah yang telah merusak ekonomi dunia dalam bentruk krisis keuangan hebat.

    Islam  sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’ al muqayadhah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan – kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.

    Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.

    Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu Aku menukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.” (H.R Bukhari Muslim).

    Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Saw memerintahkan agar menjuall kurma (yang kurang bagus) terlebih dahulu, kemudian uang penjualan itu digunakan untuk membeli kurma yang berkualitas bagus tadi. Jadi Nabi saw melarang menukar secara langsung  2 sha’ kurma kurang bagus dengan 1 sha’ kurma yang berkualitas bagus.

    Rasulullah Saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, karena itu beliau menganjurkan penggunaan uang sebagai alat tukar.

    Sementara itu, menurut Dr. Rif at al-‘Audi, dalam bukunya Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin, bahwa uang merupakan konsep aliran (flow concept) yaitu yang tidak bisa dijadikan komoditas, sedangkan capital bersifat konsep persediaan (stock concept). Dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian seperti yang diungkapkan oleh Frederick Mishkin dalam bukunya Economiss of Money, Banking and Financial Institutionas.

    Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual  yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction).

    Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat.

    Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar (medium of exchange) yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai, “tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-olah dilukiskan dengan memiliki uang. Hal ini yang memacu ekonomi konvensional bergerak dengan cepat di sektor keuangan.  sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value / wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value).

    Banyak lagi perbedaan yang prinsipil di antara kedua konsep ekonomi tersebut, antara lain : bahwa menurut Islam uang adalah public good, sedangkan dalam ekonomi konvensional adalah private goods. Uang sebagai public good, berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang dinar dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan berarti menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu berakibat buruk bagi perekonomian. Jadi, menurut ekonomi Islam, uang adalah flow concept, bukan stock concept sebagaimana dalam ekonomi konvensional.

    Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’ Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang (dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu habis dimakan sedeqah/zakat

    Keseimbangan Sektor riel dan moneter

    Perbedaan mendasar system ekonomi Islam dan kapitalisme adalah ekonomi Islam memiliki prinsip real based economy, sedangkan system kapitalisme menganut monetery based economy. Ekonomi Islam yang berbasis sector riil, mengharuskan  setiap aktivitas moneter harus terkait dengan sector riil dan berjalan seimbang dengan sector riil tersebut . Sedangkan ekonomi kapitalisme yang berbasis moneter, menkonsepsikan  sector riil selalu terpisah dengan sector riil.

    Oleh karena itu, dalam ekonomi Islam jumlah uang yang beredar, bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Dalam ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar ditentukan di dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel. Atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Ibnu Taymiyah pada tahun 1250an, sudah menjelaskan dengan canggih teori ini. Menurutnya, penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas-perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka. Di sini Ibnu Taymiyah menjelaskan hubungan jumlah uang yang beredar dan volume transaksi, dalam rangka menjamin harga yang adil. Dalam kaedah fikih ekonomi makro disebutkan Ta’alluq al-qitha’i al-maliyah bi qitha’il wa’qiiyyah (Terkaitnya sector moneyer /financial dengan sector riil).

    Jadi, dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riel. Disinilah bedanya dengan ekonomi konvensional yang memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.

    Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

    Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.

    Sekedar ilustrasi, dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang. (Republika, 18-8-2000). Ini fenomena yang terjadi sebelum tahun 2000, belum kita lihat fakta yang semakin mengerikan pada tahun 2010an.

    Dalam sebuah seminar di STAN Jakarta, di mana saya dan Dr. Aviliani ketika itu sebagai pembicara, beliau mengatakan, bahwa perbandingan transaksi sector riil dan sector keuangan telah membengkak secara spektakuler, yakni 1 banding 3000. Ini Artinya, jika transaksi bisnis riil hanya 1 triliun US dolar setahun, maka transaksi derivative di sector keuangan 3000 kali lipatnya, yakni sebanyak 3000 triliun US dollar dalam setahun. Percepatan ini terjadi dalam 6 tahun belakangan ini.

    Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.

    Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.

    Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.

    Kegiatan bisnis yang memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktek riba. Istilah kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai riba, maysir dan gharar. Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena dosanya tak termaafkan. Dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini. Jika sebuah negara terjun ke jurang krisis, maka ratusan juta bisa menderita, Bayangkan jika 10, 20 atau 30 negara diterpa krisis, berapa milyard umat manusia yang menjadi sengsara dan makin miskin akibat sistem yang salah, sistem yang menghalalkan riba, maysir dan gharar. Oleh karena jahatnya transaksi derivatif, maka  George Soros menyebutnya sebagai hydrogen bombs, sementara Warren Buffett menjulukinya sebagai financial weapons of mass destruction

    Transkasi derivatif telah menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menciptakan mega-catastrophic yang dapat meluluhlantakkan sistem finansial global. Hal ini disebabkan ekspansi derivatif telah menciptakan bubble yang sangat besar dalam ekonomi dunia.

    Para ekonom dan pakar keuangan telah mengidentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif menjadi punca dan penyebab utama semua bencana ekonomi besar yang terjadi sejak tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gharar (derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis keuangan dan perbankan di tahun 1987

    Bisnis derivative ini jugalah  menjadi penyebab terjadinya krisis finansial Asia 1997/1998; penyebab kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital Management (LTCM) tahun 1998; ambruknya bank dagang tertua Inggris, Barrings Bank; kolapsnya Enron; pemicu krisis ekonomi Argentina; serta menjadi pemantik krisis keuangan dan ekonomi global saat ini. Hal ini terjadi karena, menurut Kavaljit Singh (2000), transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi wujud, malahan menjadi instrumen spekulasi.

    Upaya saat ini yang banyak dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi dan supervisi yang sophisticated (Bisnis, 20 Maret). Namun, Menurut Aziz Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi “komoditas” dan membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.

    Komoditisasi risiko membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan, mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya, sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on options, dan lain-lain.

    Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang hanya US$60 triliun.
    Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini.

    Akibat pemisahan itu ekonomi dunia di bawah hegemoni kafitalisme sangat rawan krisis, khususnya negara-negara berkembang. Jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel. Saat ini, peredaran uang untuk sektor riel dalam satu tahun, sama dengan peredaran uang dalam transaksi maya (derivatif) dalam satu hari. Demikianlah, mencoloknya perbandingan antara sektor riel dan sektor finansial.

    Comments (1)

    Assalamu’alaikum..

    sungguh artikel yang sangat menarik, tapi masih bnyak persoalan dalam membumikan ekonomi Islam dari tataran akademis kedalam tataran Praktis.

    contoh riilnya di indonesia, dimana pelaku ekonomi dalam hal ini lembaga bisnis Syariah masih belum memiliki market yang signifikan. hal ini banyak disebabkan oleh belum optimalnya dukungan dari pelaku bisnis itu sendiri. contohnya saja yang terjadi pada lembag keuangan, Bank konvensional yang memiliki nk perusahaan Bank Umum Syariah, malah menjadikan “anaknya” tersebut seolah-olah adalah pesaing, bukan bagian dari perusahaan yang harus didukung penuh. selain itu pada tingkat grassroot, terkadang bank syariah yang memiliki basis modal yang lebih, saling berebut pasar dengan lembaga keuangan syariah lain yang scoopnya lebih kecil, sehingga mlh memtikan geliat perkembangan LKMS tersebut. Padahal lembaga keuangan mikro merupakan lembaga yang terbebas dari transaksi derivative dan secara keseluruhan bersinggungan langsung dengan sector riil.
    perlu adanya kesadaran bersama dari semua pihak untuk membuat sebuah tatanan ekonomi syariah secara menyeluruh. pembagian sektor pasar yang adil dan pengembangan SDM yang baik.
    Perlu Usaha yang MASIV dari semua stakeholder ekonomi syariah, baik dari lembaga pemerintah ataupun institusi lain yang bergerak dalam mensosialisasikan ekonomi syariah.

    Terima kasih.

    Wassalamu’alaikum.

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition