• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Pembiayaan Ekspor Syariah

    1

    Posted on : 15-01-2014 | By : Agustianto | In : Artikel, Perbankan Syariah, Seminar & Training

     

    Pendahuluan

     

    Ajaran ekonomi syariah sangat mendorong kegiatan ekpor untuk memperkuat ekonomi sebuah Negara dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ibnu Taymiyah mengatakan, ekpor juga akan menguatkan kurs mata uang domestic. Menurut catatan sejarah Islam, kegiatan ekspor dan perdagangan international  malah telah dipraktekkan Nabi Muhammad sejak usia relatif muda. Umar bin Khattab juga selalu mengingatkan para sahabat untuk memperhatikan dan mengutamakan  kegiatan perdagangan (ekspor) dalam rangka mewujudkan struktur ekonomi yang kuat dan mandiri, yaitu ekonomi yang kuat, tidak tergantung sepihak kepada Negara lain.  Dari ungkapan Umer bin Khattab tersirat desakan  agar sebuah Negara tidak deficit dalam neraca perdagangan. Tidak mengherankan jika Nabi Muhammad mengatakan bahwa 90 persen pintu rezeki terdapat dalam dunia perdagangan (dan industri). Ini artinya, untuk menjadi Negara yang maju, harus banyak mengembangkan kegiatan industry dan perdagangan international.

     

    Bangsa Indonesia seharusnya menggalakkan kegiatan ekpor untuk membangun ekonomi Indonesia yang lebih kuat, maju dan mandiri, Salah satu upaya ke arah itu adalah mengembangkan kegiatan ekspor syariah melalui pembiayaan sector riel yang berorientasi ekspor, baik pembiayaan modal kerja maupun investasi.

     

    Pembiayaan Ekspor

     

    Indonesia Eximbank sebagai Lembaga Pembiayaan Ekpor Indonesia merupakan lembaga pembiayaan yang banyak memberikan pembiayaan kepada beberapa eksportir yang bergerak di bidang industry, seperti industri tirecord, karpet, sarung, dan batubara yang  diekspor ke Negara non tradisional, yaitu Thailand, Australia, Malaysia, Brunei, Timur Tengah dan India. Yang dimaksudkan dengan Negara non tradisional adalah Negara di luar Amerika dan Eropa.

     

    Pembiayaan ekspor  syariah umumnya diberikan kepada segmen UKM yang beriorentasi ekspor termasuk UKM yang bergerak di bidang usaha yang menunjang ekspor. Pembiayaan kepada UKM dimaksudkan agar Lembaga Pembiayaan yang ada  dapat memberikan pemerataan baik dari sisi sebaran komoditi maupun geografis. Tujuan pemberian pembiayaan kepada UKM ekspor adalah untuk dapat membantu UKM memperkuat permodalan dan diharapkan produk yang dihasilkan mempunyai daya saing di pasar ekspor. Bahkan pembiayaan ekspor secara syariah tidak saja membiayai pengusaha domestic, tetapi juga overseas financing,yaitu pembiayaan kepada investor Indonesia yang akan berinvestasi di luar negeri untuk mendukung peningkatan devisa.

     

    Upaya yang dilakukan oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia dalam membiayai usaha dan industry yang berorietasi ekspor patut diapresiasi dan didukung, karena upaya ini selain meningkatkan ekspor Indonesia untuk mewujudkan surplus dalam neraca perdagangan, yang pada gilirannya berdampak positif bagi ekonomi makro Indonesia, juga untuk menerapkan perintah dari para ulama.

     

    Dalam perdagangan international, instrument yang paling penting adalah Letter of Credit (L/C. Menurut fatwa DSN-MUI No 35/2002, Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh LKS atau Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) untuk memfasilitasi perdagangan ekspor  dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.

     

    Akad-Akad Syariah dalam Pembiayaan Ekspor

    Bank Syariah atau Indonesia Eximbank yang memberikan pembiayaan ekspor secara syariah memberikan banyak alternatife akad, sesuai dengan bentuk, jenis, sifat  dan karakter usaha dan kebutuhan pembiayaan ekspor. Semua alternatif akad yang tersedia didasarkan dan merujuk kepada Fatwa DSN-MUI.

     

    Menurut fatwa DSN-MUI No 35/2002, Akad-akad yang dapat digunakan untuk L/C Ekspor yang sesuai dengan syariah antara lain :

    1. Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:

    a.Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;

    b.Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuer bank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah;

    c.Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam prosentase.

    2. Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan :

    1. Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;

    2. Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuer bank);

    3. Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor;

    4. Besar biaya (ujrah) harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

    5. Pembayaran biaya (ujrah) dapat diambil dari dana talangan  sesuai kesepakatan dalam akad. Artinya Bank dapat menerima ujrah dari nasabah eksportir  sebelum importer di Luar negeri melakukan pembayaran dan sebelum Bank menerima pembayaran melalui issuer bank.

    6. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).

     

    3.Akad Wakalah Bil Ujrah dan Mudharabah dengan ketentuan:

    a.Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir; Pemberian dana pembiayaan ini menggunakan akad mudharabah.

    b.Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor; Untuk ini diguaan akad wakalah bil Ujrah.

    c.Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuer bank). Penagihan ini termasuk dalam akad wakalah bil ujrah tadi.

    d.Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (sight) atau pada saat jatuh tempo pada waktu yng ditentukan (usance);

    e.Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuer bank) dapat digunakan untuk:

    v -Pembayaran  biaya (ujrah);

    v -Pengembalian dana mudharabah;

    v -Pembayaran bagi hasil.

    f. Besar biaya (ujrah) harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.

     

    4. Akad Musyarakah dengan ketentuan:

    a.       Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;

    b.       Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;

    c.       Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuer bank);

    d.       Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau pada saat jatuh tempo;

    e.       Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuer bank) dapat digunakan untuk:

    v Pengembalian dana musyarakah;

    v Pembayaran bagi hasil.

     

    5.       Akad Al-Bai’ (Jual-beli) dan Wakalah dengan ketentuan:

    a.       Bank membeli barang dari eksportir;

    b.       Bank menjual barang kepada importir di Luar Negeri yang diwakili oleh eksportir;

    c.       Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir;

    d.       Pembayaran oleh bank penerbit L/C (issuer bank) dapat dilakukan pada saat dokumen diterima atau pada saat jatuh tempo.

     

    Selanjutnya menurut fatwa DSN MUI No 60/Tahun 2007, pembiayaan ekspor  oleh lembaga keuangan dapat dilakukan dengan  konsep Penyelesaian Piutang dalam Ekspor. Menurut fatwa tersebut yang dimaksud dengan Penyelesaian Piutang dalam Ekspor adalah pengalihan penyelesaian piutang dari pihak yang berpiutang kepada LKS, Dalam konteks ini terjadi pengalihan piutang dari nasabah eksportir kepada Bank, sehingga Bank-lah yang menagih piutang tersebut kepada importir (pembeli) di luar negeri. Dengan demikian LKS (Bank)  menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang (importir di luar negeri ) atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang tersebut.

    Adapun ketentuannya sebagai berikut :

    1. Akad yang dapat digunakan dalam Anjak Piutang Ekspor adalah Wakalah bil Ujrah yang dapat disertai dengan  Qardh.
    2. Pihak yang berpiutang mewakilkan kepada pihak LKS untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor dan menagih piutang kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang;
    3. LKS melakukan penagihan (collection) kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang;
    4. LKS dapat memberikan dana talangan (Qardh) kepada pihak yang berpiutang sebesar nilai piutang;
    5. Atas jasanya untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor dan menagih piutang tersebut, LKS dapat memperoleh ujrah/fee.
    6. Besar ujrah harus disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase yang dihitung dari pokok piutang.
    7. Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan  sesuai kesepakatan dalam akad. Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).

     

     

     

     

    Comments (1)

    Maasyaa Allaah (Sungguh, atas kehendak Allah, semua ini terwujud)

    Kembali ini merupakan penjelasan yang Insyaa Allaah komprehensif.

    Jika boleh saya berpendapat, terkait pelaksanaan akad qardh dan ujrah di LKS. Bukankah setiap pinjaman/qardh/dana talangan yang memberi manfaat adalah riba? Sehingga daripada menyerahkan sepenuhnya kepada officer di LKS (yang sangat mungkin dikejar target, dan mencari akad yg “mudah”) lebih baik akad qardh ditiadakan. Laa hawlaa walaa quwwata illaa billah

    Kemudian terkait pelaksanaan ba’I, bukankah ada hadis yg intinya melarang menjual barang yg belum dimiliki dan diterima penjual (LKS)? Karena hakikatnya bisa uang ditukar dengan uang dan barang tidak pernah “sempat” diterima oleh penjual (LKS). Hakikat dimiliki dapat dilakukan dengan LKS memberi DP terlebih dahulu ke eksportir dan pembayaran penuh menyusul. Laa hawlaa walaa quwwata illaa billah

    Mengingat dunia yg fana dan hanya sebuah ladang bercocok tanam amal untuk kelak mendapat pahala, penulis berharap pelaksanaan akad secara teknis operasional harus betul-betul dilaksanakan sesuai syariah, sebaiknya ada DPS Publik semacam KAP, lalu ada mistery customer ke LKS, lalu ada survey customer LKS sehingga audit sharia compliance tidak hanya dari sisi LKS (yang mungkin dikejar target) tapi juga dari sisi customer (yang mungkin lebih awam dan bersifat pragmatis, yg penting dana cair).

    WAllaahu a’lam bis-shawaab (Allaah knows best what is right)

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition