• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • OUTLOOK PERBANKAN SYARIAH 2014

    1

    Posted on : 23-01-2014 | By : Agustianto | In : Artikel, Kabar Aktual, Perbankan Syariah

     

    Oleh : Agustianto

     

    Ketua Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Pascasarjana UI

     

     

    Pada tahun 2013 pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan syari’ah di Indonesia berjalan secara organic. Data pertumbuhan perbankan syariah tidak saja memperlihatkan daya tahan di tengah gejolak krisis  keuangan global yang masih berlangsung, tetapi  juga menunjukkan pertumbuhan  yang fantastis dan prestasi performance yang baik.

    Fungsi intermediasi perbankan terus berjalan dengan baik dengan FDR  103 %. Data ini menunjukkan bahwa fungsi intermediasi perbankan syariah untuk menggerakan perekenomian, sangatlah besar.Pembiayaan yang disalurkan (PYD) tumbuh relative tinggi 32.2 %  yoy (sementara nasional hanya 23,2 %  pada Q3 2013. Pertumbuhan asset 31.8 % yoy    (sementara nasional 18,2 pada Q3 2013).

    Perkembangan dan pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia setiap tahunnya relative cukup tinggi. Hal ini tercermin dari pertumbuhan asset, peningkatan pembiayaan, ekspansi pelayanan, ( jaringan kantor yang semakin meluas menjangkau 33 propinsi di Indonesia).

     

    Menurut data Bank Indonesia (Okt 2013), kini   sudah ada 11 Bank Umum Ssyariah (BUS), 23 Bank Syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS),  dan 160 BPRS, dengan jaringan kantor meningkat 264 kantor 2.262  kantor di tahun sebelumnya menjadi 2.526 di tahun 2013, Dengan demikian jumlah jaringan kantor layanan perbankan syariah meningkat sebesar  25,31%.

     

    Aset perbankan syariah saat ini sudah mencapai  Rp 228 triliun meningkat dari tahun sebelunya  Rp Rp.179 Triliun (market share meningkat dari 4.4 % menjadi 4,8 % dari asset perbankan nasional), Sementara DPK saat ini  Rp. 163, 97 triliun (Pertengahan).

    Pertumbuhan  asset, DPK dan pembiayaan juga relative masih tinggi, masing-masingnya adalah,  aset tumbuh ± 37%, DPK tumbuh ± 32%, dan Pembiayaan  tumbuh ± 40%). Satu hal yang perlu dicatat, bahwa market share pembiayaan perbankan syariah dibanding konvensional, sudah melebihi dari lima persen, tepatnya  5,24 %.

    Jumlah nasabah pengguna perbankan syariah dari tahun ke tahun meningkat signifikan, dari tahun 2011-2012  tumbuh sebesar 36,4 %.  Kini jumlah penggunanya 13,4 juta rekening (Okt’ 2012, 36,4% –  yoy), baik nasabah DPK maupun nasabah pembiayaan. Apabila pada tahun 2011 jumlah pemilik rekening sebanyak 9,8 juta, maka di tahun 2012 menjadi 13,4 juta rekening, berarti dalam setahun bertambah sebesar 3,6 juta nasabah.

     

    Hingga Oktober 2013 jumlah BPRS di Indonesia berjumlah 160 buah dengan 399 kantor layanan. Rata-rata pertumbuhan BPRS selama 6  tahun terakhir (Januari 2008- Juni 2013) mencapai 30,49 %..Rata-rata pertumbuhan pembiayaan yang disalurkan selama 6 tahun tsb  mencapai 31,52 % setahun Penghimpunan dana BPRS dalam bentuk Deposito Rp 2,09 triliun,sedangkan tabungan sebesar  Rp 558 milyar. Portofolio penyaluran dana didominasi pembiayaan murabahah 79,67 5, Bagi hasil  12,25 %, selebihnya ijarah multi jasa (5,31%) dan qardh 2,10 %) (Outlook Ekonomi Syariah 2014, MES)

     

    Dengan pertumbuhan yang besar tersebut, maka akan semakin banyak masyarakat yang terlayani. Makin meluasnya jangkauan perbankan syariah menunjukkan  peran perbankan syariah makin besar untuk pembangunan ekonomi rakyat di negeri ini. Kita punya obsesi, perbankan syariah  seharusnya tampil sebagai garda terdepan atau  lokomotif terwujudnya financial inclusion. Hal ini disebabkan karena missi dasar dan  utama syariah adalah pengentasan kemiskinan dan pembangunan kesejahteraan  seluruh lapisan masyarakat. Bank syariah harus dinikmati masyarakat luas bahkan di masa depan sampai ke pedesaan, seperti BRI. Seluruh  bentuk hambatan yang bersifat price maupun nonprice terhadap akses lembaga keuangan, harus dikurangi dan dihilangkan.

    Menurut survey Bank Dunia (2010), hanya  49 persen penduduk Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Dengan demikian masyarakat yang tidak memiliki tabungan baik di bank maupun di lembaga keuangan non bank relative masih tinggi, 52 %. Kehadiran bank-bank syariah yang demikian cepat pertumbuhannya diharapkan akan mendekatkan masyarakat kepada lembaga keuangan formal, seperti perbankan syariah.

     

    Peluang

    Prospek dan peluang perbankan syariah di masa depan sangat cerah, positif  dan tetap menjanjikan. Peluang tersebut diindikasikan oleh beberapa hal.  Pertama, dengan pertumbuhan ekonomi yang masih terbuka dan diperkirakan mencapai 5.5 % sampai 5.9% pada 2014, maka ruang bagi perbankan syariah untuk tumbuh sangat terbuka. Ekonomi domestic yang ditopang oleh konsumsi masyarakat dan investasi masih tetap menjadi motor penggerak utama roda perekonomian nasional dimana keduanya menyumbangkan sekitar 88 % dari total prosuk domestic Bruto (PDB).

    Kedua, Inflasi yang rendah sebesar 5.5% dan pendapatan per kapita masyarakat yang terus meningkat yang tentunya  mendorong peningkatan  jumlah kelas menengah baru. Indikator-indikator ini  akan meningkatkan purchasing power masyarakat sehingga mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah. Pertumbuhan pembiayaan  bank syariah diperkirakan sebesar  40% pada tahun depan.

    Ketiga, sejalan dengan itu, ekonomi Asia juga menunjukkan ketahanannya yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi rendah, sistem keuangan yang sehat, dan keseimbangan fiskal yang sehat. Semuanya menunjukkan hal yang positif bagi pertumbuhan perbankan syariah di masa depan

     

    Keempat, optimisme  pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia, ditopang oleh kondisi ekonomi Indonesia yang tetap baik.

     

    Berdasarkan agregat makro tersebut, perbankan syariah mempunyai opportunity yang besar untuk terus dapat berekspansi dan berkembang, dengan berbagai kebijakan yang produktif untuk mendorong pertumbuhan perbankan syariah, seperti leverage model perbankan syariah, inovasi produk, peningkatan layanan, seperti kemudahan transkasi, (utamanya payment),   perluasan jaringan kantor, peningkatan teknologi informasi, dsb

    .

    Proyeksi

    Menurut proyeksi moderat Bank Indonesia, asset perbankan syariah pada tahun 2014 menjadi Rp 283 triliun, tumbuh sekitar Rp  55 triliun (24 %)  dari sekarang yang masih Rp 228 triliun. Sedangkan proyeksi  optimis asset bank syariah sebesar 311 triliun, tumbuh sekitar 83 triliun (36,4%). Proyeksi moderat di atas,tampaknya sangat mungkin dicapai, bahkan menurut prediksi saya, angka itu akan terlampaui di akhir tahun 2014 nanti. Pada tahun 2014 diprediksikan pertumbuhan pendanaan (funding) akan lebih ketat dibandingkan pembiayaan, terutama dana-dana  murah. Namun demikian, kita optimis pengembalian dana ONH (Ongkos Naik Haji)  dari penempatan di sukuk ke perbankan syariah akan mendongkrak jumlah dana DPK di bank syariah, karena itu penempatan kembali dana ONH ke pangkuan syariah  sangat dinantikan oleh seluruh masyarakat ekonomi syariah dan masyarakat muslim yang memahami manfaat  dana haji untuk kemaslahatan umat.

    Tantangan Bank syariah

    Perubahan yang akan mewarnai perkembangan dan pertumbuhan industry perbankan ke depan akan semakin dinamis sehingga akan mempengaruhi strategy dan business model industry perbankan syariah.Dalam konteks ini, terdapat  tiga  hal utama yang akan mewarnai perkembangan dan pertumbuhan indutstri perbankan, yang masing masing menuntut dukungan kebijakan yang tepat.

    Factor pertama, seiring peningkatan jumlah penduduk usia produktif serta membesarnya kelompok kelas menengah, konsumen perbankan syariah akan menuntut layanan yang lebih cepat, flexible, dengan produk yang semakin variatif, sebagaimana halnya dengan bank konvensional, termasuk interchangeability dari instrument pembiayaan syariah  dengan instrument pasar uang dan pasar modal syariah . Maka diperlukan pengintegrasian produk perbankan syariah dengan produk pasar uang dan pasar modal dalam upaya memperdalam instrument keuangan syariah  di pasar keuangan domestic. Hal ini membawa konsekuensi penigkatan risiko, dank arena itu perlu disiapkan berbagai perangkat mitigasinya.

    Faktor kedua, perbankan syariah harus siap meningkatkan penyaluran pembiyaan  investasi terutama di sektor manufaktur, energy, dan infrastruktur, dalam rangka memperbaharui dan merevitalisasi kapasitas perindustrian sehingga dapat menghasilkan produk-produk dengan nilai tambah tinggi. Oleh karena itu kitamengharapkan OJK me-review ketentuan terkait prinsip ke hati-hatian dalam proses pemberian pembiyaan agar dapat menyesuaikan dengan peningkatan kompleksitas produk dan usaha bank, serta mengantisipasi perubahan structural dalam perekonomian nasional. Alhamdulillah, Ketua OJK Muliaman D Hadad, sudah memiliki komitmen yang kuat untuk itu, yang disampaikannya pada acara Annual Financial Executive Gathering 2014, di Hotel Syahid Jakarta.

    Perbankan syariah juga harus mampu merespon dengan baik tuntutan yang muncul, termasuk ekspansi pembiayaan keberbagai sektor ekonomi yang sebelumnya belum tersentuh pembiayaan (uncharted territory). Dalam pelaksanaannya, respon bank syariah tetap harus memenuhi criteria aman baik dari sisi kehati-hatian pemberian pembiayaan  maupun kesesuaian dengan aspek syariah.

    Faktor ketiga, perubahan lanskap regulasi industri perbankan syariah yang menuntut reformasi yang komphrensif, mencakup antara lain struktur permodalan, likuiditas, governance, guna menurunkan probabilitas kegagalan institusi keuangan syariah

    Namun, di tengah keterbatasan modal domestic dan kecenderungan global yang membatasi keterlibatan modal asing pemenuhan peningkatan permodalan menjadi tidak mudah, Salah satu alternative peningkatan permodalan bank syariah adalah melalui pemupukan modal secara organic. Untuk itu, diperlukan komitmen dari pemilik dan pengurus bank agar dapat menyeimbangkan antara kebutuhan pembagian dividen dan pembelian remunerasi dalam upaya peningkatan permodalan institusi. Alternative penguatan modal lainnya adalah dengan mendorong perbankan untuk memanfaatkan intrumen pasar modal syariah

    Selain tiga tantangan besar di atas, tantangan perbankan syariah yang sudah di depan mata adalah MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada 2015. Perbankan syariah harus menyiapkan diri untuk menghadapi terbentuknya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tersebut, mengingat Indonesia merupakan pasar potensial dengan ruang pertumbuhan yang sangat luas serta pencapaian kinerja yang lebih baik dibandingkan perbankan di negara lain.

    Sebagai contoh, return on asset perbankan Indonesia pada 2012 secara umum mencapai 3%, sedangkan perbankan Singapura dan Malaysia masing-masing hanya 1% dan 1,5%. Demikian pula dengan return on equity, perbankan Indonesia mencapai 21% jauh lebih tinggi daripada kedua negara tetangga tadi yang hanya 12% dan 17%. Kondisi ini tentunya akan menjadi daya tarik bagi bank/investor asing untuk masuk ke Indonesia. Perbankan syariah tidak boleh kalah bersaing dengan perbankan asing yang mulai menyerbu Indonesia.

    Kelima, dalam mengembangkan dirinya menjadi industry perbankan syariah yang unggul, perbankan syariah harus kreatif menciptakan inovasi produk sesuai dengan kebutuhan bisnis nasabah yang senantiasa berubah cepat. Jangan sampai, peluang-peluang besar dilepaskan hanya karena kekurang dalaman knowledge tentang syariah berwawasan maqashid , atau kekakuan dalam berijtihad keuangan. Regulator diharapkan bersikap akomodatif dan cepat dalam merumuskan regulasi yang kondusif untuk mendukung inovasi produk. Misalnya, produk Margin During Contruction (MDC), pembiayaan multiguna, Musyarakah Mutanaqishah, treasury products (i.e. hedging), PRKS yang fleksibel, pasar uang syariah dengan komodity syariah, sindikasi pembiayaan dengan bank konvensional, leverage model, dan sebagainya. Regulator juga seharusnya mengakomodasi akad-akad yang terjadi dalam sejarah Islam, seperti bay’ wafa’, bay istighlal, bay istikjar, bay’ tawarruq fiqhiy, dan sebagainya. Asal jangan bay’ ‘inah dan tawarruq munazzam, karena bay ’inah dengan tegas dilarang dalam 5 hadits Nabi Saw.

    Keenam, SDM adalah pilar utama pengembangan perbankan syariah. Penambaahan SDM yang kompeten dengan jumlah yang cukup menjadi tuntutan mutlak. Karena itu,manajemen bank syariah harus memprioritaskan penciptaan SDM yang berkompeten dan berkualitas ini, dengan terus menerus mengikuti training dan workshop atau kuliah pascasarjana.

    Ketujuh, Tantangan berikutnya adalah perbaikan kualitas pelayanan perbankan syariah agar dicapai tingkat exellence. Kualitas pelayanan perbankan syariah harus setara, bahkan melebihi pelayanan konvensional.

     

    Kedelapan  Pemanfaatan technologi IT untuk mendukung layanan,kemudahan akses pembayaran (internet banking, sms banking)  serta  terciptanya produk-produk baru.

     

    Kesembilan, pelayanan pembiayaan kepada sektor UMKM dan pembiayaan produktif, harus diprioritaskan, guna mendorong pertumbuhan ekonomi  yang inklusif yang menyentuh masyarakat secara luas. Upaya ini dapat ditambah dengan membangun linkage program dengan lembaga keuangan mikro syariah, seperti KJKS, BMT dan BPR syariah. Jumlah BMT yang mencapai 5000-an, bisa dijadikan sebagai shadow banking untuk menjangkau lapisan masyarakat yang paling bawah, sehingga perbakan syariah berada di garda depan dalam mewujudkan visi  financial inclusion.

    Kesepuluh,  peningkatan pemahaman masyarakat tentang produk  bank syariah dan peningkatan pemahaman dan tindakan bankers syariah yang berlandasan maqasid syariah. Edukasi dan sosialisasi, harus terus digalakkan dengan gerakan-gerakan sinergis, seperti sinergi dengan IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam), MES, FoSSEI (Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam), kerjasama dengan Ratusan Perguruan Tinggi se-Indonesia, ormas-ormas Islam,  MUI Daerah dan sebagainya.

    Kesebelas, penyediaan modal sendiri harus terus disiapkan untuk memenuhi ketentuan BI tentang multiple license dan atau ketentuan risk management. Bank Syariah harus segera meningkatkan posisinya dari Buku I menjadi Buku II. Bahkan dari Buku II menjadi Buku III, agar bisa berkembang dan ekspansi lebih luas. Namun saat ini, dari  11 Bank Umum Syariah, tidak ada bank syarah yang masuk buku III dan Buku IV, hanya tiga bank yang masuk dalam BUKU II,  selebihnya masuk kategori buku I.

    Keduabelas, bagaimana memperbesar porsi peningkatan pembiayaan ke sektor-sektor yang produktif dan beresiko rendah, seperti infrastrktur yang dibiayari APBN. Bank-Bank Syariah bisa melakukan sindikasi tidak saja sesama bank syariah tetapi juga dengan bank konvensional. Selanjutnya pembiayaan segmen konsumer akan lebih tinggi pertumbuhannya dibandingkan non konsumer. Untuk itu bank syariah harus memanfaatkan kemurahan DP pembiayaan melalui Musyarakah Mutanaqishah dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik yang 20 %, , bahkan bisa mengembangkan konsep Mudharabah Muntahiyah bit Tamlik, yang membolehkan DPnya 10 % bahkan 0 %. Celah regulasi ini harus secara cerdas dimanfaatkan oleh perbankan syariah.

    Ketigabelas, membangun brand positioning yang kuat melalui kegiatan promosi dan edukasi yang efektif serta penerapan nilai-nilai syariah sebagai faktor pembeda (differentiator) dengan system konvensional

    Keempatbelas, pembukaan outlet baru untuk mendukung peningkatan daya jangkau dan perbaikan kualitas layanan. Jadi selain mengandalkan leverage model dan office channeling, perbankan syariah juga harus ekspansi dengan pendirian outlet baru. Kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berjaringan massif harus diutamakan, seperti PT POS dalam gerakan funding.

    Arah Pengembangan Bank Syariah

    Arah pengembangan perbankan  syariah di  masa depan (2014) tergambar pada poin berikut.

    Pertama, Pertumbuhan  industri perbankan syariah yang relatif masih cukup tinggi jika dibandingkan lembaga keuangan  secara umum maupun  keuangan syariah secara global di tengah kondisi perekonomian  yang masih  dalam tahap pemulihan, membuktikan lembaga perbankan  syariah nasional  mampu mempertahankan eksistensi dan perkembangannya dalam menghadapi situasi perekonomian, walaupun memiliki tantangan dari segi SDM, produk,  jaringan dan permodalan .

    Kedua, Perubahan fungsi institusi pengawasan  dan pengaturan perbankan syariah dan Lembaga Pembiyaan Ekspor ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), juga diharapkan tetap mempertahankan kesinambungan perkembangan perbankan syariah  kedepannya.  Kerjasama yang erat antara  BI (otoritas makroprudensial) dan  OJK (otoritas mikroprudensial)  menjadi salah satu pilar penting  dari arah  kebijakan perbankan  syariah di masa mendatang.

    Ketiga, Kerjasama dan  kordinasi antar otoritas, termasuk Mahkamah Agung dan DSN-MUI, Kemenkop  seharusnya lebih dikembangkan (dioptimalkan) sebagai stakeholders penting keuangan syariah dalam pengambilan kebijakan sehingga terjadi sinergi kebijakan beserta implementasinya dalam mendorong pengembangan  keuangan syariah  yang lebih terintegrasi dan cross sector, dan  dapat membuat keuangan syariah  berkontribusi  lebih signifikan dalam perekonomian nasional.

    Keempat, Penguatan struktur industri keuangan dan perbankan untuk mendukung pengembangan & transformasi ekonomi nasional. Koordinasi dan kolaborasi mikroprudensial dan makroprudensial untuk stabilitas sistem keuangan. Pembangunan dan Gerakan Literasi keuangan Syariah melalui  Edukasi dan promosi yang lebih terintegrasi dan masif oleh segenap elemen pegiat syariah

    Penguatan struktur keuangan dan perbankan  syariah  dengan mendorong peningkatan alokasi pembiayaan produktif  & UMKM, menjadi garda depan gerakan financial inclusion serta mendorong perluasan outreach jaringan dalam melayani kebutuhan masyarakat (a.l. delivery channel, implementasi aturan jaringan kantor perbankan syariah), leverage model, dsb. Selain itu penguatan perbankan syariah di sektor permodalan dan penguatan manajemen risiko mengacu standar internasional. Terakhir  mendorong bank syariah untuk menerapkan GCG, sehingga   transparansi & governance keuangan berjalan dengan baik.

    Kelima, Kebijakan makroprudensial yang diarahkan untuk memperkuat komposisi  pembiayaan kepada sektor-sektor produktif yang mendukung peningkatan kapasitas perekonomian ; Penerapan FTV, dan larangan KPR Indent.

    Keenam ,Meningkatkan edukasi dan komunikasi produk perbankan syariah. Perlu ditambahkan bahwa faktor pengawasan yang kuat secara internal dan eksternal mutlak dibutuhkan. Jumlah dan skala bisnis bank yang beragam menyebabkan risiko yang dihadapi akan relatif beragam sehingga penguatan fungsi pengawasan regulator sebagai bagian dari early warning sistem akan menjadi kunci dalam mengantisipasi munculnya risiko sistematik yang mungkinj terjadi di masa-masa yang akan datang.

     

    Ketujuh , Mengembangkan produk yang lebih memenuhi kebutuhan masyarakat dan sektor produktif. Regulator hendaknya menjadikan maqashid syariah sebagai pedoman dalam membuat regulasi dan mengawasi bank-bank syariah.  Produk-produk yang telah memenuhi maqashid syariah dan terhindar dari risiko-risiko makro ekonomi, sepatutnya dapat diterima.Produk MDC,refinancing dan MMq seharusnya sudah bisa diterapkan secara luas di bank syariah,

    Kedelapan ,Revitalisasi peningkatan sinergi dengan bank induk dengan berbagai program seperti leverage model, dsb. Leverage model merupakan penyaluran pembiayaan syariah melalui kantor cabang induk perusahaan. Artinya bank umum syariah (BUS) akan menggunakan cabang milik bank umum konvensional dalam menawarkan produk-produk syariah. Sistem ini sebenarnya mirip dengan office channeling yang sudah berjalan, Cuma office channeling hanya terbatas pada penghimpunan dana (funding). Dengan leverage model, bank konvensional dapat menyalurkan pembiayaan syariah dengan menggunakan akad-akad syariah dan ketentuan syariah.

     

    Cara ini memiliki banyak manfaat, pertama, mendorong peningkatan pertumbuhan dan market share perbankan syariah. Sebagaimana dimaklumi, market share perbankan syariah syariah sat ini, baru sekitar 4 persen. Dengan system leverage model diharapkan ekspansi pembiayaan perbankan syariah makin besar. Kebijakan ini sangat strategis dalam mendongkrak pertumbuhan asset perbankan syariah, namun  bank syariah harus lebih agressif dalam menghimpun dana masyarakat (DPK), karena selama ini bank syariah juga kekurangan likuiditas, hal itu terlihat dari FDR bank syariah yang berada di atas 100 persen. Untuk itu dana haji wajib ditempatkan di bank-bank syariah agar likuiditas bank syariah cukup dan memadai. Kedua, leverage model akan meningkatkan efisiensi perbankan syariah karena cara ini akan  mengurangi biaya Bank Umum Syariah (BUS) dalam ekspansi pembukaan cabang. Biaya membuka cabang baru jauh lebih mahal. Dengan demikian system leverage model akan lebih efektif dan efisien dalam pemasaran produk, tanpa membuka jaringan kantor cabng baru, sehingga beban operasional bank syariah bisa turun. Selama ini BOPO bank syariah selalu lebih tinggi dibanding bank konvensional. Apalagi pemerintah OJK saat ini mendesak bank-bank agar hemat dan efisien dengan menargetkan BOPO tidak lebih dari 60 %.

    Eksplorasi dan analisis terhadap delapan   arah kebijakan perbankan syariah di atas memerlukan kajian yang lebih luas dan panjang,karena itu tidak bisa diuraikan di sini.   Kita berharap delapan  arah pengembangan tersebut dapat dijalankan dengan baik dan optimal, mengingat tantangan-tantangan  di atas yang demikian kompleks.

    Beralihnya fungsi pengawasan perbankan kepada OJK pada tahun 2014 ini memunculkan harapan kuat bahwa fungsi pengawasan pada lembaga keuangan akan lebih terintegrasi terkoneksi dan terkordinasi, terutama dalam mengantisipasi imbas krisis global yang terjadi sekarang. Peralihan di tahap awal ini hendaknya dijadikan sebagai tahap pematangan di tingkat implementasi dari semua pihak yang terlibat agar fungsi dan harapan dari terbentuknya OJK benar-benar tercapai. Beralihnyapengawasan Bank Indonesia ke OJK adalah tuntutan Undang-Undang, karena itu kita tidak perlu dan tidak ada gunanya meragukan perubahan system ini dengan melihat kegagalan Inggris. Analisis seperti itu tidak ada gunanya, karena Undang-Undangnya sudah lahir dan lembaganya sudah terbentuk. Sekarang tugas kita adalah memberhasilkan program OJK, sebagai lembaga pengawas perbankan  dan lembaga keuangan di Indoneia. Sekali OJK tetap OJK.

     

     

     

     

    Comments (1)

    […] UI . Pada tahun 2013 pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan syari’ah di … Download Agustianto » Archive » OUTLOOK PERBANKAN SYARIAH 2014 | […]

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition