• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Menghindari Middle Income Trap

    0

    Posted on : 18-02-2014 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics, Kabar Aktual

     

     

    Oleh : Agustianto

    Bagi Negara Indonesia, isu  middle income trap merupakan  kajian yang sangat  penting, karena Indonesia sebagai Negara emerging harus bisa keluar dari jebakan middle income di masa depan. Dalam ekonomi pembangunan (development economics) dan teori pertumbuhan ekonomi, isu middle income trap sudah banyak dibahas para ahli dan institusi-institusi keuangan global.

    ADB dan World bank (2012) mendefinisikan middle income trap sebagai, Countries stagnating and not growing to advanced country level. Para pakar mendefiniskannya, Growth slowdown and stuck in the middle income status (Gill and Kharas, 2007; Eichengreen et al, 2011)

     

    Bank Dunia membagi membagi negara-negara yang ada di muka bumi ini ke dalam empat kelompok. Pembagian ini didasarkan kepada tingkat pendapatan nasional kotor (GNI-Gross National Income) per capit., Kelompok pertama adalah negara miskin atau low income countries dengan GNI hingga $1.035, Kelompok kedua adalah Negara  lower middle income dengan GNI antara $1.036 dan $4.085. Kelompok ketiga adalah  upper middle income dengan GNI antara $4.086 dan $21.615 dan kelompok keempat adadalah Negara-negara kaya (high income countries) dengan GNI per capita diatas $21.616. Pada tahun 2012, tingkat GNI per capita Indonesia baru mencapai $2.420.Berarti Indonesia masih berada di kelompok kedua, yaitu  lower middle income dengan GNI antara $1.036 dan $4.085.

    ADB juga membagi membagi negara ke dalam empat kelompok, namun terdapat sedikit perbedaan angka dengan World Bank.  Kelompok pertama adalah negara miskin atau low income countries dengan GNI hingga di bawah $2.000, Kelompok kedua adalah Negara  lower middle income dengan GNI antara $2.000 dan $7.250. Kelompok ketiga adalah  upper middle income dengan GNI antara $7.250 dan $11.750 dan kelompok keempat adadalah Negara-negara kaya (high income countries) dengan GNI per capita diatas $11.750. Menurut pengelompokan ADB Indonesia juga masih berada  pada kelompok kedua, yaitu  lower middle income dengan GNI antara tahun antara $2.000 dan $7.250.

    Dengan demikian, fenomena middle income trap sebenarnya bukan isu baru dalam ekonomi pembangunan (development economics). Dalam ekonomi pembangunan, pengalaman berbagai negara yang gagal menjadi negara industri, seperti  negara-negara di kawasan Amerika Latin, menjadi pelajaran bagi Negara kita. Menurut World Bank (2012), dari 101 negara middle income di tahun 1960, hanya 13 negara yang berhasil mencapai high income countries di tahun 2008, Sebanyak 88 negara tidak beranjak dari middle income trap. Sementara itu menurut ADB  (Asean Development Bank), pada tahun 2010, dari 52 negara middle income countries, sebanyak 35 negara terjebak dalam status the middle income group, yang berarti Negara-negara ini tetap terjebak kepada middle income trap, malah 30 negara di antaranya terjebak dalam lower middle income trap.

    Penyebab utama terjebaknya negara-negara emerging kepada middle income trap adalah pelambatan pertumbuhan ekonomi, akibat pelambatan pertumbuhan produktifitas warganya (Eichengren, et.al, 2012). Pelambatan pertumbuhan ekonomi disebabkan karena upah buruh murah dan lemahnya adaptasi teknologi tinggi (asing). Negara middle income trap tidak mampu bersaing dengan Negara lain dalam upah buruh dan tidak mampu bersaing dalam menghasilkan produk dengan inovasi dan teknologi tinggi.

    Namun harus dicatat, kegagalan suatu negara untuk menjadi negara maju tidak saja disebabkan oleh factor-faktor ekonomi, tetapi juga oleh faktor-faktor yang lebih luas, seperti sosial, politik, dan budaya. Sejarah pembangunan negara-negara maju yang berpenduduk besar umumnya mengalami fase industrialisasi yang cukup panjang dalam perekonomiannya. Negara yang berpenduduk besar tidak mempunyai keleluasaan yang besar untuk cepat beralih pada sektor tersier sebagai penggerak utama ekonomi.

    Apapun tantangannya, Indonesia pada tahun 2031 harus bisa keluar dari Negara middle income trap. Untuk bisa keluar dari jebakan itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia harus bisa mencapai 8 % per tahun atau PDB per kapita tumbuh 6,7 % pertahun (Bambang Brojo, 2014).

    Untuk menghindari resiko middle income trap ini perlu disiapkan strategi dan langkah-langkah kebijakan strategis dalam jangka menengah dan panjang agar ini dapat diatasi sejak dini.

    Pertama, pembangunan  SDM yang berkualitas. Kualitas sumber daya manusia Indonesia harus ditingkatkan antara lain melalui pembangunan bidang pendidikan dan kesehatan. Keterkaitan pendidikan dan kebutuhan industry harus benar-benar match. Wajib belajar yang sekarang 9 tahun harus ditingkatkan untuk meningkatkan skills dan keterampilan SDM. Kualitas angkatan kerja yang ada sekarang sebagian besar masih pada tingkat pendidikan dasar dan SMP harus  ditingkatkan pada tingkat sekolah menengah atas,dan Perguruan Tinggi, sehingga memudahkan untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan yang dibutuhkan dalam sistim produksi. Sejarah pembangunan negara-negara yang berhasil menjadi negara maju menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia mempunyai sumbangan yang besar bagi kemajuan ekonominya.

    Urgensi akselerasi peningkatan kualitas SDM juga didorong oleh bonus demografi atau “deviden demografi” yang akan kita alami pada periode 2028-2030. Dengan peningkatan kualitas SDM, angkatan kerja produktif kita akan menjadi kekuatan yang besar dalam menggerakkan perekonomian. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia Indonesia sesungguhnya merupakan Negara besar di masa depan. Bonus demografi ini merupakan kondisi di mana proporsi penduduk kelompok usia produktif (15-64 tahun) mencapai maksimum dengan dependent ratio berada pada titik paling rendah. Kondisi demografi seperti ini disebut sebagai “bonus” karena pada kondisi inilah suatu negara dapat memanfaatkan penduduk usia produktif yang besar, sehingga dapat secara maksimal menggenjot produktivitas ekonominya. Bahkan pengamat memfokuskan perhatian kepada sejumlah negara dengan kapasitas ekonomi yang besar, prospek ekonomi yang menarik, serta kondisi demografi yang menguntungkan. Negara-negara tersebut di antaranya adalah Meksiko, Indonesia, Nigeria, dan Turki atau lebih dikenal dengan sebutan “MINT countries”.

    Kedua, mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan adil dengan memprogramkan kebijakan pengentasan kemiskinan, terutama melalui lembaga keuangan syariah, baik mikro maupun besar (bank, asuransi, pasar modal syariah). Jaminan kesejahteraan social harus diwujudkan untuk seluruh rakyat, terutama untuk masyarakat miskin. Pengaawan kepada BJPS perlu dilakukan secara ekstra. Program financial inclusion terlebih  sharia financial inclusion harus dijalankan secara bersama dan sungguh-sungguh, sehingga keberadaan lembaga keuangan syariah bisa dimanfaatkan sebesar-besarnya  untuk pemberdayaan masyarakat miskin dan masyarakat pedesaan.  Program strategi pembangunan literasi keuangan syariah  perlu dilakukan secara serius, terencana dan simultan. IAEI, MES, ASBISINDO, ABSINDO dan Assosiasi syaiah lain siap berjihad untuk gerakan nasional pembangunan literasi keuangan syariah dan implementasi financial inclusion melalui ekonomi keuangan syariah.

    Ketiga, untuk dapat keluar dari perangkap kemiskinan dan middle income trap adalah mambangun lembaga-lembaga sosial  yang credible dan produktif agar cita-cita reformasi dapat meningkatkan kemakmuran ekonomi serta kesejahteraan rakyat. Untuk membangun  ini kita harus melakukan pembangunan partai politik serta lembaga perwakilan rakyat yang berkualitas, reformasi sistem pemerintahan maupun lembaga judikatip harus dilakukan. Agar reformasi dan globalisasi ada manfaatnya, rakyat harus disiapkan kompetensi kerjanya dan unggul, sehingga tidak menjadi bangsa kuli yang tidak mampu manghadapi dunia global dan tidak bisa melakukan penetrasi pasar regional dan internasional.

    Keempat, investasi sebagai physical capital harus ditingkatkan. Peranan investasi dalam perekonomian yang pada tahun 2013 ini sebesar 31,7 % PDB masih mempunyai ruang yang besar untuk ditingkatkan mengarah pada 45% PDB dalam jangka panjang. Untuk itu, berbagai hambatan investasi harus dihilangkan dan daya tarik investasi harus ditingkatkan agar mampu bersaing dengan negara-negara tujuan investasi lainnya. Physical capital dari investasi ini akan memberikan dorongan kuat bagi pertumbuhan ekonomi.

    Kelima, mendorong peningkatan iptek dan inovasi untuk meningkatkan produktivitas kegiatan perekonomian. Upaya ini diperlukan agar nilai tambah bagi perekonomian akan semakin besar. Untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan iptek dan inovasi diperlukan antara lain peningkatan investasi dalam R&D baik dari pemerintah maupun swasta; peningkatan kolaborasi antara dunia usaha, perguruan tinggi, dan pemerintah, peningkatan akses terhadap modal ventura; dan proteksi terhadap intellectual property. Diseminasi inovasi dan iptek merupakan sarana yang harus dikembangkan di masa mendatang. Keberhasilan Korea menjadi Negara maju, karena innovasi yang luar biasa. Samsung bahkan bisa menggeser apple dan Sony, bahkan Black berry.

    Keenam, meningkatkan pembangunan industri. Umar Bin Khattab dalam kepemimpinannya sering mendesak masyarakatnya untuk produktif dan menjadi produsen, bukan konsumen belaka.  Sejarah pembangunan negara-negara maju yang berpenduduk besar umumnya mengalami fase industrialisasi yang cukup panjang dalam perekonomiannya. Negara yang berpenduduk besar tidak mempunyai keleluasaan yang besar untuk cepat beralih pada sektor tersier sebagai penggerak utama ekonomi. Sesuai dengan amanat konstitusi, industrialisasi ke depan harus memanfaatkan sumber daya alam kita agar nilai tambahnya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Strategi industrialisasi juga disusun untuk meningkatkan secara bertahap dalam jangka panjang. Stagnasi dalam industri yang terlalu lama akan menurunkan daya saing relatif dengan negara-negara lain yang menyusulnya.

    Ketujuh, reformasi structural harus dilakukan dengan membangun institusi yang lebih baik, professional dan menerapkan prinsip clean government. Sumber-sumber daya pembangunan yang luar biasa ini tidak akan berjalan efektif apabila tidak didukung oleh kelembagaan yang kondusif. Dalam kaitan itu, reformasi birokrasi perlu makin ditegakkan pada penataan fungsi-fungsi pemerintahan yang efisien. Berbagai tumpang tindih regulasi dan kewenangan baik antar sektor maupun antara pusat dan daerah perlu dihilangkan agar menunjang berkembangnya inisiatif dan prakarsa masyarakat termasuk dunia usaha. Kemitraan strategis antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan ekonomi perlu dikembangkan.

    Untuk bisa keluar dari middle income trap kita juga tidak boleh melupakan untuk tetap menjaga stabilitas makro ekonomi, nilai mata uang yang stabil, inflasi dan monetary prudence. Indonesia harus menghindari kegiatan keuangan yang mendorong gelembung ekonomi (bubble economy). Oleh karena itu kegiatan spekulasi di pasar uang dan pasar modal harus dihindari.

    Mengatasi kesenjangan pendapatan

    Dalam perspektif ekonomi syariah, upaya untuk mengatasi middle income trap bagi Indonesia tidak saja ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi semata, akan tetapi  sekaligus harus diarahkan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan secara adil agar percepatan pembangunan ekonomi dapat memberi manfaat yang seluas-luasnya seluruh bagi rakyat secara inklusif.

    Meskipun terjadi peningkatan ekonomi di beberapa Kawasan Timur Indonesia, terutama Sulawesi, kontribusi PDRB terhadap PDB antara Kawasan Barat Indonesia dan Timur Indonesia selama 30 tahun terakhir hampir tidak mengalami perubahan yang berarti. Untuk itu, proses industrialisasi harus didorong ke luar Jawa. Upaya ini harus didukung dengan peningkatan konektivitas dan sistem logistik nasional agar mendorong peningkatan pembangunan di Kawasan Indonesia Timur.

    Perhatian yang besar juga perlu diberikan pada upaya untuk mengurangi ketimpangan pendapatan. Islam sangat mementingkan pemerataan pendapatan sebagai manifestasi dari penegakan keadilan yang diperintahkan Al-Quran. “Supaya harta itu tidak beredesar di kalngan orang kaya saja” adalah landasan pembangunan ekonomi dalam Islam.

    Saat ini  Gini Ratio Indonesia sudah berada pada taraf yang mengkuatirkan, maka tanpa langkah-langkah strategis dan program strategis, ketimpangan itu akan terus menganga. Makalah wakil Menteri Keuangan, Prof.Dr.Bambang Brojonegoro (2013) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkat, dimana jumlah kelas menengah meningkat secara fantastis, namun tingkat kemiskinan juga makin meningkat, dan pendapatan masyarakat miskin tetap rendah. Meminjam syair lagu Rhoma Irama, “Yang kaya makin kaya, yang makin makin miskin”.

    Credit Suisse malaporkan, pertumbuhan jumlah orang kaya di indonesia tercepat di dunia dengan peningkatan 5 kali lipat dari dalam satu dekade. Perkumpulan Prakarsa menghitung pada 2008 akumulasi kekayaan 40 orang terkaya setara dengan kepemilikan 30 juta penduduk, lalu pada 2011 melonjak setara dengan kepemilikan 77 juta penduduk.

    Perbankan adalah entitas mayoritas yang menguasai sektor keuangan.  Jumah total tabungan di perbankan kini mencapai lebih dari Rp 3.500 triliun. Namun, kurang dari 0,6 persen pemilik rekening menguasai lebih dari 70 persen tabungan atau sekitar Rp 2.500 triliun. Artinya ketimpangan sudah makin mengkhawatirkan. Indonesia mengalami kesenjangan terburuk sepanjang sejarah, tampak rasio gini yang sudah berada diangka  0,41.

    Dudley Seers, seorang ekonom pembangunan terkenal dari Oxford, menulis The Meaning of Development pada 1970-an. Dia mengatakan, tolok ukur pembangunan ada tiga, yaitu apa yang terjadi dengan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan. Jika salah satu memburuk, tidak dapat  disebut sebagai pembangunan meski pendapatan berlipat. Anehnya, di Indonesia ketiga aspek itu  kini memburuk. Inilah yang disebut pertumbuhan tanpa pembangunan. Ekonomi tumbuh, tetapi kesejahteraan masyarakat justru terpuruk. Semoga pemerintahan baru nanti mengubah haluan pembangunan.

    Dengan demikian tugas pemerintah bukan saja meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan percapita yang tinggi menuju high income country, tetapi juga yang sama pentingnya adalah mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkeadilan.

     

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition