• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Ushul Fiqh Dan Ulama Ekonomi Syariah (Bagian II)

    3

    Posted on : 06-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Ushul Fiqh

    (Bagian II)

    Oleh : Agustianto

    Sebagai disebut pada tulisan pertama bahwa seorang ulama ekonomi syariah haruslah menguasai dan mendalami ilmu ushul fiqh. Ilmu ushul fiqh  dapat dikuasai dengan membaca, meneliti, menelaah dan mendiskusikan  buku-buku ushul fiqh. Pada  bagian pertama  artikel ini, penulis telah berjanji untuk memaparkan seratusan buku-buku ilmu ushul fiqh dan buku-buku yang terkait dengan ilmu ushul fiqh, seperti buku-buku mengenai tarikh tasyri’ dan falsafah hukum Islam.  Buku-buku  tersebut antara lain :

    1. Ar-Risalah karya Imam Asy-Syafi.iy (150 -204)

    2. Khabar Al-Wahid, Itsbat Al-Qiyas, dan Ijtihad Ar-Ra’y, ketiganya karya Isa bin Aban bin Shadaqah Al-Hanafi (wafat th 221 H).

    3. An-Nasikh Wal-Mansukh karya Imam Ahmad bin Hambal (164-241 H).

    4. Al-Ijma’, Ibthal At-Taqlid, Ibthal Al-Qiyas, dan buku lain karya Dawud bin Ali Az-Zhahiri (200-270 H).

    5. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-mu’taziliy Asy-Syafi’i (wafat th 436H).

    6. Al-Burhan karya Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini/Imamul-haramain (410-7. 478 H).

    8. Al-Mustashfa karya Imam Al-Ghazali Muhammad bin Muhammad (wafat 505 H).

    9. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy (wafat 606 H).

    10. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi (wafat 631 H).

    11. Ushul Al-Karkhi karya Ubaidullah bin Al-Husain Al-Karkhi (wafat 340 H).

    12. Ushul Al-Jashash karya Abu Bakar Al-Jashash (wafat 370 H).

    13. Ushul as-Sarakhsi karya Muhammad bin Ahmad As-Sarakhsi (wafat 490 H).

    14. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad Al-Bazdawi (wafat 482 H).

    15. Badi’un-Nizham karya Muzhaffaruddin Ahmad bin Ali As-Sa’ati Al-hanafi (wafat 694 H).

    16. At-Tahrir karya Kamaluddin Muhammad bin Abdul Wahid yang dikenal dengan Ibnul Hammam (wafat 861 H).

    17. Jam’ul-Jawami’ karya Abdul Wahab bin Ali As Subki (wafat 771 H).

    18. Al-Muwafaqat karya Abu Ishaq Ibrahim bin Musa Al-Gharnathi yang dikenal dengan nama Asy-Syathibi (wafat 790 H).

    19. At-Taqhrib karya Al-Qadhi Abu Bakr Al-Baqillani Al-Maliki (wafat th 403 H).

    20. Al-Mu’tamad karya Abul-Husain Muhammad bin Ali Al-Bashri Al-Mu’taziliy Asy-syafi’i (wafat th 436 H).

    21. Al-Mustashfa karya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asy-Syafi’i (wafat 505 H).

    22. Al-‘Uddah Fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Qadhi Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad Al-Hambali (380-458 H).

    23. At-Tamhid Fi Ushul Al-Fiqh karya Mahfuzh bin Ahmad bin Husain Abul Khattab Al-Kalwadzani Al-Hambali – murid Abu Ya’la (432-510 H).

    24. Raudhatun-Nazhir Wa Junnatul-Munazhir karya Muwaffaquddin Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdisi Al-Hambali (541-620 H).

    25. Al-Mahshul karya Fakhruddin Muhammad bin Umar Ar-Razy Asy-Syafi’i (wafat 606 H).

    26. Al-Ihkam fi Ushulil-Ahkam karya Saifuddin Ali bin Abi Ali Al-Amidi Asy-Syafi’i (wafat 631 H).

    27. Irsyadul-fuhul Ila Tahqiq ‘Ilm Al-Ushul karya Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani (wafat 1255 H).

    Kitab yang ditulis dengan metode Hanafiyah

    28. Al-Ushul karya Ubaidullah bin Al-Husain bin Dallal Al-Karkhi Al-Hanafi (260-340 H).

    29. Al-Ushul karya Ahmad bin Ali Al-Jash-shash Al-Hanafi (wafat th 370 H).

    30. Al-Ushul karya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl Abu Bakr As-Sarakhsi th 490 H).

    31. Kanz Al-Wushul Ila ma’rifat Al-Ushul karya Ali bin Muhammad bin Al-Husain Al-Bazdawi Al-Hanafi (wafat th. 482 H).

    32. Ta’sis An-Nazhar karya Ubaidullah bin Umar bin Isa Abu Zaid Ad-Dabbusi Al-Hanafi (wafat th 430 H).

    33. Al-Manar karya Hafizhuddin Abdullah bin Ahmad An-Nasafi Al-Hanafi (wafat th 701 H).

    34. At-Tamhid Fi Takhrij Al-Furu’ ‘alal-Ushul karya Jamaluddin Abdur Rahim bin Al-Hasan bin ‘Ali  Al-Isnawi Asy-Syafi’i (704-772 H).

    Beberapa Buku Ushul Fiqh Kontemporer

    35. Tas-hil Al-Wushul Ila Ilmil-Ushul karya Muhammad Abdur Rahman Al-Mahlawi Al-Hanafi (wafat 1920 M

    36. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Al-Khudhari (wafat 1927 M).

    37. Ushul Al-Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf (wafat 1955 M).

    38. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Abu Zahrah (wafat 1974 M).

    39. Ushul Al-Fiqh karya Muhammad Zuhair Abun-Nur.

    40. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Syaikh Syakir Al Hambali.

    41. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Wahbah Zuhaili.

    42. Ushul Al-Fiqh Al-Islami karya Zakiuddin Sya’ban.

    43. Ushul At-Tasyri’ Al-Islami karya Ali Hasbullah dan lain-lain.

    44. Jalaluddin Abdur Rahman, Al-Masholih al-Mursalah wa Makanatuhu fit Tasyri’, Dar Kitab al-Jani’ Cairo, 1992

    45. Abu Ya’la Muhammad Ibnu A-Husein Al-Farra’, Al-Uddah fi Ushul Fiqh, Riyadh, 1990.

    46. Ibrahim Abu Sulaiman, Al-Fikry al-Ushul, Dar Al-Syuruq Mekkah Al-Mukarramah, 1982.

    47. Masadir al-Tasyri’ al-Islami Fi ma La Nassa Fih, karya Abdul wahab al-Khallaf, Dar al-Qalam, Kuwait, 1972.

    48. Ahmad fahmi Abu Sinnah,  Al-‘Uruf Wa al-‘Adah Fi Ra’y al-Fuqaha’, Matba’ah al-azhar, Mesir, 1947.

    49. Abu Husain Al-Bashry, Al-Mu’tamad fi Ushul Fiqh, Beirut, 1982

    50. Said Ramadhan Al-Buwaithy, Dhawabith al-Mashlahah, Muassasah ar-Risalah Beirut,  1977

    51. Ath-Thufi Al-Hambaly, Syarah Al-Mukhtashar Ar-Raudhah, tt. (ada dalam buku Abdul Wahhab Khallaf),

    52. Yusuf Qasim, Ushul al-Ahkam fi al-Syari’ah, Dar al-Nahdhoh al-’Arabiyyah, Cairo, 1994

    53. Abu Ishaq Al-Syatibi, Al-I’tisham, Dar Tsaqafah al-Islamiyah, Beirut, tt

    54. Muhammad Ma’ruf  Al-Dawalibi,  Al-Madkhal Ila ‘Ilm Usul al-Fiqh, Dar al-‘ilm al-Malayin, Mesir, 1965.

    55. Huyen Hamid Hasan, Nazriyah al-Maslahah Fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Nadhah al-‘Arabiyah, Mesir, 1971.

    56. Mustafa Said, Al-Khan, Asar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa’id al-Usuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqaha’, Muassasah al-Risalah, Mesir, tt.

    57. Zakaria Al-Subari, Masadir al-Ahkam al-Islami, Sahib Muhammad Abdul Rauf; Kairo, 1985.

    58. Husein Hamid Hasan, Al-Madkhal li Dirasah Fi al-Fiqh al-Islami, Dar al-Nadhah al-‘Arabiyah, Kairo, tt.

    59. Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah Dalam Bidang Fiqh Islam, INIS, Jakarta, 1991.

    60. Hasan, Ahmad, The Doctrine Of Ijma’ In Islam, Terjemahan, Rahmani Astuti, Ijma’, Pustaka, Bandung, 1985

    61. Al-Madani, Muhammad, Mawatin al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Maktabah al-Manar, Kuwait, tt. (Edisi Indonesia, Ruang Lingkup Hukum Islam, Dalam Buku Dasar Pemikiran Hukum Islam, Terj. Husein Muhammad, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.

    62. Abu Jail Isa, Ijtihad al-Rasul, Dar Al-Bayan, Kuwait, 1969

    63. Amiur Nuruddin , Ijtihad Umar Ibn al-Khattab, Studi Tentang Perubahan Hukum Dalam Islam, Rajawali Press, Jakarta, 1991.

    64. Yusuf Qardawi,  Al-Ijtihad Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Dar al-Qalam, Kuwait, (Edisi Indonesia, Ijtihad Dalam Syari’ah Islam, Terj. Ahmad Syatary, Bulan Bintang, Jakarta, 1987).

    65. Yusuf Qardawi,  Al-Ijtihad Wa al-Tajdid Baina al-Dawabit al-Syari’ah Wa al-Hayat al-Mu’asarah, Majalah al-Ummah no. 45, Tahun IV, Ramadan 1404 H., (Edisi Indonesia, Pembaharuan Ijtihad, Dalam Dasar Pemikiran Hukum Islam, Terj. Husein Muhammad, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987.

    66. Yusuf Musa, Muhammad, Al-Ijtihad Wa Ma Hajatuna Ilaih, Dar al-Kutub al-Hadisah, Kairo, tt.

    67. Muhammad Zakaria al-Bardisi, Ushul Fiqh, Dar an-Nahdhoh al-Arabiyah, Mesir, 1969.

    68. Abdul Mujib, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Nurcahaya, Yogyakarta, 1980

    69. Ibnul Hajib, Mukhtashar al-Muntaha, Mathba’ah al-Amirah, Mesir, 1326 H.

    70. Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Ushul Fiqh, Dar At-Tauzy, Kairo, 1992.

    71. Al-Suyuti, Jalaluddin, Al-Asybah Wa al-Nazhair, Dar al-Fikri, Beirut, tt.

    72. Ali Ahmad An-Nadwa, al-Qawaid wa adh-Dhawabith al-mustakhlishah min tahrir lil al-Imam Jamaluddin Hasyriry, Syarah Jami’ al-Kabir, Mathba’ah al-Madany, Mesir.

    Tarikh Tasyri’

    Seorang ulama ekonomi syariah yang bertugas ijtihad di bidang ekonomi syariah, juga harus memiliki pengetahuan tentang ilmu tarikh-tasyri’. Kegunaan ilmu tarikh tasyri’ ini antara lain :

    1. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui prinsip-prinsip dan tujuan syariat Islam dan aplikasi (terapannya) dalam sejarah. Pengetahuan ini akan memberikan makna yang penting bagi ulama (ahli ekonomi islam) sekarang untuk menjawab tantangan problematika ekonomi keuangan modern.

    2. Melalui tarikh tasyri’ kita  dapat mengetahui tahapan-tahapan penerapan syariah sepanjang sejarah.

    3. Melalui tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui latar belakang sosio cultural ketika suatu

    hukum Islam dirumuskan.

    4. Melalui tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui sejarah ijtihad dan bagaimana ulama

    menerapkannya dalam menjawab persoalan yang muncul

    4. Melalui tarikh tasyri’ dapat diketahui sejarah munculnya qaidah-qaidah fiqh dari zaman ke zaman. Pengetahuan ini akan mendorong ulama saat ini untuk mereformulasi kaedah-kaedah baru ekonomi, baik mikro maupun makro, khususnya kedah fiqh moneter.

    5. Melalui tarikh tasyri’ dapat diketahui metode-metode ulama dalam menetapkan hukum Islam, termasuk hukum ekonomi Islam

    6. Dengan mempelajari tarikh tasyrik akan dapat memberikan pelajaran bagi ilmuan dan ulama saat ini saat ini dalam menetapkan dan merumuskan hukum, karena sejarah adalah pelajaran (’ibrah).

    7. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan murid-murid mereka dalam mengisi khazanah ilmu dan peradaban kaum muslimin. Semua itu mereka ambil dari cahaya kenabian yang dibawa oleh Rasulullah saw.

    8. Melalui kajian tarikh tasyri’ akan tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap Syariat Islam sekaligus optimisme akan kembalinya siyadah al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam kehidupan umat di masa depan.

    9. Dengan mempelajari tarikh tasyri’ akan menumbuhkan semangat untuk berijthad berdasarkan metode para ulama terdahulu, berijtihad menjawab tantangan zaman yang senantiasa berkembang. Dengan bekal ushul fiqh yang memadai, para ulama ekonomi syariah yang memahami tarikh tasyri’ akan mampu mengukir sejarah di masa kini dalam melahirkan fatwa-fatwa, mendesign akad-akad secara inovatif di LKS, dan memberikan solusi pemikiran konstruktif untuk permasalah ekonomi bangsa dan dunia, sebagaimana para ulama terdahulu.

    10. Melalui kajian tarikh tasyri’ kita dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah (komprehensifnya) ajaran Islam terhadap seluruh aspek kehidupan yang terlihat dalam sejarah peradaban umat yang agung terutama di masa kejayaannya. Bahwa penerapan syariat Islam berarti perhatian dan kepedulian negara dan masyarakat terhadap pendidikan (ilmu pengetahuan), ekonomi, akhlaq, aqidah, hubungan sosial, sangsi hukum, politik dan aspek-aspek lainnya.

    Buku-buku mengenai tarikh tasyri’ ini antara lain.

    73. Muhammad Anis ’Ubadah, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dal al-Taba’ah al-Hadisah, Mesir, 1975.

    74. Al-Badawi, Abdul Rahman, Mazahib al-Islamiyah, Dar al-‘Ilm al-Malayin, Beirut, tt.

    75. Muhammad Faruq al-Nabhan, Al-Madkhal Li al-Tasyri’ al-Islami, Dar al-Qalam, Beirut, 1977.

    76. Al-Khudari Bik, Tarikh al-Tasyri’ al-Islami, Maktabah Muhammad Bin Ahmad Bin Nabhan Wa Auladih, Surabaya, Indonesia, tt.

    77. Abdul wahab al-Khallaf, Khulasah Tarikh al-Tasyri. Al-Islami, (Edisi Indonesia, ‘Ikhtisar sejarah pembentukan hukum Islam, Terj. Ali Imran, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1981.

    78. Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Fiqhiyah, Juz II, Dar al-Fikri, Mesir, tt.

    79. Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Matba’ah Muhammad ‘Ali Subaih, Mesir, tt.

    80. Muhammad Ali al-Sayis, Nasy’ah al-Fiqh al-Ijtihad Wa At-Waruhu, Silsilah al-Buhus al-Islamiyah, Mesir, 1975.

    81. Muhammad Yusuf Musa, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Dar al-Kutub al-Qurtubi, Mesir, 1958.

    82. Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal Li Dirasah al-Tasyri’ al-Islami, Maktabah al-Quds, Bagdad, tt.

    83. Abu Zahrah, Muhammad, Ibn Hanbal Hayatuhu Wa ‘Asruhu Wa Fiqhuhu, Dar al-Fikri, al-‘Arabi, Kairo, 1944.

    84. Ahmad Hasan, The Early Development Of Islamic Jurisprudence, Terj. Agah Barnadi, Pintu Ujtihad Sebelum Tertutup, Pustaka, Bandung, 1984

    85. Ali Yafie, Disiplin Ilmu Tradisional : Fiqh, Paramadina, Seri KKA. 06/thn.I, 1987.

    86. Muslim Ibrahim Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam, Proyek PPS. PTA/ IAIN, Depag. RI., Jakarta, 1986.

    87. Noel J. Coulson, The History Of Islamic law, Edinburg, University Press, Inggris, 1964. (Edisi Indonesia, Hukum Islam Dalam Pespektif Sejarah, P3M, Jakarta, 1987).

    88. Rakhmat, Jatnika, Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam, Dalam Buku Orientasi Pengembangan Ilmu Agama Islam, Proyek PPS. PTA/ IAIN, Jakarta, 1986.

    89. TM. Sabih Al-Siddiqy, Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1981.

    Sedangkan buku-buku yang terkait dengan falsafah hukum Islam atau falsafah tasyri’ Islam dapat dilihat di bawah ini. Tetapi harus dimaklumi bahwa buku-buku ushul fiqh yang ditulis oleh Asy-Syatibi dan AlGhazali juga banyak membahas maqashid syariah. Demikian pula buku-buku ushul fiqh kontemporer, seperti ushul fiqh Abu Zahroh dan Abdul Wahhab Khallaf. Buku-buku di bawah ini, bukan buku uhsul fiqh secara spesifik, tetapi banyak mengandung pelajaran tentang falsafah hukum Islam, seperti buku :

    90. Al-Dihlawi, Syah Wali Allah, Hujjah Allah al-Baligah, I-darah al-Tiba’ah al-Muniriyah, Damaskus, 1352 H.

    91. Ibnu al-Qayyim, Syamsuddin Muhammad Ibn Abi Bakr al-Jawziah, I’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabb al-‘Alamin, Dar al-Jail, Beirut, 1977.

    92. Mahmassani, Sobhi, Falsafah al-Tasyri’ al-Islami, Dar al-Kasysyaf, Mesir, 1956. (Edisi Indonesia, Falsafah Hukum Dalam Islam, Terj. Ahmad Sujono, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1981.

    93. Qardawi, yusuf, ‘Awamil al-Sa’ah Wa al-Murunah Fi al-Syari’ah al-Islamiyah, (Edisi Indonesia, Keluasan Dan Keluesan Syari’at Islam, Terj. Rifyal Ka’bah, Minaret, Jakarta, 1988.

    94. Al-Siddiqy, T.M. Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1985.

    95. Muzhar Ata, Fiqh Dan Reaktualisasi Pemahaman Islam, Dalam Jurnal Mimbar Hukum Nomor 3 Tahun II, Yayasan al-Hikmah dan Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Dept. Agama RI., Jakarta, 1992.

    96. Yusuf Qardawi, Al-Syari’ah al-Islamiyah Khuluduha Wa Salahuha Li Tatbiq Li Kulli Zaman Wa Makan, (Edisi Indonesia, Syari’at Islam Ditantang Zaman, Posisi Dan Relevansi Hukum Islam Di Berbagai Tempat Dan Zaman, Pustaka Progressif, Surabaya, 1990).

    97. Al-Siddiqy, T.M. Hasbi, Syari’at Islam Menjawab Tantangan Zaman, Bulan Bintang, Jakarta, 1966.

    98. Syaltut, Mahmud dan Muhammad Ali al-Sais, Muqaranah al-Mazahib Fi al-Fiqh, Matba’ah Muhammad Ali Subaih, Kairo, 1953.

    99. Syarifuddin, Amir, Aktualisasi Fiqh Mu’amalah di Indonesia, Dalam Miqat, Balai Penelitian IAIN SU, Thn.XVI, Mei – Juni, Medan, 1990.

    100. Muhammad Yusuf Musa, Al-Madkhal Li Dirasah al-Fiqh al-Islami, Dar al-Fikri al-‘Arabi, Beirut, tt.

    101. Ahmad Zaki Yamani, Al-Syari’ah al-Khalidah Wa Musykilat al-‘Asr, (Edisi Indonesia, Syari’at Islam Yang Abadi Menjawab Tantangan Masa Kini, Terj. Mahyuddin Syaf, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1986.

    102. Faruq Abu Zad, Asy-Syariah al-Islamiyah Baina Mhafizin wal Mujadddin, Dar Waqaf, Cairo. tt

    Waktu yang panjang (thuluz zaman)

    Untuk menguasai ilmu ushul fiqh  secara mendalam dengan wawasan yang luas dibutuhkan waktu yang panjang karena syarat menjadi ilmuwan (ulama) itu harus dhuluz zaman (lama masanya). Hal itu ádalah logis mengingat banyaknya kitab-kitab yang harus ditelaah dan dikuasai, seperti yang telah dipaparkan sebagiannya di atas. Membaca buku ushul fiqh, tidak hanya berasal dari mazhab tertentu atau generasi tertentu, tetapi meliputi seluruh referensi ushul fiqh yang ditulis para ulama sepanjang sejarah.

    Menjadi ulama mujtahid sekaliber imam-imam mazhab memang sulit diwujudkan sekarang. Para Imam mazhab adalah mujtahid mutlak, namun menjadi ulama mujtahid di bawah tingkatan mujtahid mutlak, masih mungkin bahkan tidak terlalu sulit diwujudkan, seperti mujtahid fil masail, apalagi menjadi  mujtahid  para level mujtahid tarjih.

    Apakah saat ini sulit menemukan ulama mujtahid yang memenuhi syarat?.

    Jawabannya bisa sulit bisa mudah. Hal itu menjadi sulit jika syarat-syarat yang disebutkan ulama tidak terpenuhi, misalnya tidak bisa bahasa Arab atau tidak mendalami ilmu ushul fiqh. Jika para mahasiswa di Indonesia belum memenuhi syarat itu, maka melahirkan ulama mujtahid sangat sulit. Tetapi bagi mahasiswa yang tekun, cerdas, serius, dan bersungguh-sungguh belajar ilmu-ilmu syariah, insya Allah, menjadi ulama mujtahid itu tidak sulit. Yang penting sejumlah syarat tersebut harus dipenuhi. Biasanya, proses pendidikan menjadi ulama mujtahid dimulai dari usia yang paling dini, seperti Imam Al-Ghazali, Imam Syafi’iy, dan lain-lain.

    Untuk meresponi tingkat kemudahan melakukan ijtihad kita dapat merujuk tiga pendapat ulama besar dunia, yaitu Muhammad Rasyid Ridha, Al-Allamah Al-Hajawi, dan Allamah Ahmad Ibrahim Beyk.

    Menurut Radyid Ridha dalam kitab Tafsir Al-Manar, untuk melakukan ijtihad yang mereka sebutkan itu, bukanlah sesuatu perkara yang sangat susah. Upaya ijtihad tersebut hanya memerlukan kerja-kerja penelitian (istiqra) yang lebih kurang sama dengan kerja-kerja untuk memperoleh ijazah tinggi di bidang akademik sekarang ini. (Tafsir Al-Manar Jilid 5, hlm. 295),

    Kalau boleh dijabarkan lebih jauh, Rasyid Ridha mengatakan, bahwa seorang sarjana syariah  di Perguruan Tinggi, (khususnya para doktor atau magister-red)  adalah para ulama mujathid, tentunya jika memenuhi syarat-syarat yang disebutkan para ahli ushul fiqh. Seorang sarjana yang telah di wisuda, tetapi belum mendalami ilmu ushul fiqh atau bahasa Arab, dan syarat-syarat lainnya belum terpenuhi,  tetap saja tidak berkapasitas sebagai mujtahid.

    Ulama besar Allamah Al-Hajawi Al-Fasi, dalam Al-Fikr As-Sami’, berkata ” Untuk berijtihad dalam abad ke 20 ini, jauh lebih mudah daripada zaman dahulu. Hal ini dikarenakan buku-buku yang membahas ijtihad sangat banyak dicetak. Dunia percetakan telah memberikan kemudahan pemindahan ilmu dari zaman-ke zaman. Sedangkan para ulama terdahulu mendapat banyak kesusahan untuk mendapatkan bahan-bahan penetlitian. (Jilid 2 hlm. 439-441).

    Ulama Ahmad Ibrahim Beyk dalam buku Ilmu Ushul Fiqhnya berkata, ”Di sekeliling kita terdapat gedung penulisan yang sangat berharga (perpustakaan), baik dalam bidang tafsir, hadits dan syarah hadits yang sulit didapatkan pada zaman dahulu. Mereka pada waktu itu terpaksa merantau ke negeri-negeri yang sangat jauh utuk mendapatkan satu dua hadits. Saat ini berbagai ensiklopedi yang sangat berharga juga sudah ditulis tentang ghaibul quran dan ghaibus sunnah, begitu juga berlimpahnya  kitab ayat-ayat hukum, hadis-hadits hukum yang lengkap dengan tafsir dan syarahnya. Bahkan dalam perpustakaan pribadipun kitab-kitab itu selalu ada. Ringkasnya untuk berijithad di zaman ini adalah suatu perkara yang mudah, karena literaturnya mudah didapatkan, di banding zaman dahulu (hlm, 108).

    Ketiga ulama tersebut hidup di zaman ketika teknologi komputer ditemukan, CD menyimpan data juga belum ada, apalagi internet. Pada saat itu mereka sudah mengatakan bahwa berijtihad itu mudah. Apalagi di zaman teknologi informasi yang demikian canggih saat ini. Sudah ada Al-Maktabah Syaamilah (perpustkaan terlengkap) hanya dengan kapasitas 7 giga. Data buku-buku dalam  flash disk kecil dapat menyimpan kitab yang banyak, kalau itu dicetak dalam buku (hard copy), maka jauh lebih besar dari perpustakaan pascasarjana Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta saat ini. Teknologi informasi telah mempermudah informasi keilmuan. Apa yang terjadi belahan dunia, seperti seminar di Jeddah, di Malaysia,  di Inggris, makalahnya dapat didownload di seluruh dunia.

    Meskipun, melakukan ijtihad itu mudah menurut ulama, namun harus dicatat, untuk mengusai ilmu-ilmu syariah itu, mesti diawali sejak kecil atau usia yang sangat dini, sebagaimana para ulama terdahulu belajar sejak dini tentang syariah, bahkan sejak madrasah Ibtidaiyah (diniyyah). Menjadi ulama ekonomi syariah sebenarnya tidak bisa mendadak atau instant, karena ilmu dasar syariah harus kuat dan mantap. Menurut Imam Al-Ghazali, pada usia 12 tahun seorang anak sudah mempelajari ilmu pokok-pokok syariah, hafal Al-quran dan sejumlah hadits. Dengan demikian,  ulama ekonomi syariah sebaiknya dilahirkan dari lembaga pendidikan model salafiyah modern. Di madrasah tsanawiyah, calon ulama sudah diajarkan semua ilmu syariah dengan menggunakan bahasa Arab, bukan bahasa Indonesia,  seperti ilmu ushul fiqh, qawaid fiqh, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri’,  fiqh muamalah, bahasa Arab ; ilmu nahwu, sharf, balaghah (bayan dan badi’), ilmu manthiq,  dan sebagainya. Jadi sejak Ibitidaiyah, calon ulama  sudah belajar kitab-kitab kuning / putih yang menggunakan teks bahasa Arab. Penulis sendiri sudah mengalami langsung pendidikan kitab kuning yang intensif sejak usia yang sangat dini, bahkan mulai dari ibtidaiyah sudah bergelut dengan literatur kitab-kitab kuning. Ketika itu, seluruh pelajaran menggunakan kitab kuning berbahasa Arab tanpa baris. Di madrasah Aliyah salafiyah, ilmu-ilmu syariah kembali diperdalam dengan kitab-kitab yang berbeda, selanjutnya di Perguruan Tinggi (S1) dilakukan pengembangan secara lebih dalam luas. Di strata satu ini, disiplin keilmuan telah dispesialisi sedemikian rupa dengan pengkotakan fakultas dan jurusan. Di sinilah mahasiswa dituntut membaca ratusan literatur tentang ilmu-ilmu syariah, khususnya ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tarikh tasyri’, falsafah hukum Islam, dan fiqh muamalah. Sebenarnya, jika seorang mahasiswa telah menguasai dengan baik ilmu ushul fiqh, mereka dapat dikategorikan sebagai calon terdepan ulama mujtahid, asalkan kemampuan bahasa Arab, tafsir dan hadits tentang ekonomi, juga memadai.

    Kelangkaan Ulama Ekonomi Syariah

    Saat ini, fiqur-fiqur ulama ekonomi syariah yang ilmu syariahnya mendalam sangat langka. Lulusan IAIN unggulan yang berasal dari pendidikan pesantren salafi kitab kuning bisa dihitung dengan jari. Lulusan Timur Tengah pada umumnya memang ahli dalam ilmu-ilmu syariah, namun kurang memahami ilmu ekonomi perbankan, kecuali mereka  kuliah ekonomi Islam, seperti di pascasarjana UI, Trisakti atau Paramadina. Memang tidak banyak lulusan IAIN yang benar-benar pakar dalam ilmu bahasa Arab, kitab kuning dan ilmu-ilmu syariah, kecuali para lulusan terbaiknya. Bagi mereka yang terbaik dan memenuhi syarat sebagai ulama mujtahid, dapat dipandang sebagai  ulama yang ahli ilmu-ilmu syariah. Mereka inilah yang selayaknya menjadi ulama-ulama ekonomi syariah masa depan, asalkan mereka menguasai ilmu ekonomi syariah. Tetapi harus dicatat, dan diakui bahwa kebanyakan lulusan IAIN tersebut tidak pakar dalam ilmu-ilmu syariah sebagaimana yang disebutkan, meskipun demikian, kita tak boleh berkecil hati, karena setiap tahun kita masih menemukan lulusan-lulusan terbaik di antara ratusan atau ribuan yang lulus dari perguruan tinggi Islam tersebut.

    Penutup dan Harapan Kebangkitan Ulama Ekonomi Syariah

    Untuk menjadi ulama ekonomi syariah yang berkualitas dan kredible, sehingga dapat berijtihad mengeluarkan fatwa-fatwa ekonomi syariah yang relevan dan maslahah, juga dapat  merancang akad-akad secara kreatif dan inovatif untuk kebutuhan zaman, dapat memberikan solusi pemikiran konstruktif untuk ekonomi bangsa,  dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi tertentu  sesuai dengan standar ilmu ushul fiqh yang disepakati ulama sepanjang sejarah, seperti, kemampuan bahasa Arab, penguasaan tafsir ayat-ayat ekonomi (370 ayat) , hadits-hadits ekonomi (1354 hadits), ilmu ushul fiqh dengan segala perangkatnya, termasuk qiyas, istislah, istihsan, sadd al-zari’ah, ’urf, dll, juga qawa’id fiqh dari berbagai mazhab, mengetahui masalah-masalah yang telah diijma’iy oleh ulama, mengetahui maqashid syariah dan cara penerapannya, dan tentunya mengetahui ilmu ekonomi, keuangan dan perbankan syariah kontemporer.

    Semoga Allah memberikan kemudahan bagi generasi ekonomi syariah Indonesia untuk tampil menjadi ulama pelita ummat di bidang ekonomi syariah, ulama yang ikhlas, sholih dan jauh dari memperturutkan hawa nafsu dan cinta dunia. Jika para generasi muda saat ini bekerja keras mendalami ilmu-ilmu syariah dan ilmu ekonomi dengan dasar akhlak tasawuf yang matang, Insya Allah akan terjadi kebangkitan ulama ekonomi syariah di masa depan dan itu akan berimplikasi bagi kemajuan ekonomi syariah, dan kejayaan Indonesia dengan syariah. Semoga Allah meridhoi, Amin.

    (Penulis adalah Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, Dosen Ushul Fiqh Ekonomi,  Fiqh Muamalah Ekonomi, Ayat Hadits ekonomi di  Pascasarjana UI, Islamic Economic and Finance  Trisakti, Program Magister (S2) Perbankan dan Keuangan Universitas Paramadina, Pascasarjana Perbankan dan Keuangan Islam Universitas Az-Zahro, UIN Syahid Jakata dan UHAMKA).

     

     

    Comments (3)

    Perlunya Edukasi yang terus menerus harus digencarkan agar ummat Islam Mengerti, Paham dan Melaksanakan bahwa hanya Ekonomi Syariah solusi yang tepat.

    Syukron Akhi…

    Ramai yang menuntut ilmu berorentasikan peperiksaan, sedangkan pemahaman dan praktikal ilmu usul fiqh ini perlukan juhdun yang besar…doakan semoga para sarjana ilmu ini terus giat istiqamah menyebar ilmu ini

    Kepada abangda Agustianto saya angkat salut dan hebat mengembangkan keilmuan Ekonomi syariah. dari Muslim di Pengadilan Agama Binjai. (saya orang tanjung balai sekolah dulu di MPI. abangda pasti kenal).

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition