• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Rekontruksi Fatwa Ekonomi Syariah (Bagian 2)

    0

    Posted on : 08-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics, Ushul Fiqh

    Oleh Agustianto

    Anggota Pleno DSN-MUI

     

    Kedudukan Fatwa

    Memang dalam kajian ushul fiqh, kedudukan fatwa hanya mengikat bagi orang yang meminta fatwa dan yang memberi fatwa. Namun dalam konteks ini, teori itu tidak sepenuhnya bisa diterima, karena konteks, sifat, dan karakter fatwa  saat ini telah berkembang dan berbeda dengan fatwa klasik. Teori lama tentang kedudukan fatwa harus direformasi dan diperpaharui sesuai dengan perkembangan dan proses terbentuknya fatwa. Maka teori fatwa hanya mengikat mustafti (orang yang minta fatwa) tidak relevan untuk fatwa DSN.  Fatwa ekonomi syariah DSN saat ini tidak hanya mengikat bagi praktisi lembaga ekonomi syariah, tetapi juga bagi masyarakat Islam Indonesia, Bagi pelaku ekonomi syariah kedudukan fatwa mengikat apalagi fatwa-fatwa itu kini telah dipositivisasi melalui Peraturan  Bank Indonesia (PBI). Bahkan DPR baru-baru ini, telah mengamandemen UU No 7/1989 tentang Perdilan Agama yang secara tegas memasukkan masalah ekonomi syariah sebagai wewenang Peradilan Agama.

    Fatwa-fatwa ekonomi syari’ah saat di Indonesia dikeluarkan melalui proses dan formula fatwa kolektif, koneksitas dan melembaga yang disebut ijtihad jama’iy (ijtihad ulama secara kolektif), bukan ijtihad fardi (individu), Validitas jama’iy dan fardi jelas sangat berbeda. Ijtihad jama’iy telah mendekati ijma’. Seandainya hanya negara Indonesia yang ada di dunia ini, pastilah kesepakatan para ahli dan ulama Indonesia itu disebut Ijma’.

    Fatwa dalam definisi klasik bersifat opsional ”ikhtiyariah” (pilihan yang tidak mengikat secara legal, meskipun mengikat secara moral  bagi  mustafti (pihak yang meminta fatwa), sedang bagi selain mustafti bersifat ”i’lamiyah” atau informatif yang lebih dari sekedar wacana. Mereka terbuka untuk mengambil fatwa yang sama atau meminta fatwa kepada mufti/seorang ahli yang lain.

    Jika ada lebih dari satu fatwa mengenai satu masalah yang sama maka ummat boleh memilih mana yang lebih memberikan qana’ah (penerimaan/kepuasan)  secara argumentatif  atau secara batin. Sifat fatwa yang demikian membedakannya dari suatu putusan peradilan (qadha) yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi para pihak yang berperkara.

    Namun, keberadaan fatwa ekonomi syari’ah yang dikeluarkan DSN di zaman kontemporer ini, berbeda dengan proses fatwa di zaman klasik yang cendrung individual atau lembaga parsial.

    Otoritas fatwa tentang ekonomi syari’ah di Indonesia, berada dibawah Dewan Syari’ah Nasional Majlis Ulama Indonesia. Komposisi anggota plenonya terdiri dari para ahli syari’ah dan ahli ekonomi/keuangan yang mempunyai wawasan syari’ah. Dalam membahas masalah-masalah yang hendak dikeluarkan fatwanya, Dewan Syari’ah Nasional (DSN) melibatkan pula lembaga mitra seperti Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia dan Biro Syari’ah dari Bank Indonesia.

    Konsep fatwa dengan definisi klasik  mengalami pengembangan dan penguatan posisi dalam fatwa kontemporer yang melembaga dan kolektif di Indonesia. Baik yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI untuk masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara umum, maupun yang dikeluarkan oleh DSN MUI untuk fatwa tentang masalah ekonomi syari’ah khususnya Lembaga Ekonomi Syari’ah. Fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa MUI menjadi  rujukan yang berlaku umum serta mengikat bagi ummat Islam di Indonesia, khususnya secara moral. Sedang fatwa DSN menjadi rujukan yang mengikat bagi lembaga-lembaga keuangan syari’ah  (LKS) yang ada di tanah air, demikian pula mengikat masyarakat yang berinteraksi dengan LKS.

    Kaedah dan Prinsip

    Fiqh muamalah klasik yang ada tidak sepenuhnya relevan lagi diterapkan, karena bentuk dan pola transaksi yang berkembang di era modern ini demikian cepat. Sosio-ekonomi dan bisnis masyarakat sudah jauh  berubah dibanding kondisi di masa lampau. Oleh karena itu, dalam konteks ini setidaknya diterapkan empat  kaedah utama.

    Pertama, Al-muhafazah bil qadim ash-sholih wal akhz bil jadid aslah, yaitu, memelihara warisan intelektual klasik yang masih relevan dan mengambil  praktek yang  ada di zaman modern, selama tidak ada petunjuk yang mengharamkannya.

    Kedua, Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ’ala at-tahrim ( Pada dasarnya semua praktek muamalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).

    Ketiga, Formulasi  fatwa juga berpegang pada prinsip maslahah atau ”ashlahiyah”  (mana yang maslahat atau lebih maslahat untuk dijadikan opsi yang difatwakan. Konsep maslahah dalam muamalah menjadi prinsip yang paling penting. Dalam ushul fiqh telah populer kaedah, Ainama tujadul malahal fa tsamma syar’ullah,(Dimana saja terdapat kemaslahatan, maka di sana ada syariah Allah). Artinya, segala sesuatu yang mengandung kemaslahatan, dihukumkan sebagai syariah. Seperti penerapan agunan dalam hutang piutang tertentu, merupakan syariah, karena mengandung maslahah, yakni untuk memelihara harta (hifzul mal) pihak ketiga.  Demikian pula keharusan menerapkan risk manajemen dalam perbankan syariah, adalah syariah karena ia mengandung maslahah, yakni untuk meminimalisir resiko kerugian (kemudratan) dalam harta masyarakat.

    Watak maslahat syar’iyah antara lain berpihak kepada semua pihak atau berlaku umum, baik maslahat bagi lembaga syariah, nasabah, pemerintah (regulator) maupun masyarakat luas.

    Kemaslahatannya tidak hanya diakui secara tanzhiriyah (perhitungan teoritis) tetapi juga secara tajribiyah (pengalaman empirik di lapangan). Karena itu untuk menguji shalahiyah (validitas) fatwa, harus diadakan muraja’ah maidaniyah (pencocokan di lapangan) setelah berjalan waktu yang cukup dalam  implementasi fatwa ekonomi. Apakah kemaslahatan dalam tataran teoritis mendapatkan pembenaran dalam penerapannya di lapangan

    Keempat, selain itu para ulama berpegang kepada prinsip-prinsip utama muamalah, seperti, prinsip bebas riba, bebas gharar (ketidak-jelasan atau ketidakpastian) dan tadlis, tidak maysir (spekulatif), bebas produk haram dan praktek akad fasid/batil. Prinsip ini tidak boleh dilanggar, karena telah menjadi aksioma dalam fiqh muamalah.

    Konstribusi Pemikiran

    Untuk mensosialisasikan dan menerapkan fatwa-fatwa ekonomi syariah serta untuk mewujudkan fatwa-fatwa yang berkualitas dan aslah, sejumlah kontribusi pemikiran di bwah ini perlu dicermati.

    Pertama, struktur dan format fatwa-fatwa ekonomi syariah DSN  sudah memadai dengan rumusan yang simple. Apabila dibandingkan dengan format fatwa mufti Mesir misalnya, fatwa DSN MUI lebih komplet muatannya. Format fatwa DSN-MUI telah   memberikan penentuan status hukum masalah yang difatwakan secara singkat, dan kami menyadari bahwa faywa tersebut perlu syarah yang lebih luas,   sehingga bisa memberi ”ifadah ’ilmiah” yakni memberikan kegunaan pencerahan wawasan keilmuan, agar bisa  memberikan bekalan kepada kalangan di luar para ulama ekonomi syariah.

    Memang fatwa-fatwa yang dirumuskan sengaja berisifat  umum dan global, agar penerapannya lebih lues dan luas, sehingga para praktisi dan bahkan akademisi tidak bisa memahami apalagi menerapkannya.

    Kedua, fatwa-fatwa  ini telah disebarkan oleh MUI kepada masyarakat, agar umat mengetahui hukum-hukum ekonomi syariah. Pengursu MUI kabupaten kota perlu memiliki buku fatwa ekonomi syariah DSN MUI tersebut.

    Ketiga, Para ulama dan ustaz harus meningkatkan pengetahuan ekonomi syariah kontemporer melalui workshop, training atau seminar, sehingga wawasannya menjadi luas dan mampu memahami bahkan menjawab persoalan kekinian secara valid dan akurat, Jangan hanya berkutat dalam persoalan kajian ibadah, pemikiran teologi, pahala, syorga dan neraka, tapi kajian Islam yang komprehensif.

    Keempat, Harus diakui bahwa pada masa lalu, (ketika ekonomi syariah baru berkembang di Indonesia),  para ulama dan pakar serta praktisi ekonomi memiliki keterbatasan dalam masalah keilmuan ekonomi Islam secara komprehensif. Banyak pakar ekonomi konvensional dan praktisi ekonomi yang tidak ahli dalam ilmu-ilmu syariah,Mereka mempunyai semangat keislaman yang kuat, namun latar belakang keilmuan dan pendidikannya bukan dari pendidikan syariah, sementara banyak pula ahli syariah yang tidak memahami persoalan ekonomi keuangan modern. Mereka banyak dari luar negeri, pesantren dan IAIN. Sehubungan dengan dikhotomi dan disparitas tersebut maka DSN melakukan sinergi dengan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i atau koneksitas), agar produk fatwa relevan dengan perkembangan modern dan tidak bertentangan dengan syariah.

    Namun, saat ini alhamdulillah, struktur DSN telah merangkul para pakar yang kompeten, hal ini  sejalan dengan kemajuan pendidikan di bidang ekonomi syariah, di mana pendidikan S2 dan S3 ekonomi syariah semakin berkembang, penelitian ekonomi syariah juga maju pesat, maka anggota DSN terdiri daripakar-pakar dengan disiplin keilmuan integratif, yaitu mereka yang memahami ilmu ekonomi keuangan dan perbankan juga memahami ilmu-ilmu syariah dengan baik. Tokoh-tokoh seperti Umar Chapra, M.N. Ash-Shiddiqy, M.A.Chuodhury, Monzer Kahf mulai lahir di negeri ini. Demikian pula ulama seperti Yusuf Qardhawi, Wahbah Az-Zuhaily, Mustafa Anas Zarqa dan sebagainya.

    (Penulis adalah Anggota DSN-MUI, Ketua I DPP IAEI, Dosen Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Pascasarjana Ekonomi dan Keuangan Syariah Universitas Indonesia , IEF Trisakti dan Program Magister Binsis dan Keuangan Universitas Paramadina Jakarta)

     

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition