• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Rekontruksi Fatwa Ekonomi Syariah (Bagian 1)

    2

    Posted on : 07-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Ushul Fiqh

    Oleh Agustianto

    Anggota Pleno DSN-MUI

    Pendahuluan

    Dalam menghadapi tuntutan kebutuhan masyarakat dan persaingan bisnis, lembaga perbankan dan keuangan syariah memerlukan produk-produk yang inovatif. Untuk penerapan produk yang inovatif dibutuhkan fatwa syariah dan regulasi yang mendukung. Sehubungan dengan itu peran Dewan Pengawas Syariah Nasional, Bank Indonesia dan Ikatan Akuntan Indonesia menjadi sangat penting. Personil yang duduk di lembaga tersebut haruslah memiliki wawasan yang luas dan mendalam tentang ilmu-ilmu syariah dan perbankan. Kesamaan pandangan antara ketiga lembaga tersebut sangat dibutuhkan.

    Fatwa merupakan salah satu institusi dalam hukum Islam untuk memberikan jawaban dan solusi terhadap problem yang dihadapi umat. Bahkan umat Islam pada umumnya menjadikan fatwa sebagai rujukan di dalam bersikap dan bertingkah laku. Sebab posisi fatwa di kalangan masyarakat umum, laksana dalil di kalangan para mujtahid (Al-Fatwa fi Haqqil ’Ami kal Adillah fi Haqqil Mujtahid). Artinya, Kedudukan fatwa bagi orang kebanyakan, seperti dalil bagi mujtahid.

    Secara fungsional, fatwa  memiliki fungsi tabyin dan tawjih. Tabyin artinya menjelaskan hukum yang merupakan regulasi praksis bagi lembaga keuangan, khususnya yang diminta praktisi ekonomi syariah ke DSN dan taujih, yakni memberikan guidance (petunjuk) serta pencerahan kepada masyarakat luas tentang norma ekonomi syari’ah.

    Perumusan fatwa fatwa ekonomi syariah tidak boleh hanya melihat buku-buku fikih muamalah kontemporer secara akademis, apalagi hanya terpaku pada buku-buku fikih klasik ratusan tahun silam, tetapi harus melihat realitas faktual kebutuhan industri keuangan dengan  kacamata maqashid (kamaslahatan) dan relevansinya dengan konteks kekinian. Sebagai contoh dalam merumusan fatwa hawalah harus melihat berbagai mazhab yang ada,dan melihat mana yang lebih aslah (lebih maslahah dan relevan), Jadi formulasi fatwa  tidak boleh mengutip formulasi fikih klasik secara bulat-bulat,  tetapi terlebih dahulu menganalisis berbagai pendapat ulama dan memilih mana yang relevan dan lebih maslahah. Hiwalah menurut fikih mainstream, adalah perpindahan hutang, padahal menurut kebutuhan industri sekarang adalah perpindahan piutang, seperti factoring, kartu kredit, pembiayaan L/C, cessi, pembiyaan take over,dsb.

    Hiwalah harus dibedakan antara hiwalah haq dan  hiwalah dayn juga hiwalah muthlaqah dan hiwalah muqayyadah. Di zaman sekarang, kebutuhan industri keuangan semuanya membutuhkan hiwalah haq dan hiwalah muthlaqah, bukan hiwalah muqayyadah dan hiwalah dayn. Karena itu,   fatwa ekonomi syariah tentang hiwalah tidak tidak mengutip (memilih) mazhab fikih mainstream, karena ia tidak realistis dan tidak relevan. Karena itulah fatwa DSN mengenai rukun hiwalah dirumuskan sbg berikut:

    1. Muhil (??????), yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang,
    2. Muhal atau muhtal (?????? ?? ???????), yakni orang berpiutang kepada muhil,
    3. Muhal ‘alaih (?????? ????), yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal,
    4. Muhal bih (?????? ??), yakni hutang muhil kepada muhtal, 
    5. Sighat (ijab-qabul).

    Metode ijtihad yang digunakan dalam formulasi fatwa antara lain adalah ijtihad intiqa’iy dan ijtihad insya’iy. Ijtihad pertama adalah olah pikir intelektual  dengan cara mentarjih berbagai pendapat ulama mazhab. Selain tarjih dan takhyir, juga dimungkinkan melakukan talfiq, sepanjang bukan untuk mencari-cari kemudahan belaka, tetapi tujuannya   adalah untuk kemaslahatan. Jadi talfiq untuk tujuan implementasi maqashid dibenarkan dalam syariah. Dalam ijtihad intiqa’iy dibutuhkan pengetahuan yang luas dibidang muqaranah mazahib (perbandingan mazhab) baik fiqh muamalah maupun perbandingan ushul fiqh.

    Sedangkan ijtihad insya’iy adalah sebuah ijtihad yang melahirkan pendapat baru yang belum pernah ada di masa ulama masa lampau. Dalam bidang ekonomi keuangan, ijtihad insya’i sangat banyak dipraktekkan, seperti, net revenue dalam sistem jual beli urbun dan sebagainya.

    Kedua metode ijtihad intiqa-iy dan ijtihad insya’i harus dilukan secara kolektif (berjamaah). Berijtihad secara berjamaah disebut dengan (ijtihad jama’iy). Saat ini tidak zamannya lagi berijtihad secara individu. Untuk memecahkan dan menjawab persoalan ekonomi keuangan kontemporer, para ahli harus berijtihad secara jamaah (kolektif). Ijtihad berjamaah (jama’iy)  dilakukan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu. Dalam kondisi sekarang bentuk ijtihad ini semakin dibutuhkan, mengingat terpisahkannya disiplin keilmuan para ahli. Ada ulama ahli syariah di satu pihak dan di pihak lain ada ahli / praktisi ekonomi yang bukan ahli syariah. Di zaman yang serba dharurat ini, disparitas keilmuan masih ditolerir Kedua bidang keilmuan  tersebut disatukan dalam ijtihad jama’iy.  Di masa depan, disparitas keilmuan tersebut semakin mengecil dan akan dihilangkan secara bertahap  dengan berkembangnya pendidikan Tinggi di S1 sampai S3 jurusan ekonomi Islam.

    Kehadiran fatwa-fatwa yang segar, aktual dan responsif dengan tuntutan kemajuan industri menjadi sebuah keniscayaan.  Kehadiran fatwa-fatwa ini merupakan aspek organik dari bangunan ekonomi syariah yang tengah ditata dan dikembangkan, sekaligus merupakan alat ukur bagi kemajuan ekonomi syari’ah di Indonesia. Fatwa ekonomi syari’ah yang telah hadir itu  secara teknis menyuguhkan model pengembangan dan  pembaharuan fiqh muamalah maliyah. (fiqh ekonomi)

    Fatwa-fatwa ekonomi  syari’ah haruslah  valid dan akurat, agar seluruh produknya memiliki landasan yang kuat secara syari’ah. Untuk itulah Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dilahirkan pada tahun 1999 sebagai bagian dari Majlis Ulama Indonesia.

    DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syari`ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari`ah. Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah dalam sistem dan manajemen lembaga keuangan syari`ah (LKS).

    Comments (2)

    assalamualaikum……bgm kbr pak….bisa dibantu hadis-hadis yang ada di fatwa DSN dilengkapi dgn nama, pengarang, halamannya…klu bisa dikritisi apakah hadis-hadis itu shohih ….klu bisa tlg kirim ke email saya…t.kasih

    assalamualaikum…mohon dibantu untuk memperkaya saya dalam mengerjakan disertasi….bgm status hukumnya bagi nasabah yang mengadakan transaksi di perbankan syariah hanya mengikuti saja ….rata-rata nasabah hanya mengikuti akad saja…tetapi sebenarnya mereka tdk faham dan tahu apa yang dimaksud dengan akad yang dipergunakan….mohon dibantu

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition