• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Ekonomi Syariah dan Revitalisasi Entrepreneurship Umat Islam

    5

    Posted on : 01-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Perkembangan ekonomi syariah  dalam bentuk lembaga perbankan dan keuangan syariah yang sangat pesat saat ini, seharusnya dibarengi dengan peningkatan etos entrepreneurship umat Islam. Semangat entrepreneurship tersebut harus dianggap sebagai salah satu unsur terpenting dalam gerakan ekonomi syariah yang sedang berlangsung. Lembaga pendidikan Islam, harus menjadikan entrepreneurship sebagai salah satu  materi dalam kurikulum pendidikan, baik pendidikan menengah maupun pendidikan Tinggi. Demikian pula ormas Islam harus turut mendorong anggotanya untuk mengembangkan   entrepreneurship. Para ulama, ustaz atau da’i juga seyogianya mendorong jamaahnya untuk merevitalisasi etos entrepreneurship yang sekian lama kurang dianggap penting dalam konstruksi peradaban Islam.

    Upaya membangun kembali semangat dan jiwa kewirausahawaan umat Islam Indonesia, merupakan sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar-tawar. Setidaknya, ada tiga dasar pemikiran mengapa rekonstruksi entrepreeusuship umat Islam menjadi penting .

    Pertama, umat Islam sejak kelahirannya, memiliki jiwa dan etos kewirausahaan yang tinggi. Nabi Muhammad dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur manca negara. Proses penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia sampai abad 13 M, dilakukan oleh para pedagang muslim. Masuknya Islam ke Indonesia dan upaya penyebarannya di Asia Tenggara, juga dibawa oleh para pedagang tersebut. Bukti nyata hal ini terlihat bahwa di setiap pesisir pantai Indonesia dan Nusantara  penduduknya beragama Islam. Dengan demikian, etos entrepreneurship sesungguhnya memang sangat melekat dan inheren dengan diri umat Islam.

    Ajaran Islam sangat mendorong entrepreneurship bagi umatnya, karena itu bagi seorang muslim, jiwa kewirausahaan tersebut, seharusnya sudah menjadi bagian dari hidupnya. Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar bekerja dan beramal, “Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasulnya dan orang beriman, akan melihat pekerjaanmu” (QS.9:105). Dalam ayat lain Allah berfirman, “Apabila kamu telah melaksanakan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah rezeki Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (QS 62:10). Tidak terhitung pula banyaknya hadits Nabik yang mendorong pengembangan semangat entrepreneurship. ”Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki (H.R.Ahmad). ”Sesungguhnya sebaik-baik mata pencaharian adalah seorang pedagang (entrepreneur)”. (H.R.Baihaqy)

    Kedua, Kondisi ekonomi umat Islam Indonesia sudah sekian lama terpuruk, maka perlu revitalisasi  entrepreneurship umat Islam. Amin Rais, dalam buku “Islam di Indonesia Suatu Ikhtiar Mengaca Diri” (1986) menyatakan keprihatinannya yang sangat mendalam tentang fenomena kemerosotan umat Islam di bidang ekonomi. Para wiraswastawan di bidang tenun, batik dan lainnya menurut Amin, telah mengalami kemunduran karena tidak fit lagi dalam survival test proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme komparador. Di mana terjadi proses alienasi dan deprivatisasi ekonomi rakyat (baca: umat Islam).

    Umat Islam sudah sangat letih dihadapkan pada kesulitan ekonomi yang panjang, problem kemiskinan dan keterbelakangan akibat termarginalkan  dalam ekonomi dan bisnis. Kinilah saatnya kita mengembangkan dan membangun pengusaha-pengusaha  umat Islam (pribumi) yang tangguh dalam jumlah besar. Tujuannya untuk mewujudkan pemerataan ekonomi yang dicita-citakan oleh negara ini. Lebih dari itu, kinilah momentumnya kita membangun landasan yang kokoh, yakni memperbanyak pilar para pengusaha pribumi itu yang menyangga bangunan ekonomi bangsa.

    Ketiga, Kehadiran lembaga-lembaga perbankan dan keuangan tersebut hendaknya diimbangi dengan tumbuhnya para entrepreneur syariah. Tumbuhnya etos entrepreneurship yang tinggi  -khususnya bagi generasi umat- akan berdampak positif  terhadap  kemajuan dan kebangkitan ekonomi umat sebagaimana yang terjadi di masa silam sekaligus berdampak positif bagi lembaga perbankan dan keuangan itu sendiri. Karena itu, para pengusaha muslim hendaknya dapat memanfaatkan lembaga perbankan dan keuangan tersebut dalam mengembangkan usahanya.

    Entrepreneurship  Santri

    Secara historis dan antropologis, umat Islam Indonesia memiliki naluri bisnis yang luar biasa. Penelitian para ahli sejarah dan antropologi menunjukkan bahwa pada masa sebelum penjajahan, para santri memiliki semangat dan gairah yang besar untuk terjun dalam dunia bisnis, sebagaimana yang diajarkan para pedagang muslim penyebar agama Islam. Hal ini mudah dipahami karena Islam memiliki tradisi bisnis yang tinggi dan menempatkan pedagang yang jujur pada posisi terhormat bersama Nabi, syuhada dan orang-orang sholih. Islam, sebagaimana disebut di atas, sangat mendorong entrepreurship (kewirausahaan) bagi umatnya. Karena itu, para santri adalah pioner kewirausahaan di kalangan pribumi sehingga mereka selalu diidentikkan dengan kelas pedagang (orang pasar).

    Karena itu, tidak aneh bila daerah-daerah santri selalu menjadi konsentrasi perdagangan dan industri, seperti Bukit Tinggi, Aceh Pidie, Pekajangan, Laweyan, Bekonang dengan batik dan tenunnya. dsb. Masyarakat santri di inclave ini dikenal luas sebagai memiliki gairah ekonomi dan etos entrepreneurship yang tinggi. Di masa lampau para santri adalah pedagang dan menjadi kelompok borjuis, yang kadang selalu menyebut priyayi secara pejoratif sebagai tidak sembahyang dan tidak punya uang.

    Secara sosiologis-antropologis, pengusaha santri (muslim) adalah mereka yang dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup di lingkungan di mana mereka bekerja. Fakta ini merupakan hasil studi antropolog AS, Clifford Geertz, terutama  dalam bukunya “The Religion of Java” (1960), dalam upaya untuk menyelidiki siapa di kalangan muslim  yang memiliki etos entrepreneurship seperti “Etik Protestantisme”, sebagaimana yang dimaksud oleh Max Weber. Dalam penelitian itu, Geertz menemukan, etos itu ada pada kaum santri yang ternyata pada umumnya memiliki etos kerja dan etos kewiraswastaan yang lebih tinggi dari kaum abangan yang dipengaruhi oleh elemen-elemen ajaran Hindu dan Budha.

    Dari hasil penelitian itulah timbul dugaan kuat bahwa etos kerja semacam itu hidup di sentra-sentra industri kecil dan kerajinan di Jawa. Studi Dawam Raharjo dan pakar lainya, melihat etos yang sama pada suku-suku bangsa Indonesia yang kuat pengaruh Islamnya, khususnya suku-suku Minang Kabau, orang-orang Pidie, Orang Aklabio di antara suku Banjar, suku Bugis Sulawesi selatan atau Gorontalo Sulawesi atau orang-orang Bali Muslim (Dawam, 1999).

    Dalam buku Pedlers and Princes, (1955), Clifford Geertz juga menyatakan bahwa di Jawa, para santri reformis mempunyai profesi sebagai pedagang atau wirausahawan dengan etos entrepreneurship yang tinggi. Selanjutnya Geertz memprediksi bahwa di masa depan, para santri itu akan tampil sebagai elite pengusaha pribumi di negeri ini. Dalam waktu yang panjang (bahkan sampai tahun 2000an), prediksi Geertz tersebut dipandang keliru, karena ternyata kaum santri marginal dalam bidang ekonomi dan bisnis. Tetapi perkembangan terkini kelihatannya akan membenarkan prediksi Geertz tersebut. Karena gerakan ekonomi syariah turut mendorong tumbuhnya etos entrepreneurship itu kembali. Dengan perkembangan ekonomi syariah, muncul horizon baru untuk merekonstruksi etos entreprenership tersebut.

    Dalam perspektif antropologis dan historis, satu satunya kader paling potensial untuk tampil sebagai pengusaha adalah kelompok santri. Mereka adalah para pengusaha yang gigih dan puritan secara etik, hemat dan sederhana, tetapi memiliki etos entrepreneurship yang sangat tinggi.

    Nama-nama pengusaha muslim yang berhasil pada zaman Hindia Belanda, di antaranya Abdul Ghany Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soetan Soelaiman, Haji Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semitro dan Rahman Tamin. Daftar tersebut menjadi lebih panjang ketika dilaksanakan apa yang dikenal dengan sebutan Program Benteng antara tahun 1949-1959.

    Oleh karena tingginya etos entrepreneurship umat Islam Indonesia  masa lampau, maka hampir semua peneliti mengakui bahwa santri memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi, melebihi kelompok manapun, termasuk orang Tionghoa.

    Dalam konteks sejarah dunia pun, etos bisnis umat Islam memang mengungguli etos bisnis bangsa manapun di dunia ini, sehingga pedagang Arab menguasai bisnis di banyak negara di dunia ini. Peter L. Bernstein dalam buku The Power of Gold , John Wiley and Sons, 2000, p,  66-67, menjelaskan secara eksplisit tentang kehebatan para pedagang muslim.

    The Arabs  had no difficulty accumulating  a massif golden treasure.Their ceativity at the task was impressive… (they) outsmarted their competitors at trade. The Arabs soon succeeded in eating deeply  in to the hearth of Byzantine economic power by setting themselves up as traders of extraordinary acumen and persistence. In time, They dominated  the major commercial contract that and served Byzantine  so well for so long. Throghout all of the Byzantine sphere of influence, even as the built new commercial relationships  all along the shouthern Mediteranean. The Arab ships plied the sea down the east coast of Afrika and across the oceans to India, and China in search of profit. They even reveled northward, through the river highways Of Russia, to the Scandanavian countries,  trading merchandise acquired from across  the seas  for furs, amber, honey and slaves

    Jika dibandingkan etos bisnis orang Tionghoa  dengan etos bisnis umat Islam masa lampau, ternyata naluri, budaya dan etos bisnis umat Islam lebih tinggi dari bangsa manapun di dunia ini. Namun dalam sejarahnya etos entrepreneurship tersebut mengalami penurunan oleh berbagai faktor, ada faktor internal dan ada pula faktor eksternal sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

    Melalui Indonesia Syari’ah Expo pertama yang digelar di era kebangkitan ekonomi syariah ini, etos entrepreneurship umat Islam hendaknya dapat bangkit kembali yang selama ini meredup dalam perjalanan sejarahnya.

    Penghancuan etos entepreneurship

    Tapi, sangat disayangkan, naluri bisnis itu dihancurkan secara sengaja, terencana dan sistimatis oleh kolonial Belanda, sehingga sejak masa penjajahan Belanda, kelompok Cina telah menguasai ekonomi Indonesia melalui kebijakan  politik ekonomi Hindia Belkanda masa itu..

    Dalam sejarah ekonomi di Indonesia, dijelaskan bahwa naluri bisnis warga pribumi telah dihancurkan oleh penjajah Belanda untuk mencegah timbulnya kekuatan ekonomi pribumi. Selain itu, masih kuat berlakunya  semangat dan sikap feodalisme dalam masyarakat Jawa yang menjadi rintangan berkembangnya naluri bisnis umat Islam, karena itu boleh dikatakan bahwa pengembangan kemampuan bisnis warga pribumi relatif baru, kecuali ada satu dua keluarga bisnis yang selamat dari penghancuran oleh Belanda.

    Pemerintahan saat ini tidak boleh lagi mengukuhkan struktur masyarakat ekonomi yang tidak adil sebagaimana pada zaman Belanda, orde lama dan orde baru. Rintisan dan terobosan ekonomi kerakyatan yang dicetuskan di masa Preseden Habibie harus dihidupkan dan teruskan kembali.

    Entrepreneurship Umat Islam Indonesia

    Politik Ekonomi Belanda

    Namun sangat disayangkan, etos entrepreneurship dan naluri bisnis kaum santri itu dihancurkan secara terencana dan sistimatis oleh Kolonial Belanda. Untuk mewujudkan tujuan itu, pemerintah kolonial mengundang lebih satu juta orang-orang Tionghoa dari Cina ke Indonesia, untuk dijadikan sebagai buffer atau mengambil peluang-peluang ekonomi (perdagangan) di Indonesia. Dengan cara ini, umat Islam (santri) menjadi tersingkir, Belanda jelas, tidak menginginkan kelompok pribumi muslim mengalami kemajuan ekonomi. Lagi pula, dengan menyerahkan peluang bisnis kepada Cina, kolonial mudah bekerjasama dan berkolusi dengan mereka. Sementara dengan umat Islam, koloniual sealu menghadapi perlawanan fisik dan ideologis dan sulit diajak kompromi.

    Belanda tidak mau memberikan pelauang itu kepada umat Islam, sebab, kalau peluang ini diberikan, maka umat Islam menjadi kuat dan maju, hal ini tentu mengancam kedudukan Belanda di negeri jajahan. Jadi, tujuan lain adalah agar kelompok pribumi yang note bene umat Islam terpuruk dan tidak mengalami kemajuan dan kebangkitan.

    Penciptaan dan rekayasa struktur itu juga bertujuan untuk mengamankan monopoli perdagangan tingkat atas yang dikuasai Belanda dan kelompok Eropa lainnya. Makin kuat lapisan perdagangan menengah yang didominasi kelompok Cina itu, maka makin aman pula lapisan elite Eropa dan kekuasaan pemerintah Kolonial.

    Untuk mengamankan struktur itu pula, banyak proyek vital di bidang ekonomi dan perdagangan yang tidak boleh dimasuki pribumi. Di Sumatera Timur misalnya kontraktor dan leveransir yang boleh masuk ke kebun hanyalah orang Cina. Tuan kebon (administratur Belanda) yang paling sukses ketika itu adalah mereka yang paling banyak memelihara kontraktor dan leveransir Cina.

    Uraian di atas sesuai dengan tulisan Dr. Maskie, sosiolog dari Australia. Menurutnya, pemerintah Kolonial Belanda dalam membangun struktur masyarakat ekonomi di Indonesia, telah menempatkan orang keturunan Cina pada lapisan menengah sebagai penyangga (buffer) antara lapisan atas yang diduduki Belanda dan lapisan bawah yang terdiri dari pribumi. Struktur ini secara sengaja dipaksakan agar kelompok pribumi lemah secara ekonomi dan kolonial mudah berkolusi dengan pengusaha Cina. Jadi, etnis Tionghoa menduduki kelas menengah dan menggeluti dunia perdagangan, sementara pengusaha pribumi sengaja disingkirkan dan tak diberi peluang sedikitpun malah dihancurkan secara perlahan.

    Analisa serupa juga diungkapkan Prof. Dr Usman Pelly, MA, “Struktur itu dibangun untuk menghancurkan lapisan perdagangan kelompok pribumi (muslim) yang secara historis memiliki potensi entrepereneurship yang kuat dan militan. Hal itu terlihat pada proses pengembangan agama Islam di Indonesaia di mana peranan pedagang muslim sangat besar. seperti orang Aceh, Minang, Bugis, Makasar, Jawa  pesisir, dsb”.(Forum, 1998)

    Politik ekonomi pasca kemerdekaan

    Setelah kemerdekaan, struktur masyarakat ekonomi dan perdagangan  zaman kolonial itu tidak mengalami perubahan. Hal ini setidaknya disebabkan karena WNI keturunan Cina yang mempunyai pengalaman, modal dan jaringan ekonomi di masa kolonial dengan cepat dapat menguasai lapisan perdagangan tingkat atas yang ditinggalkan Eropa (Belanda). Maka, pada masa rezim Seokarno, keberadaan bisnis Cina masih signifikan, meskipun tidak begitu meraksasa seperti zaman orde baru. Anehnya, setelah zaman orde lama tumbang, struktur masyarakat ekonomi zaman Belanda itu diperkuat  pemerintah orde baru, dengan alasan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Kelompok Cina mendapat angin segar dan peluang besar untuk menguasai ekonomi Indonesia karena politik ekonomi yang tidak adil saat itu.

    Kebijakan pemerintah orde baru yang memberikan peluang luas kepada pengusaha non-pri selanjutnya menghasilkan konglomerat-konglomerat raksasa di Indonesia. Alasan pemerintah membuat kebijakan itu, karena berkepentingan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

    Sebaliknya, dari kalangan pribumi, sangat terbatas peluang ekonomi itu, karena tidak memiliki jaringan network seperti non pri. Itulah yang menghasilkan kesenjangan ekonomi yang tajam dewasa ini antara konglomerat dan rakyat banyak. Kesenjangan itu akhirnya  berdampak buruk bagi orde baru sendiri yang berakhir dengan jatuhnya Seoharto.

    Dari uraian di atas dapat dicatat, bahwa secara politis, baik kolonial Belanda, orde lama maupun orde baru, memiliki tujuan yang hampir bersamaan dalam politik ekonomi. Kesamaan itu teritama terlihat pada rezim kolonial dan orde baru. Pemerintah kolonial Belanda menempatkan keturunan orang Cina pada lapisan kelas menengah untuk menguasai perdagangan, selain bertujuan untuk menahan dan menghancurkan orang-orang pribumi (Muslim) secara ekonomis. Sedangkan rezim orde baru memperkuat WNI keturunan pada penguasaan ekonomi (perdagangan), agar pribumi tidak muncul sebagai kekuatan ekonomi yang dapat mengancam kemapanan orde baru.

    Teori yang menjadi pegangan penguasa rezim itu ialah makin kuat kedudukan WNI keturunan Cina di bidang ekonomi, maka semakin aman kekuasaan para pejabat “orde baru”. Kelompok pribumi yang kebetulan dapat bertahan di papan atas sejak zaman orde lama dihancurkan atau dipaksa menyerah untuk dijadikan mitra pajangan perusahaan WNI keturunan Cina.

    Berdasarkan realitas di atas, maka kita tak merasa heran bila sekarang ini kelompok Tionghoa menguasai ekonomi Indonesia. Realitas ini merupakan buah dari politik ekonomi Belanda. Kalaupun pada perkembangan selanjutnya, ada pribumi yang menjadi pengusaha besar, kebanyakan di antara mereka terdiri dari keluarga Istana (Cendana).

    Rekonstruksi Entrepreneurship

    Naluri bisnis umat Islam yang mengalami stagnasi dan kematian harus direkonstruksi dengan dukungan political will yang kuat dari pemerintah, seperti keseriusan melancarkan gerakan ekonomi kerakyatan dengan memberi peluang kepada pengusaha muslim agar menjadi kelas menengah, implemetnasi UU monopoli yang konsisten, dsb. Dalam kebijakan baru ini kelompok pribumi harus diberikan peluang yang luas untuk menangani persolalan ekonomi bangsa dalam  segala aspeknya.

    Pemerintah harus mendukung keberadaan perbankan syari`ah dalam bentuk permodalan untuk disalurkan kepada entrepreneur muslim. Demikian pula koperasi syari`ah, Baitul Mal wat Tamwil, dan koperasi pesantren yang tumbuh sumbur di ribuan pesantren di Indonesia. lembaga ini harus diberi peluang permodalan dan proyek-proyek pembanguan ekonomi rakyat dengan bantuan modal, pembinaan SDM dan manajamen lainnya.

    Selama ini upaya penyaluran JPS dan KUT sering bermaslalah (diselewengkan) dan mengalami kredit macet. Di masa depan peluang ini harus diberikan kepada para santri, Koperasi pesantren, BMT dan Koperasi Syari`ah. Kita  yakin dan optimis, keberhasilannya akan terwujud, mengingat para santri sejak dulu dikenal sebagai orang-orang yang jauh lebuh amanah dari non-santri dan memiliki entrepreneurship yang tinggi.

    Ekonomi Syari`ah

    Ekonomi Syari`ah dalam bentuk lembaga-lembaga keuangan syari`ah, seperti  perbankan syari`ah, asuransi takaful, Reksadana Syari`ah dan BMT, pada satu dasawarsa belakangan ini telah menjadi fenomena kebangkitan ekonomi umat Islam di tanah air. kehadiran lembaga-lembaga keuangan tersebut hendaknya didorong seluruh lapisan umat Islam.

    Oleh : Agustianto

    Comments (5)

    ya saya kira apa yang anda tulis itu sudah baik n bagus namun akan lebih baik jika setiap kata itu di perjelas dengan Al -qur`an atau al – hadits

    Ini dalam artikel Bung, Kalau anda ikut kuliah saya, setiap baris (alinea) dilandasi ayat-ayat dan hadits, dalam mata kuliah ayat dan hadits ekonomi keuangan, Maka daftar segera S2 atau S3 Ekonomi Islam.

    assalamualaikum,

    waahh, tulisan Bapak bagus banget!
    menambah motivasi saya untuk berwirausaha!

    *) goes to Muslim Enterpreuner ^_^

    Assalamualaikum…
    Syukron ustdz.. isi artikelnya ana kutip dalam materi orasi Pembumian Ekonomi Syariah Jogjakarta.Alhamdulillah dapat juara 1.Bukan prestasinya…tapi aplikasinya….
    Entrepreneurship…Harga Mati untk pembumian ekonomi syariah yang Riil….

    Berencana untuk melanjutkan pendidikan jenjang S3 tertarik untuk penerlitian enteprener Islam, moga tahun depan terlaksana.
    Jati Imantoro FE UM Metro
    Dir. EL BINA GROUP (Tour dan Travel, Agriculture, Laundy and Offset)

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition