• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Politik Hukum Ekonomi Syariah

    3

    Posted on : 10-03-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Regulasi

    Oleh : Agustianto

    Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen Ekonomi dan Keuangan Islam Pascasarjana PSTTI UI

    Perkembangan industri perbankan dan keuangan syariah dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Demikian pula di sektor riil, seperti Hotel Syariah, Multi Level Marketing Syariah, dsb.

    Perkembangan perbankan menurut data Bank Indonesia mengalami kemajuan yang spektakuler. Jika sebelum tahun 1999, jumlah bank syariah sangat terbatas di mana hanya ada sebuah bank syariah, yaitu Bank Muamalat Indoensia dengan beberapa kantor cabang, kini ada 21 bank syariah dengan jumlah pelayanan kantor bank syariah sebanyak 611 (data Mei 2006). Demikian pula lembaga asuransi syariah, perkembangannya di Indonesia merupakan  yang paling cepat di dunia. Hanya Indonesia satu-satunya negara yang memiliki 34 lembaga asuransi syariah, sedangkan Malaysia cuma ada 4 lembaga asuransi syariah. Dan  hanya Indonesia yang memiliki 3 lembaga reasuransi syariah. Di negara manapun biasanya hanya ada satu lembaga reasuransi syariah.  Jumlah BMT juga telah melebihi dari 3.800 bauh yang tersebar di seluruh Indonesia.

    Meskipun perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syariah demikian cepat, namun dari sisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengaturnya  masih jauh tertinggal, termasuk hukum-hukum yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa bisnis (hukum dagang) syariah.

     

    Urgensi Undang-Undang

    Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition for economic change”, “crucial to the viability of new political system”, and “ an agent of social change”.

    Agar hukum dapat berperan dalam pembangunan ekonomi nasional maka hukum di Indonesia harus memenuhi lima kualitas, yaitu: 1. kepastian (predictability),2. stabilitas (stability), 3. keadilan (fairness), 4. pendidikan (education), 5. kemampuan SDM di bidang hukum (special abilities of the lawyer).

     

    Pengertian Politik Hukum

    Menurut Moh.Mahfud MD, politik hukum adalah  legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi-fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

    Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.

    Dengan demikian, politik  hukum adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan negara. Politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian tujuan negara. Politik hukum dapat dikatakan juga sebagai jawaban atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal kenegaraan guna mencapai tujuan negara.

    Pijakan utama politik hukum nasional adalah tujuan negara yang kemudian melahirkan sistem hukum nasional yang harus dibangun dengan pilihan isi dan cara-cara tertentu, antara lain memagari hukum dengan program legislasi nasional (Prolegnas).

    Politik Hukum Ekonomi Syariah

    Secara yuridis, penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki dasar hukum yang sangat kuat. Ketentuan Pasal 29 ayat (1) yang dengan tegas menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, pada dasarnya mengandung tiga makna, yaitu:

    l  Negara tidak boleh membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan dasar keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa;

    l  Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan atau melakukan kebijakan-kebijakan bagi pelaksanaan wujud rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa dari segolongan pemeluk agama yang memerlukannya;

    l  Negara berkewajiban membuat peraturan perundang-undangan yang melarang siapa pun melakukan pelecehan terhadap ajaran agama (paham ateisme).

     

    Dalam pasal 29 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

    l  Kata “menjamin” sebagaimana termaktub dalam ayat (2) pasal 29 UUD 1945 tersebut bersifat “imperatif”. Artinya negara berkewajiban secara aktif melakukan upaya-upaya agar tiap-tiap penduduk dapat memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu

     

    Sebenarnya,  melalui ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, seluruh syariat Islam, khususnya yang menyangkut bidang-bidang hukum muamalat, pada dasarnya dapat dijalankan secara sah dan formal oleh kaum muslimin, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan jalan diadopsi dalam hukum positif  nasional

    Keharusan tiadanya materi konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Tuhanan Yang Maha Esa tersebut adalah konsekuensi diterapkannya Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai salah prinsip dasar penyelenggaraan negara

    Perkembangan politik hukum ekonomi syariah diawali di bidang perbankan, yaitu dengan keluarnya  UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992.

    Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil. Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.

    Dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum bank syariah menjadi cukup jelas dan kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dalam UU ini ‘prinsip syariah’ secara definitif terakomodasi.

    Eksistensi bank syariah semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah (Pasal 1 angka 7 dan pasal 11).

    Kedua UU tersebut menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem perbankan ganda atau dual banking system.. Bahkan melalui PBI No. 8/3/PBI/2006 telah dikeluarkan kabijakan office chanelling

    Dalam pelaksanaannya lebih lanjut, hukum dan peraturan positif  perbankan syariah semakin kuat dengan adanya berbagai Surat Keputusan Dewan Direksi Bank Indonesia dan PBI serta ditingkatkannya Biro Perbankan Syariah di BI menjadi Direktorat Perbankan Syariah.

    Kini tengah dibahas di DPR RUU Tentang Perbankan Syariah yang diprakarsai oleh DPR RI. Dengan disahkannya RUU Perbankan Syariah nanti akan semakin meneguhkan dilaksanakannya prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa  dalam politik hukum nasional, dan yang lebih penting adalah dapat mendorong pertumbuhan dan kemajuan perbankan syariah.

    Program Legislasi Nasional

    Menurut Prof. Dr. A.Gani Abdullah, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional,  politik hukum yang mengakomodir pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia termuat di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Prolegnas menjadi penting karena menjadi dasar dan awal bagi pembentukan undang-undang yang hendak dibuat.  UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undagan (Pasal 15 [1]) menggariskan bahwa “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam satu Program Legislasi Nasional. Pengaturan selanjutnya mengenai Prolegnas tertuang di dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Penyusunan dan Pengelolaan Prolegnas.

    Berdasarkan pertimbangan, arah dan penentuan proglenas telah ditrapkan prioritas RUU 2005 sebanyak 55 buah RUU dan RUU 2006 sebanyak 43 RUU. RUU Perbankan Syariah menjadi program RUU prioritas 2005 yang sebenatar lagi segera disahkan DPR.

    Selain itu, untuk membangun kepastian hukum yang lebih mantap di bidang ekonomi syariah, maka Proglenas perlu mendukung legislasi nasional ekonomi syariah dengan mengagendakan dan memberikan prioritas perundang-undangan yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang berkembang, seperti asuransi syariah, lembaga keuangan mikro syariah, pasar modal syariah yang tercakup di dalamnya obligasi dan reksadana syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dana pensiun syariah.

    Peran IAEI

    Penyusunan RUU-RUU tersebut dapat diprakarsai oleh DPR maupun pemerintah sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku. Dalam upaya ini peranan ahli ekonomi Islam melalui organisasi Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) sangat dibutuhkan untuk berperan memberikan konstribusinya dalam mewujudkan agenda legislasi nasional ekonomi syariah tersebut.

    Keterlibatan IAEI dalam menyiapkan draft RUU yang berkaiatan dengan ekonomi syariah sangat urgen, mengingat IAEI adalah wadah dan kumpulan para pakar dan praktisi ekonomi syariah di Indonesia yang sangat memahami persoalan-persoalan hukum ekonomi syariah.

     

    Comments (3)

    banyak ilmu di sini, ijin baca2.. terima kasih sudah mau berbagi…

    Abang, ini tulisan lama ya,, karena baru RUU Perbankan Syariah, kan sudah ada UU Perbankan No. 21 2008

    Admin minta tolong posting tentang REgulator dan Supervisor Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia di tinjau dari UU, Keppres, Peraturan Pemerintah, Kementrian dan Komite Keuangan Syariah. trims

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition