Etos Kerja dan Produktifitas
Oleh : Agustianto
Nilai-nilai ajaran tentang etos kerja sangat melimpah dalam Islam. Namun implementasinya tidak sejalan dengan kekayaan khazanah doktrin Islam tentang etos kerja umat saat ini. Kajian ini tidak melihat bagaimana etos kerja umat secara faktual dan empiris, tetapi ingin memaparkan bagaimana ajaran Islam mendorong etos kerja kaum muslimin.
Masudul Alam Choudhury dalam buku Contributions to Islamic Economics Theory, (1986), memasukkan work and produktivity sebagai prinsip ekonomi Islam. Islam mewajibkan umatnya untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Perintah bekerja terdapat dalam banyak ayat dan hadits. Setidaknya ada dua kata kunci untuk menjelaskan konsep kerja dalam pandangan Islam; ’amal dan sun’. Kedua kata ini diungkap dalam Al-Qur’an lebih kurang 602 kali satu jumlah yang cukup besar. Makna generik kata ‘amal menurut Seyyed Hosein Nasr adalah “tindakan praksis dan kerja nyata” terhadap sesuatu, sedangkan sun’(dari shana’a) adalah membuat atau memproduksi sesuatu dengan mengolah bahan baku atau mengolah ulang bahan yang sudah jadi. Salah satu bentukan dari kata sun’ adalah sina’ah yang berarti pabrik.
Dalam Islam bekerja dinilai sebagai kebaikan, dan kemalasan dinilai sebagai keburukan. Bekerja mendapat tempat yang terhormat di dalam Islam. Dalam kepustakaan Islam, cukup banyak buku-buku yang menjelaskan secara rinci tentang etos kerja dalam Islam.
Kerja dalam pandangan Islam adalah mode of existence. Harga manusia sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang dilakukannya. Jika ia melakukan suatu pekerjaan yang baik dengan penuh kesungguhan ia akan mendapatkan balasan yang baik pula di dunia dan di akhirat. Sebaliknya, jika ia melakukan perkerjaan yang buruk, maka ia akan memperoleh balasannya. Lebih dari itu harga kemanusiaanya menjadi turun.
Dalam pandangan Islam bekerja dipandang sebagai ibadah. Sebuah hadits menyebutkan bahwa bekerja adalah jihad fi sabilillah. Sabda Nabi Saw,
?? ?? ??? ????? ??? ??????? ?? ???? ???? ?? ? ?? (????)
“Siapa yang bekerja keras untuk mencari nafkah keluarganya, maka ia adalah mujahid fi Sabillah”(Ahmad)
Dalam hadits Riwayat Thabrani Rasulullah Saw bersabda :
Sesungguhnya, di antara perbuatan dosa, ada yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shalat,
Sedeqah ataupun haji, namun hanya dapat ditebus dengan kesungguhan dalam mencari nafkah penghidupan(H.R.Thabrai)
Dalam hadits ini Nabi Saw ingin menunjukkan betapa tingginya kedudukan bekerja dalam Islam, sehingga hanya dengan bekerja keras (sunguh-sungguh) suatu dosa bisa dihapuskan oleh Allah.
Selanjutnya dalam hadits yang lain, Nabi bersabda :
?? ???? ??? ????? ????? ??????
Sesungguhnya Allah mewajibkan kamu berusaha/bekerja, Maka berusahalah kamu !
?? ???? ????? ??? ?? ??? ???? ???? ?? ??? ??????
“Sesungguhnya Allah Swt senang melihat hambanya yang berusaha )bekerja) mencari rezeki yang halal
Berniat untuk bekerja dengan cara-cara yang sah dan halal menuju ridha Allah adalah visi dan misi setiap muslim. Berpangku tangan merupakan perbuatan tercela dalam agama Islam. Umar bin Khattab pernah menegur seseorang yang sering duduk berdo’a di mesjid tanpa mau bekerja untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya. Umar berkata, Janganlah salah seorang kamu duduk di mesjid dan berdo’a, “Ya Allah berilah aku rezeki”. Sedangkan ia tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan hujan perak. Maksud perkataaan Umar ini adalah bahwa seseorang itu harus bekerja dan berusaha, bukan hanya bedo’a saja dengan mengharapkan bantuan orang lain.
Buruh yang bekerja secara manual sangat dipuji dan dihargai Nabi Muhammad Saw. Dalam sebuah riwayat, Nabi Saw pernah mencium tangan orang yang bekerja mencari kayu, yaitu tangan Sa’ad bin Mu’az tatkala melihat tangannya kasar akibat bekerja keras. Nabi seraya berkata :
???? ?????? ???? ?????
“
“Inilah dua telapak tangan yang dicintai Allah”
Dalam sebuah hadits Rasul saw bersabda
?? ??? ???? ?? ??? ?????? ??? ?????? ??(???? ???? ? ??? ?????)
“Barang siapa pada malam hari merasakan kelelahan karena bekerja pada siang hari, maka pada malam itu ia diampuni Allah” (Hadits Riwayat Ahmad & Ibnu Asakir )
Lihatlah, betapa Islam memuliakan kerja sebagai sebuah amal yang terpuji, sampai-sampai, kerja itu dapat menghapuskan dosa, kerja dapat menjeput ampunan Allah, seperti halnya puasa dan haji. Selama ini sering kali kita membahas pahala puasa dan haji yang dapat menghapuskan dosa dan meraih ampunan Allah. Ternyata, kerja keras dalam mencari nafkah juga demikian.
Dalam hadits yang lain Nabi mengatakan
??? ????? ????? ??? ?????? ?? ??? ?????
“Apabila kamu telah selesai shalat subuh, maka janganlah kamu tidur”.
Hadits ini memerintahkan agar manusia dengan segera bekerja sejak pagi-pagi sekali, agar ia menjadi produktif. Bahkan Nabi SAW secara khusus mendo’akan orang yang bekerja sejak pagi sekali
????? ???? ?????? ?? ??????
“Ya Allah, berkatilah ummatku yang bekerja pada pagi-pagi sekali”.
Malas adalah watak yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena itu Nabi pernah berdo’a kepada Allah agar dilindungi dari sifat lemah dan malas.
????? ??? ???? ?? ?? ????? ??????
“Ya Allah, Sesungguhnya Aku berlindung denganMu dari sifat lemah dan malas”
Al-quran mengemukakan kepada Nabi Saw dengan mengatakan, “Katakanlah (Hai Muhammad, kepada umatmu) : “Bekerjalah !”. Nabi juga diriwayatkan telah melarang pengemisan kecuali dalam keadaan kelaparan. Dalam surah al-Insyirah disebutkan, Fa Iza faraghta fanshab Luar biasa ayat ini..
Monastisisme dan asketisisme dilarang dalam Islam. Monastisisme adalah pandangan atau sikap hidup menyendiri di suatu tempat dengan menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat. Tujuannya hanya untuk bertapa tanpa niat untuk melakukan perubahan dan perbaikan masyarakat. Sedangkan asketisme adalah pandangan atau sikap hidup keagamaan yang menganggap pantang segala kenikmatan dunia atau dengan penyiksaan diri dalam rangka beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
Nabi Muhammad saw pernah bersabda, bahwa orang-orang yang menyediakan makanan dan kebutuhan lain untuk dirinya dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadat, tanpa mencoba berusaha mendapat penghasilan untuk dirinya sendiri.
Di dalam Al-Qur’an, Allah telah memberikan jaminan bahwa setiap makhluk yang ada di bumi ini telah ditetapkan rezkinya. Yang menarik Al-Qur’an menggunakan kata dabbah seperti tampak pada ayat yang artinya : segala sesuatu yang ada di bumi (binatang yang melata) ini talah ditentukan Allah rezkinya.
Menurut bahasa kata dabbah diartikan sebagai makhluk yang melata. Secara implisit rizki yang telah dipersiapkan Allah untuk manusia hanya bisa diperoleh bagi orang-orang yang selalu berusaha menemukannya dan itu hanya dapat dilakukan dengan bekerja.
Dari nash-nash dan paparan-paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi kerja dan produktifitas. Islam tidak menyukai pengangguran dan kemalasan.
Bekerja adalah hak setiap seorang dan sekaligus sebagai kewajiban. Dalam bahasa Arab, terdapat dua istilah/pengertian kata haq. Pertama, Haaqun lahu ((?? ?? yang artinya hak dan Kedua Haqqun ‘alaih (?? ????) yang artinya kewajiban. Menangkap pesan qurani dan Nabawi mengenai kerja (amal) ini, pengertian wajib lebih mengemuka daripada pengertian hak. Sebab hak boleh dilakukan boleh tidak. Namun, jika dikaitkan dengan tanggung jawab Imam (penguasa), pengertian kewajiban sangat relevan. Karena pemerintah (negara) berkewajiban menyediakan kesempatan kerja kepada para individu.
Kerja yang dianjurkan dalam Islam adalah kerja yang baik, yaitu dikerjakan secara profesional, sungguh-sungguh dan sesuai dengan keahliannya. Perbedaan kerja (produktifitas) dapat membawa implikasi adanya perbedaan pada kompensasi upah (wage, ujrah) yang diterimanya. Upah dan pendapatan dapat saja berbeda antara satu orang dengan orang lain sepanjang perbedaan ini berumber pada perbedaan produktifitas. Penghargaan terhadap kerja dan produktifitas ini, akan menciptakan profesionalisme sekaligus keadilan.
Upah pekerja juga dapat berbeda antara satu dengan yang lain berdasarkan keahlian dan keterampilan. Oleh karena itu division of labour dalam ekonomi Islam menjadi salah satu topik kajian yang penting, sebagaimana yang telah dibahas Ibnu Khaldun. Ini bertalian dengan prinsip bahwa tingkat upah sesuai dengan usahanya, baik jenis pekerjaan maupun keahlian/profesi pekerja itu sendiri.
Nilai kerja dan produktifitas akan menjadi karakteristik yang menonjol dalam segala kegiatan ekonomi Islami. Upah untuk tenaga kerja harus dibayarkan sebelum kering keringatnya. Besarnya upah harus dapat mencukupi kebutuhan dasar keluarganya. Prinsip-prinsip pemberian upah, kerjasama usaha dan seluruh kegiatan perekonomian harus memperhatikan prinsip ini.
Dalam ekonomi Islam, perspektif kerja dan produktifitas adalah untuk mencapai tiga sasaran, yaitu :
- Mencukupi kebutuhan hidup (??????? )
- Meraih laba yang wajar (??????? )
- Menciptakan kemakmuran lingkungan sosial maupun alamiyah ( ??????? )
Ketiga sasaran tersebut harus terwujud secara harmonis. Apabila terjadi sengketa antara pekerja dan pemodal (majikan), Islam menyelesaikannya dengan cara yang baik, yakni ada posisi tawar-menawar antara pekerja yang meminta upah yang cukup untuk hidup keluarganya dan tingkat laba bagi pemodal (majikan) un\tuk melanjutkan produksinya.
Upah minimum dibatasi pada besarnya kebutuhan pokok yang dalam posisi ini pemodal memperoleh laba maksimum. Sedangkan upah maksimum dibatasi pada tingkat tertentu agar pengusaha tetap mendapatkan laba sehingga usahanya dapat bertahan dan berkembang. Namun di sini muncul pertanyaan, berapa tingkat laba ( rate profit) minimum yang dipatok agar pengusaha secara berlanjut dapat melakukan usahanya. Disinilah perlunya asumsi yang memadukan peran zakat sebagai instrumen untuk mewujudkan keadilan antar sesama pelaku ekonomi. Dan ini adalah bentuk intervensi pemerintah secara langsung yakni berupa pengenaan zakat terhadap setiap hasil usaha ekonomi. Selain itu, intervensi pemerintah juga ialah berupa ketetapan bahwa buruh harus dibayar dengan sejumlah upah (wage) yang dapat mencukupi kebutuhannya.
Jadi di sini terdapat dua sisi yang harus ditengahi secara adil. Pada satu pihak buruh harus hidup layak, di pihak lain, pemodal harus mampu meneruskan usahanya.
Di bawah ini adalah gambar keseimbangan (equilibrium) yang adil berdasarkan ukuran kubutuhan dasar dalam menetapkan upah minimum bagi buruh, dan berdasarkan ukuran zakat dalam menetapkan laba minimum bagi pengusaha.
Apabila besaran zakat untuk kesetimbangan umum (general equilibrium) adalah 2,5 % dan bagian upah minimum dinyatakan dalam skala Asy-Syatibi, yakni dharuriyat dan hajiyat, maka kesetimbangan ekonomi secara umum terletak pada garis AD.
Dari penemuan ini kita mengetahui bahwa ketika laba minimum sama dengan besaran zakat sebesar 2,5 % (Z), garis AC, maka bagian upah yang diterima buruh adalah maksimum, garis AB.
Sedangkan apabila bagian upah adalah minimum yang dinyatakan dengan skala Asy-Syatibi (TKD), yakni garuis CD, maka pemodal akan memperoleh tingkat laba maksimum, garis BD.
Temuan ini menunjukkan bahwa ketika perintah menunaikan zakat dilaksanakan dengan baik, apabila laba minimum sama dengan Z = 2.5 %, maka ekonomi memperoleh bagian upah maksimum,
Ketika pemenuhan kebutuhan buruh diwujudkan dalam upah minimum, maka tingkat laba bagi pemodal adalah maksimum.
Model ekonomi Islam ini, dengan demikian menolak rational expectation dalam ekonomi kapitalis neo-klasik tentang maksimasi laba. Juga menolak pendapat Marx yang mengagungkan kekuasaan buruh atas produksi, dengan menganggap bahwa surplus value adalah eksploitasi.
Dalam ekonomi Islam, baik buruh maupun pemodal (majikan/pengusaha), adalah aktor pemain dari ekonomi. Keduanya harus berlaku adil melalui prinsip muamalah atau ekonomi syari’ah.
Kedua aktor ekonomi (buruh dan pengusaha) bermain dalam “gelanggang ABCD” dalam gambar. Gelanggang ini terbentuk berdasarkan syari’ah, yaitu zakat sebagai batas (ukuran) penentuan laba minimum, dan maqashid syari’ah versi Asy-syatibi dan Al-Ghazali dalam penetapan upah minimum.
Temuan ini juga menjelaskan tentang adanya “invisible hand”, apabila kita berbicara tentang general equilibrium.Pembuktian ini menunjukkan bahwa intervensi pemerintah dalam menegakkan keadilan dapat tercipta, jika kaidahnya disandarkan pada syari’at Islam, yakni instrumen zakat dan kebutuhan minimum dari buruh (dharuriyat dan hajiyat).
Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai penengah yang mampu menegakkan keadilan, ketika keadilan distributif antara upah dan laba harus diwujudkan oleh kedua aktor ekonomi itu ; pekerja dan majikan. Keduanya mau dan mampu bekerja sama karena adanya kesamaan kedudukan sebagai manusia dan fungsi khalifah Allah di muka bumi.Mereka semuanya bersaudara (ukhuwah) dalam memakmurkan bumi. Inilah urgensi dan relevansi dari instrumen mudharabah, yakni sistem usaha bagi hasil dan bagi rugi antara buruh dan majikan.
0