• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Peran Masjid Dalam Sosialisasi Ekonomi Syariah

    0

    Posted on : 02-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Oleh: Agustianto

    Muballigh, Ketua I IAEI dan Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana UI

    Mesjid adalah tempat ibadah kaum muslimin yang memiliki peran strategis untuk kemajuan peradaban ummat Islam. Sejarah telah membuktikan multi fungsi peranan mesjid tersebut. Mesjid bukan saja tempat shalat, tetapi juga sebagai pusat pendidikan, pengajian keagamaan, pendidikan, militer dan fungsi-fungsi  sosial-ekonomi lainnya.

    Rasulullah Muhammad SAW pun telah mencontohkan multifungsi mesjid  dalam membina dan mengurusi seluruh kepentingan umat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial , pendidikan, militer, dan lain sebagainya..

    Sejarah juga mencatat, bahwa masjid Nabawi oleh Rasulullah SAW difungsikan sebagai (1) pusat ibadah, (2) pusat pendidikan dan pengajaran, (3) pusat penyelesaian problematika umat dalam aspek hukum (peradilan) (4). pusat pemberdayaan ekonomi umat melalui Baitul Mal (ZISWAF). (5) pusat informasi Islam, (6) Bahkan pernah sebagai pusat pelatihan militer dan urusan-urusan pemerintahan Rasulullah. Masih banyak fungsi masjid yang lain. Singkatnya, pada zaman Rasulullah, masjid dijadikan sebagai pusat peradaban Islam.

    Masjid merupakan tempat disemaikannya segala sesuatu yang bernilai kebajikan dan kemaslahatan umat, baik yang berdimensi ukhrawi maupun duniawi dalam sebuah garis kebijakan manajemen mesjid. Namun dalam kenyataannya, fungsi masjid yang berdimensi  duniawiyah kurang memiliki peran yang maksimal dalam pembangunan umat dan peradaban Islam.

    Ekonomi Pilar Peradaban

    Salah satu pilar kemajuan peradaban Islam adalah amwal (wealth) atau ekonomi. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan “Ekonomi adalah tiang dan pilar paling penting untuk membangun peradaban Islam (Imarah). Tanpa kemapanan ekonomi, kejayaan Islam sulit dicapai bahkan tak mungkin diwujudkan. Ekonomi penting untuk membangun negara dan menciptakan kesejahteraan umat. (Ringkasan dari Muqaddimah Ibnu Khaldun, Bab 3,4 dan 5)

    Al-Ghazali, Asy-Syatibi dan seluruh ulama ushul fiqh yang membahas maqashid syari’ah, pasti memasukkan  amwal sebagai pilar maqashid. Shah Waliullah Ad-Dahlawy, ulama terkemuka dari India, (1703-1762).berkata, “Kesejahteraan ekonomi merupakan prasyarat untuk suatu kehidupan yang baik. Tingkat kesejahteraan ekonomi sangat menentukan tingkat kehidupan. Seseorang semakin tinggi tingkat kesejahteraan ekonominya, akan semakin mudah untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (hayatan thayyibah)

    Para ulama Islam sepanjang sejarah, khususnya sampai abad 10 Hijriyah senantiasa melakukan kajian ekonomi Islam. Karena itu kitab-kitab Islam tentang muamalah (ekonomi Islam) sangat banyak dan berlimpah. Para  ulama tidak pernah mengabaikan kajian muamalah dalam kitab-kitab fikih mereka dan dalam halaqah (pengajian-pengajian) keislaman mereka. Tetapi kini terjadi keanehan yang luar biasa, kajian-kajian ekonomi Islam jarang sekali di mesjid-mesjid.

    Tradisi keimuwan ekonomi yang eksis di masa silam, harus dihidupkan kembali di mesjid-mesjid, agar fungsi mesjid sebagaimana zaman Rasulullah  dapat diwujudkan kembali.

    Masalah Nazir Mesjid

    Banyak problem mismanajemen dalam memakmurkan mesjid yang terjadi saat ini. Salah satu penyebab terjadinya mismanajemen tersebut   adalah pengurus mesjid (nazir mesjid) yag tidak memiliki kapabilitas dan berwawasan sempit dalam beragama.

    Padahal nazir mesjid, khususnya yang membidangi dakwah, sangat menentukan untuk kebangkitan kembali peradaban Islam seperti masa lampau. Nazir mesjid sangat menentukan maju-mundurnya umat Islam. Nazir mesjid yang berwawasan sempit yang memandang agama Islam sebatas ibadah dan aqidah hanya tertarik dengan kajian spiritual belaka, sehingga mereka mengundang para ustaz yang ahli fiqih ibadah dan ahli teologi/sufistik saja. Nazir mesjid sangat jarang (kalau tak ingin mengatakan tak pernah sama sekali) memilih materi ekonomi Islam yang ruang lingkupnya sangat luas. Padahal mengkaji ekonomi syariah hukumnya wajib.

    Menurut Husein Shahhatah, dalam bidang muamalah maliyah ini, seorang muslim berkewajiban memahami bagaimana ia bermuamalah sebagai kepatuhan kepada syari’ah Allah. Jika ia tidak memahami muamalah maliyah ini, maka ia akan terperosok kepada sesuatu yang diharamkan atau syubhat, tanpa ia sadari. (Buku Al-Iltizam bith-Thawabith asy-Syar’iyah fil Muamalat al-Maliyah,Mesir, 2002)I

    Selama ini materi ceramah dalam pengajian rutin berkisar di seputar tauhid, tasawuf, fiqh, keluarga sakinah, akhlak dan adapula yang secara khusus mengkaji tafsir atau hadits. Namun sangat jarang membahas kajian muamalah (ekonomi Islam). Padahal ekonomi Islam adalah bagian penting dari ajaran Islam. Masalah ekonomi adalah masalah paling urgen (dharury). Para ulama masa lampau  tak pernah mengabaikan kajian muamalah (ekonomi Islam). Hal itu bisa dibuktikan dalam kitab-kitab hasil karya mereka. Ekonomi Islam bukan saja menjadi pilar dan rukun kemajuan Islam, tetapi juga merupakan fardhu ’ain untuk diketahui setiap muslim.(Husein Sahhatah)

    Nazir mesjid yang cerdas dan ingin akan kebangkitan Islam, akan menjadikan materi ekonomi Islam sebagai salah satu materi kajian dalam pengajian agama di mesjid, baik dalam pengajian rutin atau tabligh keagamaan maupun dalam khutbah jum’at.

    Dampak mengabaikan kajian muamalah

    Akibat nazir mesjid tidak mengundang penceramah yang ahli ekonomi Islam, maka tingkat pengetahuan umat Islam tentang muamalah sangat rendah. Hal ini sangat berbahaya bagi umat Islam dan kemajuan peradaban Islam. Pertama,   aktivitas perekonomian yang mereka jalankan dalam berbisnis, mencari rezeki, dan berinvestasi, banyak yang bertentangan dengan syariah Allah, seperti riba, maysir, gaharar dan bathil. Kedua, umat Islam tetap terpuruk dalam kemiskinan dan keterbelakangan. Demikian pernah dikemuka kan kata K.H.Ali Yafie. Ketiga, krisis ekonomi negera tetap lambat untuk pulih. Keempat, Kemajuan peradaban Islam dan kebangkitan umat sulit terwujud, karena ekonomi sebagai pilar kebangunan umat tidak difahami dan dikuasai umat Islam.

    Akibat nihilnya kajian ekonomi Islam di mesjid-mesjid, maka umat Islam banyak yang tidak mengetahui konsep-konsep ekonomi Islam. Misalnya, mekanisme mudharabah dan keunggulannya, sehingga memandangnya sama saja dengan bunga bank. Umat Islam juga tidak bisa membedakan antara bunga dan margin murabahah. Umat Islam tidak mengetahui bahwa seluruh ulama ekonomi dunia Islam telah ijma’; tentang keharaman bunga bank. Umat Islam banyak yang tidak mengetahui 25 perbedaan fundamental bank syariah dan bank konvensional, tidak mengetahui 10 prinsip dasar ekonomi Islam yang wajib  diketahui setiap muslim. Umat Islam banyak yang tidak tahu dampak bunga terhadap inflasi, investasi, produksi, pengangguran dan kemiskinan. Umat Islam banyak yang tidak tahu secara ilmiah dan rasional mengapa bunga dalam Islam dipandang sebagai  dosa terbesar setelah syirik, durhaka pada orang tua dan pelaku bunga kekal dalam neraka (QS.2:275).

    Umat Islam banyak yang tidak tahu jika bunga telah membawa penderitaan massal yang menyakitkan bagi kemanusiaan, karena bunga telah menjatuhkan banyak negara ke lembah jeratan hutang yang parah. Karena menerapkan bunga, maka APBN Indonesia dikuras secara hebat untuk menyumbang lembaga bank  (berbasis bunga) lewat obligasi BLBI mencapai Rp 700 triliun. Bunga secara signifikan telah menaikkan harga BBM, listrik, telephon. Kenaikan harga-harga barang strategis tersebut dimaksudkan untuk menambah income negara bagi biaya APBN. Padahal  hampir sepertiga anggaran negara Indonesia untuk mensubsidi/membayar bunga kepada bank-bank konvensional tersebut dan bunga hutang luar negeri.

    Umat Islam juga banyak yang belum mengerti hukum syariah tentang akad-akad dalam transaksi muamalah maliyah. Padahal  semuanya harus dikaji, agar umat Islam tak terjebak kepada perilaku yang batil dalam mencari nafkah. Lebih dari 42 bab bentuk-bentuk akad muamalah yang harus diketahui umat Islam, antara lain, syirkah, ijarah, wadiah, rahn, salam, istisna, kafalah, hawalah, dan sebagainya. Lain lagi akad-akad yang dilarang dalam Islam, seperti gharar, najasy, talaqqi rukban, ihtikar, maysir, ba’i al-’inah, ba’i kali bikali (dain bid dain), dan banyak lagi. Materi ini secara mendasar harus difahami umat Islam. Kalau tidak, mereka akan mudah terperosok kepada perilaku ekonomi yang batil. Kini umat Islam, termasuk para ustaz yang tak faham ilmu ekonomi muamalah, seperti ilmu moneter terjerumus kepada aktivitas ekonomi ribawi. Karena kedangkalan ilmunya tentang muamalah, banyak yang mempraktekkan riba dalam perbankan, asuransi, pasar modal, reksadana, pegadaian, koperasi, hutang-piutang dan hampir seluruh transaksi keuangan modern. Anehnya, tanpa merasa berdosa mereka menganggap biasa-biasa saja menabung atau mendepositola uang di bank konvensional. Padahal bunga bank merupakan dosa terbesar dari dosa manapun, selain syirik dan durhaka kpd ibu baba.

    Ulama Abdul Sattar, mengatakan, mengetahui hukum ekonomi Islam adalah dharuriyah (kemestian primer/utama) yang tak bisa ditawar. Jika umat Islam tidak mengetahui hukum muamalah maliyah, maka dikhawatirkan sekali umat Islam akan terperosok kepada praktek  kebatilan dan keharaman. Apa yang dicemaskannya itu kini telah terjadi, dimana banyak umat Islam yang telah terperosok ke dalam  praktek ribawi. Anehnya mereka tak menyadari bahwa praktek itu paling terkutuk (Banyak hadits Nabi Saw menjelaskan ini) . Bahkan dengan tanpa dasar ilmu ushul fiqh mereka mengatakan bahwa masalah bunga masih khilafiyah. Masya Allah ! Perkara yang telah menjadi ijma’ dikatakan khilafiyah .Ini karena mereka tidak belajar sejarah ekonomi Islam kontemporer, bagaimana semua ahli ekonomi Islam di dunia yang jumlahnya ratusan doktor dan professor di bidang ahli ekonomi Islam sepakat tentang keharaman bunga bank.

    Akibat pengabaian kajian muamalah, kini sangat banyak umat yang terjebak kepada arisan berantai yang berkedok MLM (multilevel marketing), karena tidak tahu hukumnya Tidak sedikit pula umat Islam yang bermain spekulasi mata uang (valas) dan saham di pasar modal. Furute trading dan margin trading menjadi kebiasaan umat Islam, seolah tanpa salah dan dosa. Padahal perilaku spekulasi itu sangat dilarang dalam syari’ah.

    Kesimpulan

    Berdasarkan realita dan fakta di atas, maka mesjid harus kembali difungsikan untuk mencerdaskan umat di bidang muamalah yang selama ini jauh dari kajian-kajian umat Islam. Para nazir mesjid diharapkan melakukan paket-paket kajian muamalah maliyah (ekonomi Islam), agar materi pengajian agama di mesjid tidak pincang, (melulu ibadah mahdhah, munakahat, cerita pahala syorga dan neraka secara sempit). Mengamalkan Islam bukan saja dari aspek ibadah dan aqidah serta akhlak secara sempit, tetapi harus secara kaffah dan komprehensif. Sebagaimana firman Allah, ’Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah. (QS.2: 208). Semoga tulisan ini dapat menyadarkan para nazir mesjid untuk mengundang ustaz yang memahami ekonomi syari’ah sehingga para jamaah bisa memahami dan mengamalkan ekonomi Islam. Kajian ekonomi Islam malah tidak saja mengamalkan secara kaffah dan bernilai ibadah.  tetapi juga akan mendukung gerakan kebangkitan kembali peradaban Islam di masa depan.

     

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition