• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Mewujudkan equilibrium sektor finansial dan sektor riil syari’ah Dalam mengembangkan ekonomi islam

    1

    Posted on : 04-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Oleh : Agustianto

    Akhir-akhir ini, pertumbuhan dan perkembangan lembaga perbankan dan keuangan syari’ah mengalami kemajuan yang sangat pesat, baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Konsep perbankan dan keuangan Islam yang pada mulanya di tahun 1970-an hanya merupakan diskusi teoritis, kini telah menjadi realitas faktual yang mencengangkan banyak  kalangan. Kini lembaga perbankan syari’ah telah merambah 75 negara, tidak saja di negara-negara muslim, tetapi juga negara-negara sekuler yang minoritas muslim seperti Denmark, Luxemburg, Inggeris, Australia dan Amerika Serikat.[1]

    Di Indonesia, dalam empat tahun belangan ini, pertumbuhan perbankan syari’ah rata-rata mencapai 60 % setahun. Hingga  Desember 2003, asset bank syari’ah telah mencapai lebih Rp 7 trilyun dengan jaringan pelayanan mencapai 340 kantor yang tersebar di seluruh Indonesia.[2] Angka ini belum termasuk puluhan gerai yang dimiliki oleh Bank Muamalat.

    Gerakan ekonomi Islam dalam bentuk lembaga perbankan di Indonesia  dimulai oleh kehadiran Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada awal tahun 1990-an, tepatnya tahun 1992[3]. Dalam pekembangannya di tahun 1990-an itu, BMI telah menunjukkan kinerja dan prestasi yang luar biasa. Hal itu terbukti dari kepiawaian BMI dalam mengembangkan usahanya di masa krisis ekonomi  berlangsung sejak tahun 1997. Bank Syari’ah pertama di Indonesia ini, tidak saja bisa survive, tetapi juga mampu meningkatkan laba bersih mencapai 134 % setahun dengan peningkatan asset 14 % setahun. Prestasi  itu justru  terjadi pada tahun 1999 di saat krisis moneter  memuncak.[4]

    Ketika badai krisis menghantam ekonomi Indonesia, semua perbankan konvensional mengalami goncangan hebat yang membuat seluruh bank konvensional mengalami defisit modal. Kebijakan bunga tinggi yang ditetapkan pemerintah selama krisis berlangsung telah membuat bank-bank mengalami negative spread atau selisih bunga negatif. Bank-bank harus membayar bunga simpanan lebih tinggi, sementara  bunga kredit yang dipinjamkan jauh lebih rendah. Selain itu, kredit macet pun terjadi karena krisis ekonomi. Akibatnya dalam masa sekitar 1 tahun,  64 bank dilikuidasi dan 45 lainnya bermasalah sehingga harus masuk “rumah sakit”  (penyehatan) BPPN[5].

    Akan tetapi,  bank-bank Islam yang ketika itu diperankan oleh  Bank Muamalat dan sejumlah BPR Syari’ah, dapat selamat dari badai krisis itu. Hal ini disebabkan karena bank-bank syari’ah menggunakan sistem bagi hasil, sehingga tidak dibebani untuk membayar bunga simpanan  nasabah sebagaimana dalam sistem konvensional.  Bank syari’ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari’ah. Bahkan posisi CAR Bank Muamalat ketika itu cukup tinggi yaitu 16,5 %, jauh di atas CAR yang ditetapkan Bank Indonesia ketika itu yakni  8 %.[6]

    Ketika Bank Indonesia mengeluarkan peraturan kebijakan uang ketat yang membuat bank-bank konvensional menghentikan kredit, BMI malah sebaliknya, mengucurkan kredit dalam jumlah cukup besar yaitu Rp 334 Milyar, padahal dana pihak ketiga saat itu belum mencapai Rp 1 Trilyun. Fakta ini merupakan fenomena yang sangat berbeda dengan bank konvensional yang menghentikan kreditnya sama sekali[7].

    Karena resistensi dan keunggulan sistem perbankan syari’ah itu, maka pemerintah dan DPR mengeluarkan  Undang-Undang Nomor 10/1998 tentang perbankan, sebagai perubahan atas Undang-Undang No 7/1992 tentang Perbankan.

    Undang-Undang ini membuka peluang kepada bank-bank konvensional untuk konversi menjadi syari’ah atau membuka unit usaha syari’ah. Karena peluang itu,  puluhan perbankan konvensional  membuka cabang syari’ah dan unit usaha syari’ah. Bank Syari’ah Mandiri yang berasal dari Bank Susila Bhakti, secara total konversi menjadi syari’ah. Bank konvensional yang membuka unit usaha syari’ah antara lain, Bank BNI Syari’ah, BRI Syari’ah, Bank Danamon Syari’ah, Bank Bukopin, Bank IFI Syari’ah, PT Bank Jabar Syari’ah, BII Syari’ah. Menurut laporan majalah modal dalam tahun ini enam Bank Pembangunan Daerah akan membuka unit Usaha Syari’ah.[8]

    Pertumbuhan  bank syari’ah di Indonesia sejak tahun 2000-2003 sangat fantastis, mencapai 54 % – 74 % setahun. Pada tahun 2002, pertumbuhan bank syari’ah 74 % setahun dan pada tahun 2003 sebesar 70 % setahun [9].

    Pertumbuhan perbankan syari’ah tersebut cukup menggembirakan, baik pertumbuhan kelembagaan, pertumbuhan asset, pertumbuhan sumber dana dan pertumbuhan asset produktif. Hal  yang sama juga terjadi bila dilihat perbandingan antara FDR Perbankan syari’ah dan LDR  perbankan konvensional. Perbankan syari’ah sekitar 105 %, sedangkan perbankan konvensional masih 54 % (Desember 2003)[10]. Ini berarti tingkat intermediasi perbankan perbankan syari’ah jauh lebih tinggi dari perbankan konvensional. Data-data tentang pertumbuhan dan perkembangan bank syari’ah dapat dilihat pada tabel  yang dilampirkan di akhir tulisan ini.

    Sementara itu, lembaga keuangan asuransi syari’ah, juga mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang cukup pesat. Sejak tahun 2001, lahir beberapa lembaga asuransi syari’ah, seperti Asuransi Al-Mubarakah,  Great Eastern Syari’ah,   MAA Life Insurance, Asuransi Jiwa Bersama Bumi Putera,  Asuransi Beringin Jaya Sejahtera,  Asuransi Tripitaka, Asuransi Tania, Asuransi Jasindo, Darmala Manulife, Nas Re, dsb. Dengan demikian, Asuransi Takaful  yang selama ini menjadi pemain tunggal, kini telah memiliki banyak saudara dan mitra dalam pengembangan asuransi syari’ah di Indonesia.[11]

    Kemajuan di sektor keuangan, khususnya perbankan dan asuransi, juga diikuti obligasi syariah. Setidaknya kini ada enam perusahaan yang menjual obligasi syari’ah. Sejauh ini lebih dari lima  jenis obligasi yang sudah diluncurkan, masing-masing PT Indosat,  PT Berlian Laju Tanker,  PT Bank Bukopin,  PT Bank Muamalat dan PT Bank Syari’ah Mandiri[12]

    Selain itu, gerakan ekonomi syariah di Indonesia juga diramaikan oleh kehadiran reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah, koperasi syari’ah dan pasar modal syari’ah.

    Bersamaan dengan  perkembangan lembaga keuangan formal dalam bentuk perbankan dan  asuransi syari’ah,  secara informal juga berkembang cukup pesat lembaga-lembaga keuangan mikro  seperti  Baitul Mal wal Tamwil yang jumlahnya sudah lebih dari tiga ribu unit di seluruh Indonesia.[13] Di antara BMT tersebut banyak  yang maju cukup pesat dengan asset puluhan milyard rupiah dan bahkan ada di antaranya yang bisa membeli sebuah Bank Perkereditan Rakyat (BPR) yang kemudian dikonversi menjadi  BPR S  yari’ah. Data-data tentang BMT dilampirkan pada akhir tulisan ini.

    Dari data-data yang ada, terlihat pertumbuhan lembaga keuangan Islam di Indonesia, baik yang berbentuk bank maupun lembaga non bank, sangat pesat. Data-data itu menunjukkan perkembangan yang menggembirakan pada aspek kuantitatif kelembagaan keuangan syari’ah

    Kepincangan Sektor Keuangan dan Sektor Riil

    Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi syari’ah di sektor keuangan, sebagaimana terlihat pada data-data dan paparan paparan di atas memang mengembirakan, tapi sangat disayangkan, pertumbuhan sektor keuangan yang demikian pesat dan cepat, tidak seimbang dengan pertumbuhan di sektor riil syari’ah. Perkembangan sektor riil syari’ah jauh tertinggal bila dibandingkan dengan sektor keuangan. Padahal kedua  sektor ekonomi tersebut harus berjalan dengan seimbang (equilibrium).

    Fenomena ketidakseimbangan itu sektor keuangan dan sektor riil tersebut sangat rawan menimbulkan kekacauan perekonomian. Jadi, pengembangan sektor keuangan harus diseimbangkan dengan sektor riil. Membiarkan perkembangan sektor finansial  bergerak cepat tanpa diiringi pengembangan sektor riil secara equilibrium (seimbang), tidak saja menjadi ancaman kerusakan ekonomi, tetapi juga melanggar prinsip ekonomi syari’ah yang paling fundamental, yaitu keharusan mengkaitkan sektor moneter (finansial ) dengan sektor riil.

    Bagaimana mungkin bank-bank syari’ah dapat membangun nilai syari’ah sepenuhnya, bila sektor riel yang akan menerima pembiayaan bank syari’ah tersebut belum tumbuh. Bagaimana mungkin pula asuransi syari’ah tumbuh membantu perlindungan secara syari’ah sepenuhnya bila dana yang terhimpun sulit diinvestasikan ke sektor riil.

    Demikian pula reksadana syari’ah, perusahaan sektor riil mana yang akan dipasarkan dan dikelola sahamnya, bila sektor riilnya belum dibenahi. Pendek kata, sektor riil syari’ah tercerabut dari kemajuan sektor finansial syari’ah. Padahal sektor riil sangat mengharapkan dana dan modal dari sektor finansial, baik dari lembaga perbankan, asuransi, maupun reksadana syari’ah.

    Apalagi pertarungan bisnis di sektor riil makin tajam. Banyak perusahaan produsen yang diperas habis oleh perusahaan-perusahaan distribusi yang sangat serakah. Bahkan produsen besar memakan produsen kecil. Distributor besar memakan distributor kecil. Belum lagi produsen besar yang turun langsung menjadi distributor hingga ke kelurahan, perumahan atau bahkan tingkat RT. Demikian pula serbuan dan retailer besar asing, seperti  Perancis (Careful) dan Belanda (Macro dan Unilever)

    Sementra itu, data-data menunjukkan bahwa, lembaga perbankan syari’ah yang biasa dikenal dengan bank  bagi hasil, ternyata dalam pembiyaannya masih dominan menerapkan produk murabahah (jual-beli), yang cendrung bersifat konsumtif, karena sasarannya pada umumnya digunakan untuk membiayai kenderaan dan  rumah, bukan usaha sektor riil syari’ah yang produktif.

    Dengan demikian, fokus pembiayaan perbankan syari’ah di Indonesia masih pada produk murabahah (dengan margin yang tetap) dengan porsi 72,21 persen. Sedangkan pembiayaan produk bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) masing-masing 14,33 persen dan 2, 86 persen dari total pembiyaan yang diberikan. [14]

    Melihat masih dominannya produk murabahah yang cendrung bersifat konsumtif,  bukan produktif, maka perlu pengalihan pembiayaan dari murabahah ke mudharabah dan musyarakah di sektor industri dan perdagangan.

    Meskipun produk murabahah bisa digunakan untuk keperluan modal kerja, seperti mesin pabrik, kenderaan perusahaan, namun sasaran pembiyaan murabahah masih didominasi  kebutuhan konsumtif masyarakat, bukan kebutuhan usaha yang produktif.

    Di masa depan,  produk – produk bank syari’ah mestinya  secara terus-menerus  diarahkan kepada sektor produktif, seperti, home industri, agribisnis, hotel syari’ah, rumah makan, pengusaha konveksi,  sampai kepada bengkel syari’ah. Orientasi pengembangan ekonomi ke sektor riil, telah dianjurkan oleh Bank Indonesia dalam blue print pengembangan perbankan syari’ah.[15]

    Menghadapi kondisi sektor riil syari’ah yang belum tumbuh, maka ummat Islam Indonesia (masyarakat ekonomi syari’ah) harus menggeser orientasi pengembangan ekonomi Islam ke sektor riil syari’ah.

    Prinsip Ekonomi Islam

    Dalam  ekonomi syari’ah, dikotomi sektor moneter dan riil tidak dikenal. Sektor moneter dalam definisi ekonomi Islam adalah mekanisme pembiayaan transaksi atau produksi di pasar riil, sehingga jika menggunakan istilah konvensional, maka karakteristik perekonomian Islam adalah perekonomian riil, khususnya perdagangan. Inilah yang dianjurkan Islam, ”Allah menghalalkan jual beli (perdagangan) dan mengharamkan riba”.(QS.2:275). Ayat tersebut secara tegas membolehkan jual-beli atau perdagangan dan mengharamkan riba. Jual beli  atau perdagangan adalah kegiatan bisnis sektor riel. Kegiatan bisnis sektor keuangan tanpa dikaitkan dengan sektor riil adalah aktivitas ribawi yang dilarang dalam ekonomi Islam.

    Oleh karena keharusan  terkaitnya sektor moneter dan sektor riil, maka perbankan syari’ah mengembangkan sistem bagi hasil,  jual beli dan sewa[16]. Dalam bagi hasil, terdapat bisnis sektor riil yang dibiayai  dengan pembagian keuntungan yang fluktuatif. Demikian pula dalam jual beli, ada sektor riil  yang mendasari kebolehan  penambahan (ziyadah) dalam harta.

    Dalam ekonomi syari’ah sistem bagi hasillah (profit and loss sharing) yang kemudian menjadi jantung dari sektor ‘moneter’ Islam, bukan bunga.[17] Karena sesungguhnya, bagi hasil sebenarnya sesuai dengan iklim usaha yang memiliki kefitrahan untung atau rugi. Tidak seperti karakteristik bunga yang memaksa agar hasil usaha selalu positif.  Islam tidak mengenal konsep time value of money, Jadi penerapan sistem bagi hasil pada hakikatnya menjaga prinsip keadilan tetap berjalan dalam perekonomian. Karena memang kestabilan ekonomi bersumber dari prinsip keadilan yang dipraktikkan dalam perekonomian.

    Ekonomi Islam bukan saja menjanjikan kestabilan “moneter” tetapi juga pembangunan sektor riil yang lebih kokoh. Krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis multi dimensi di Indonesia ini, tak dapat diobati dengan varibel yang menjadi sumber krisis sebelumnya, yaitu sistem bunga dan utang, artinya tidak bisa dengan mengutak-atik suku bunga tetapi harus oleh variabel yang jauh dari karakteristik itu, yaitu dengan sistem bagi hasil dalam dunia perbankan dan lembaga finansial lainnya.

    Fatwa MUI tentang pelarangan bunga, dalam perspektif ekonomi, adalah sebuah upaya untuk mengobati krisis yang melanda Indonesia sejak 6 tahun terakhir, karena kalau sistem bunga masih dipertahankan, seratusan trilyun uang rakyat yang berasal dari pajak dan kenaikan harga BBM, listrik dan telephon, digunakan untuk kepentingan membayar bunga yang disumbangkan untuk  bank-bank raksasa dalam bentuk bunga obligasi, bahkan dalam tiga tahun terakhir, lebih seratus trilyun disumbangkan untuk membayar bunga SBI yang saat itu pernah mencapai 17 % setahun [18]. Padahal dana sebesar itu bisa digunakan untuk pendidikan, pemberdayaan ekonomi rakyat dan kebutuhan infra-struktur seperti pembangunan jalan-jalan dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

    Karena itulah diusulkan kepada pemerintah agar mendorong mekanisme bagi hasil menjadi dominan dalam sektor keuangan Indonesia, melalui lembaga perbankan syari’ah, asuransi syari’ah, pegadaian syari’ah dan Baitul Mal wat Tamwil, agar sektor riel kembali bangkit di Indonesia.

    Reorientasi Pengembangan Ekonomi Islam

    Ketidakseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil syari’ah di Indonesia saat ini, harus diantisipasi dengan segera. Penekanan gerakan ekonomi Islam hanya berfokus pada pengembangan aspek keuangan (finansial) saja, akan menimbulkan dampak buruk bagi masa depan ekonomi Islam dan ekonomi Indonesia.

    Sejarah dan fakta membuktikan  betapa kedua ketimpangan kedua sektor ini (sektor finansial dan sektor riel) berpotensi besar mengacau balaukan perekonomian. Dalam konteks global, fenomena itu benar-benar mencemaskan banyak pihak, karena ia dapat mengancam krisis eonomi di berbagai negara. Karena itulah perlu segera dilakukan  langkah-langkah  menuju orientasi yang seimbang (equilibrium) sesuai dengan kehendak syari’ah, agar perekonomian tidak kacau balau. Jika tidak segera dilakukan perubahan orientasi,  gerakan ekonomi Islam di Indonesia akan menghadapi masalah besar.

    Fakta kerusakan ekonomi akibat kepincangan itu telah banyak dikritik dan diratapi oleh para ilmuwan ekonomi kontemporer, baik ekonom Barat yang non Muslim maupun para ekonom muslim.

    Pakar manajemen  barkaliber dunia, Peter Drucker, sebagaimana dikutip Didin Damanhuri, menyebut gejala ketidakseimbangan antara sektor moneter dan sektor riel sebagai decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya kegiatan bisnis spekulatif, sehingga dunia terjangkit penyakit yang bernama ekonomi balon (bubble economy)[19]. Disebut dengan balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Begitulah keadaan ekonomi dunia saat ini.

    Maraknya “kredit derivatif”, sebagai instrumen keuangan yang dominan pada saat ini, merupakan pemicu kerusakan dan krisis ekonomi global. Menurut data Morgan Stanley, nilai kredit derivatif pada tahun 1998 hanya Rp 500 Trilyun, namun pada Desember 2002 ditaksir sudah mencapai  Rp 24.000 Trilyun, suatu kenaikan yang  luar biasa, yakni sebesar  47.000 persen atau 4700 kali lipat, hanya dalam empat tahun. Transaksi derivatif ini  umumnya tidak begitu difahami oleh umum (awam),  bahkan investor sekalipun. Transaksi ini hanya transaksi “maya” (semu) yang dikaitkan dengan aktiva keuangan. Demikian pula transaksi “future trading” seperti forward, yang merupakan spekulasi  tentang kejadian di masa yang akan datang, juga sangat laris dipraktekkan dalam bisnis modern.[20]

    Perekonomian dunia yang digelembungkan oleh transaksi maya tersebut  dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London ( 27 %), Tokyo, Hongkong Singapura (25 %) dan Chicago-New York ( 17 %). Transaksi riba yang  sangat dominan itu,  mencapai  99 persen dibanding transaksi riel yang dianjurkan Islam. Menurut data, diperkirakan transaksi maya di pasar uang dunia mencapai US $ 750 trilyun setahun, sedangkan kegiatan perdagangan dan jasa (sektor riil) hanya US $ 7,5 trilyun saja.[21] Dengan demikian pertumbuhan uang demikian cepat, tapi ia bagaikan gelembung (bubble) saja. Seringkali gelembung ini pecah yang mengakibatkan krisis di mana-mana, termasuk krisis Asia yang hingga kini masih terasa. Islam menolak keras segala macam transaksi maya tersebut. Sebaliknya, Islam mendorong globalisasi dalam arti mengembangkan sektor riil atau perdagangan nasional, regional maupun internasional. Pengembangan sektor riil inilah hendaknya yang menjadi prioritas lembaga perbankan dan asuransi syari’ah di Indonesia.

    Saat ini bank dan lembaga keuangan  sering kali menciptakan berbagai model transaksi derivatif yang dikaitkan dengan fluktuasi ekonomi global,  misalnya kenaikan bunga atau resiko  obligasi tidak dibayar yang dapat dijual kepada investor. Untuk resiko kredit tidak dibayar disebut dengan credit swap. Transaksi ini dalam ekonomi syari’ah diharamkan.  Kini, dengan banyaknya kritik yang dialamatkan kepada praktek ini dan dampak negatifnya, banyak ekonom Barat  yang tersadar dan  mengecamnya dengan keras.  Warren Buffet dan  Rubin, mantan Secretary of Treasury AS berpendapat bahwa transaksi  ini dapat meruntuhkan sistem keuangan global.[22]

    Monetary Based Economy.

    Kapitalisme modern saat ini dibangun dengan monetary based economy bukan real based economy. Artinya ia banyak ( dominan) bermain di level transaksi maya daripada  bermain di sektor riil. Rente ekonomi diperoleh bukan melakukan kegiatan investasi produktif tetapi dalam investasi spekulatif. Bahaya potensial berikutnya yang akan kita hadapi seandainya masih terus mengamalkan spekulasi ini adalah runtuhnya sistem keuangan. Tanda-tanda ini sudah mulai nyata sebagaimana diketahui dari angka-angka tentang efek negatif  monetery based economy yang berkembang saat ini.

    Laporan Morgan Stanley yang dikutip David Ignatius,  (Washington Post, 15 November 2002), menunjukkan bahwa pada tahun 2001 dan 2002, jumlah obligasi yang tidak mampu dibayar (default) sebesar  Rp 1. 650 Trilyun. Jumlah ini lebih besar dari jumlah obligasi yang default selama  20 tahun sebelumnya. Dari sudut pinjaman atau kredit bank  dapat diketahui bahwa kualitas aktiva produktif (kredit) di Amerika, semakin lama semakin menurun, khususnya sejak tahun 1995.[23] Ini membuktikan pola kredit berbasis bunga  bisa membahayakan kelangsungan perbankan dan pada akhirnya mengancam pertumbuhan sektor riil sebagai pilar pertumbuhan ekonomi yang sesungguhnya.

    Dari berbagai informasi baik skala nasional dan juga skala internasional menunjukkan betapa industri perbankan selalu menjadi momok dan bahkan menjadi penyebab krisis ekonomi. Industri perbankan di Amerika sudah lama sakit. Jumlah bank mengalami penurunan termasuk prestasi sahamnya di pasar bursa. Di beberapa negara lain seperti Jepang, China dan Jerman industri ini semakin mengkhawatirkan.[24]

    Di Indonesia, dampak buruk kepincangan sektor keuangan dan sektor riil juga terlihat pada masa orde baru yang sangat menekankan sektor keuangan. Terlihat pada awalnya seakan-akan terjadi percepatan hebat gerakan ekonomi Indonesia dengan kemunculan berbagai bank baru bagaikan cendawan di musim hujan dan membawa berkah peluang terbukanya secara luas tenaga kerja baru. Tetapi kebijakan tersebut telah menggiring bangsa ini kepada bencana krisis berkepanjangan sampai saat ini

    Kita sudah merasakan krisis perbankan 1997 telah melahirkan krisis keuangan dan ekonomi yang berkepanjangan. Krisis perbankan ditutupi dengan pembentukan BPPN serta berbagai upaya merger, akuisisi dan lain sebagainya. Untuk menutupi kesalahan sektor ini, paling tidak Rp. 800 triliun uang rakyat terpaksa disumbangkan ( disubsidikan ) kepada para konglomerat serta para pejabat (sebagai pengambil keputusan ) untuk menutupi krisis perbankan ini.

    Dalam konteks krisis ekonomi  Indonesia, apa yang tersisa dari krisis yang terus mendera negara kita ini? Paling tidak kita mencatat sejumlah permasalahan mendasar dari perekonomian kita akibat akumulasi kezaliman ekonomi selama ini berupa : kemiskinan struktural yang parah, angka pengangguran yang meledak, ketimpangan distribusi pendapatan, ketimpangan pembangunan antar daerah, konsentrasi kepemilikikan aset produktif di tangan konglomerat, beban utang luar negeri dan penjajahan ekonomi nasional oleh kekuatan asing. Tidak mengherankan, karena sesungguhnya apa yang dibanggakan oleh tim arsitek ekonomi Orde Baru dengan konsep tricle down effect-nya dan mengejar  pertumbuhan  ekonomi setinggi –tingginya tak lebih dari sekedar pencapaian bubble economy ( ekonomi gelembung sabun) yang semu.

    Sektor Finansial Mengikuti Sektor Riil

    Dalam konsep ekonomi syari’ah, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat  ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen.  Dalam ekonomi syari’ah, jumlah uang yang beredar ditentukan dalam perekonomian sebagai variabel endogen, yakni ditentukan oleh banyaknya permintaan akan uang di sektor riil. Atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian.

    Dalam ekonomi Islam,  sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riil. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis. Di dalam ekonomi kapitalis dengan jelas dipisahkan sektor finansial dengan sektor riil. Maka pengembangan perbankan dan keuangan syariah saat ini jangan terjebak kepada paraktek kapitalisme tersebut. Dengan demikian, apabila ummat Islam Indonesia hanya sibuk mengembangkan sektor perbankan dan keuangan Islam, tanpa membenahi dan menyeimbangkannya dengan pertumbuhan dan pembangunan sektor riil, maka berarti kita telah memperaktekkan sistem kapitalisme, dan hal ini merupakan ancaman kehancuran ekonomi Islam di masa depan.

    Bila berpijak pada sejarah dan logika umum, maka tidak mustahil gerakan ekonomi Islam bila tidak segera dilakukan perubahan orientasi akan menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian dan menimbulkan citra negatif bagi ekonomi syari’ah. Dalam  kondisi seperti itu, bukan tidak mungkin para pelaku dan tokoh ekonomi Islam akan dipersalahkan oleh banyak pihak. Lebih celaka lagi kalau masyarakat pada akhirnya kehilangan kepercayaan dan kita semua kehilangan kesempatan untuk membuktikan apa yang selama ini kita yakini dan kita kembangkan dengan penuh antusias.

    Kini belum terlambat untuk mengubah orientasi gerakan ekonomi Islam menuju keseimbangan. Oleh karena itu, semua pihak, sesuai dengan peran masing-masing dapat melakukan aksi berbagai kegiatan bisnis sektor riil. Kegiatan sektor riil yang bisa dikembangkan cukup banyak antara lain, sektor agribisnis, mini market,  konveksi, pabrik segala kebutuhan ummat Islam, seperti pabrik susu, pabrik odol, sabun, shampo dan ratusan jenis kebutuhan  masyarakat lainnya. Dalam mengembangkan sektor riil ini, diperlukan kordinasi  yang baik dengan semua pihak yang terkait, seperti bank sentral, masyarakat ekonomi syari’ah, bankir syari’ah, para akademisi, pengusaha dan  ulama.

    Para ahli ekonomi moneter kontemporer menyimpulkan bahwa  yang menjadi pemicu terjadinya krisis adalah deviasi dalam sektor keuangan yang  memainkan aktivitas spekulasi.[25] Sektor keuangan dalam praktek ini terlepas dari sektor riil.  Kekacauan di sektor ini mengakibatkan kekacauan di sektor riil (produksi, perdagangan dan jasa). Harga-harga barang dan jasa naik, bukan karena  hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), tapi karena suku bunga perbankan naik, tarjadinya depresiasi rupiah atau bahkan karena faktor psikologis seperti yang diakui oleh paa pedagang kecil yang tidak tahu menahu mengapa harga barang naik, akhirnya juga harus ikut menaikkan  harga barang dagangannya bila tidak ingin merugi.

    Yang  paling berat agaknya adalah sektor properti. Karena suku bunga pinjaman naik, banyak proyek properti yang terbengkalai. Terhenti di tengah jalan atau tidak lalu, lantaran pengusaha dan konsumen tak mampu lagi meminjam uang ke bank dengan beban bunga yang cukup tinggi. Akhirnya ratusan ribu buruh dan karyawan sektor properti  kehilangan pekerjaan. Ini jelas akan menambah penganguran.

    Sementara itu, harga-harga kebutuhan pokok juga ikut merangkak naik Sektor otomotif juga terpukul. Angka penjualan mobil juga terus menurun. Bila bulan Agustus 1997  di awal krisis  terjual 43.000 unit mobil dari berbagai merek, maka pada bulan September hanya terjual 35.000 unit. Bulan-bulan berikutnya permintaaan terus semakin menurun. Apalagi pengusaha otomotif dengan terpaksa harus menaikkan harga mobil sekitar 10 %, suatu langkah yang sulit dihindari, karena ongkos produksi dan biaya penyediaan komponen impor terus melonjak seiring meningkatnya nilai dollar.[26]

    Pengembangan Sektor Riil

    Sebagaimana disebut pada pembahasan di awal bahwa  sektor keuangan syari’ah  berkembang cepat meninggalkan sektor riil syari’ah. Kepincangan tersebut tidak boleh dibiarkan berlangsung, karena akan dapat menimbulkan kekacauan dalam perekonomian. Untuk mewujudkan keseimbangan pengembangan ekonomi Islam antara sektor keuangan dan sektor riil, langkah-langkah berikut perlu dilakukan.

    Pertama, pembiayaan (investasi)  dapat dikembangkan oleh bank-bank syari’ah dan lembaga keuangan syari’ah lainnya terhadap subsektor tanaman pangan dan hortikultura (jagung, kedelai, kacang tanah, ubi kayu, ubi jalar, bawang merah, kentang, sawi, tomat, durian, jeruk, nenas, dan  pisang) dan perkebunan (kelapa sawit, karet, kelapa, kopi, dan kakao) di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Sedangka di di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Gorontalo investasi diarahkan untuk  subsektor perikanan dan perkebunan (kelapa, kopi, kakao, dan rempah-rempah). Selain itu, pembiayaan serupa juga dapat dilakukan di Kalimantan Timur terhadap subsektor peternakan (sapi, kambing, kerbau, unggas, serta hasil-hasil ternaknya), kehutanan (berbagai jenis kayu dan hasil olahannya) serta perkebunan kelapa sawit dan ladanya yang sangat potensial.

    Sejauh ini, penyaluran kredit terhadap beberapa sektor riil, terutama sektor agribisnis / agroindustri, belum seimbang sehingga perlu diperbaiki melalui implementasi sistem syariah. Sebagai contoh, nilai kredit pada sektor pertanian dalam persepsi agribisnis/agroindustri tidak sebesar nilai kredit yang diberikan bank terhadap sektor perindustrian, perdagangan, maupun jasa. Rata-rata kredit untuk sektor pertanian pada periode 1996-2002 besarnya hanya 7,29 % dari total kredit yang diberikan oleh perbankan atau sebesar Rp 24.202 miliar. Kondisi tersebut menjadi sangat dilematis, mengingat sektor industri yang bahan bakunya sebagian besar diimpor merupakan sektor dengan persentase jumlah kredit  terbesar untuk seluruh sektor perekonomian, yaitu 34,05 %.[27] Hal ini sangat kontradiktif dengan peranan agroindustri nasional pada ekspor dan perolehan devisa yang selalu menunjukkan peningkatan yang positif, terutama dari ekspor produk-produk minyak sawit dan turunannya, karet dan barang-barang karet, kayu dan produk kayu, pulp dan kertas, ikan dan udang, teh, kopi, kakao, lada, pala, kulit dan barang kulit serta beragam jenis bumbu dan rempah-rempah.

    Kedua, mengingat UKM di sektor agribisnis/ agroindustri pada umumnya tidak mempunyai sifat collateral, penyaluran kredit kepada UKM tersebut seyogianya diberikan melalui kelompok usaha, yang di dalam implementasinya dibantu oleh pendamping, sebagai pembina kelompok UKM sekaligus penghubung antara kelompok dan lembaga keuangan syari’ah serta sebagai pengganti agunan (collateral substitute).

    Ketiga, penetapan cabang lembaga keuangan  syari’ah yang baru seyogianya dilakukan dengan bantuan kalangan pakar agribisnis/agroindustri atau narasumber UKM dari perguruan tinggi-perguruan tinggi, seperti USU, IAIN-SU, UISU, IPB, UGM, ITB dan UI serta universitas-universitas lain di daerah yang memiliki kompetensi pada pengembangan agribisnis/agroindustri dan UKM.

    Keempat, mengigat bank syari’ah dan lembaga keuangan lainnya dihadapkan pada kendala popularitas yang masih kurang di kalangan masyarakat, maka cukup penting untuk ditingkatkan popularitasnya kepada para nasabah, melalui promosi, advokasi, dan berbagai jalur sosialisasi di berbagai lembaga-lembaga pendidikan, bekerja sama dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi, ulama dan ormas Islam  dimana  bank syari’ah beroperasi.

    Kelima, strategi lain yang seyogianya dilakukan oleh lembaga keuangan syari’ah, terutama perbankan syari’ah adalah melakukan patok duga (banchmarking)  terhadap keberhasilan perbankan syari’ah di Malaysia. Malaysia mulai mengimplementasikan sistem perbankan syari’ah sejak tahun 1983 sebagai salah satu strategi pemerintah dalam mendukung perkembangan perekonomian di negara yang berpenduduk mayoritas Islam dan kaya dengan potensi agribisnis/agroindustrinya tersebut. Sepuluh tahun kemudian, perbankan syari’ah Malaysia menetapkan dual banking system, yang menerapkan dua jenis konsep, yaitu sistem bagi hasil (profit and loss sharing)  dan teknik keuangan berbasis perdagangan, sehingga pada akhir tahun 1999, bank syari’ah Malaysia telah memperoleh aset sebesar RM 11,7 miliar atau setara dengan USD 3,1 miliar.[28] Melalui kegiatan patokduga tersebut, Bank Syari’ah memperoleh berbagai  ide dan strategi baru yang inovatif bagi peningkatan kinerjanya di masa depan.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lembaga keuangan dan perbankan syari’ah, seyogianya dapat memberikan banyak manfaat dalam mendukung pengembangan sektor sektor riil, terutama agribisnis/agroindustri dan UKM yang fleksibel, lebih kompetitif, transparan, profesional, dan bersifat universal. Di pihak lain, dengan adanya pengembangan dan perbaikan Iptek, sumber daya manusia dan  pola manajeman   -yang didasari oleh kolaborasi pemanfaatan dan pengelolaan potensi domestik secara profesional dengan sistem syariah pada sektor perbankan-, akan menjadi suatu sistem yang tepat dalam menggerakkan dan memperbaiki sektor perekonomian di Indonesia. Karena itu, penetapan agribisnis/agroindustri dan UKM sebagai dasar pembangunan secara struktural serta sistem syari’ah sebagai sistem pandanaan yang relavan, diharapkan tidak hanya akan dapat memacu perbaikan perekonomian, tetapi juga mendukung kondisi sosial, politik, dan moralitas bangsa ke arah yang lebih baik.

    Penutup

    Perkembangan ekonomi Islam dewasa ini didominasi oleh sektor keuangan, seperti lembaga perbankan  syari’ah, asuransi syari’ah, pasar modal syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah dan Baitul Mal wat Tamwil yang bergerak di bidang unit simpan pinjam. Secara kuantitatf, perkembangan ekonomi Islam di sektor keuangan ini sangat menggembirakan. Namun, sangat disayangkan, perkembangan ekonomi Islam di sektor keuangan itu, belum seimbang dengan perkembangan ekonomi Islam di sektor riil.

    Gerakan ekonomi Islam di sektor riil  syari’ah yang berkembang di Indonesia masih elatif kecil, antara lain Multi level Marketing Syari’ah (MLM) Ahadnet Internasional, MQ-Net yang dikembangkan Abdullah Gymnastiar dan Hotel Sofyan Syari’ah. Selain itu, gerakan ekonomi Islam yang tidak mengunakan label syari’ah, tetapi mengikuti prinsip-prinsip syari’ah, juga masih sangat kecil, seperti Rumah Makan Wong Solo, Rumah Makan Garuda  dan berbagai perusahaan Muslim lainnya. Tegasnya, orientasi pengembangan ekonomi Islam di Indonesia masih di dominasi sektor keuangan, terutama perbankan. Oleh karena itu, di masa depan perlu dilakukan pergeseran orientasi yang tidak hanya mengutamakan sektor keuangan, tetapi juga sektor riil, sehingga terjadi keseimbangan (equilibrium) sebagaimana yang menjadi prinsip ekonomi Islam itu sendiri. Wallahu A’lam

    DAFTAR KEPUSTAKAAN

    Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and its

    Contemporary Interpretatation, Leiden, New York, Koln : EJ. Brill, 1996

     

    Abu Saud, Mahmud, Money, Interest and Qiradh dalam Studies Islamic Economics,

    editor Kursyid Ahmad, (Leiceiter): Islamic Foundation, 1980

     

    Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001

    Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997

     

    Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Bandung, 2002

     

    Amin Aziz, Muhammad, Data Pinbuk Pusat tahun 2002, Jakarta, 2003

     

    Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia, Jakarta, 2002

     

    Data Direktorat Bank Syari’ah Bank Indonesia, Harian Republika, 6  Januari 2?004

     

    Data Bank Indonesia, Harian Republika,  19 Januari 2004

     

    Dawam Rahardjo, Muhammad, Pengantar  buku Bank Syari’ah Analisis Fikih dan

    Keuangan, IIIT , Jakarta, 2003

     

    Didin Damanhuri, Ekonomi Berbasis Hutang, Republika, 27 Desember 2002

     

    Helmi Hilmawan, Berpikir Global , Bertindak Lokal, BNI  46, Jakarta, 2003

     

    Ismail Yusanto, Mencari Solusi Krisis Ekonomi, dalam buku Dinar  Emas Solusi

    Krisis Moneter, PIRAC, Jakarta, 2001

     

    Syafri Harahap, Harahap, Pelajaran dari Krisis Asiam,Pustaka Quantum , Jakarta, 2003

     

    Irman Hilman, dkk, Perbankan Syari’ah Masa Depan, Senayan Abadi Publishing,

    Jakarta, 2003

     

    Latifa M. Algaoud and  Mervyn  K. Lewis,  Islamic Banking,  Edwars Elgard            Massachusetts, 2001

     

    Laporan Tahunan Bank Muamalat Indonesia tahun 1999

     

    Majalah Modal, No 14. Tahun  II, Desember 2003

     

    Majalah Modal,  No 16 / II / Februari 2004

     

    Nejatullah Shiddiqi, Muhammad, Banking Without Interest, Lahore, 1996 ;

     

    Nusirwan, Dual Banking System,  Makalah yang disampaikan pada Seminar Bank

    Syari’ah di Hotel  Dharma Deli Medan, 28 Januari 2004

     

    Paul Ormerod, The Death of Economics, Faber and Faber, London, 1994

     

    Quresyi, Anwar Iqbal, Islam  and The Theory of Interest,  Lahore : Sh. Md Ashraf, 1991.p. 14

     

    Republika, 29 Desember 2003

     

    Republika,  16 Februari 2004

     

     

    Umer Chapra, Muhammad, The Future of Economics, an Islamic Perspektive, SEBI,

    Jakarta, 2002

     

    —————-, Toward a Just Monetary System,  The Islamic Foundation,  Leicester,

    UK, 1985


    [1] Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest, A Study of Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretatation, Leiden, New York, Koln : EJ. Brill, 1996, p. 1. lihat pula,  Latifa M. Algaoud and   Mervyn  K. Lewis,  Islamic Banking,  Edwars Elgard Massachusetts, 2001, p. 19-23

    [2] Data Direktorat Bank Syari’ah Bank Indonesia, Harian Republika, 6  Januari 2?004

    [3] M.Dawam Rahardjo, pada kata pengantar  buku Bank Syari’ah Analisis Fikih dan Keuangan, IIIT, Jakarta, 2003, hlm 5

    4 Laporan tahunan Bank Muamalat Indonesia tahun 1999

    [5] Agustianto, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Cita Pustaka Media, Bandung, 2002, hlm. 34

    [6] Ibid..

    [7] Ibid..

    [8] Majalah Modal,  No 16 / II / Februari 2004

    [9] Data Bank Indonesia, Harian Republika,  19 Januari 2004, hlm. 2

    [10] Nusirwan, Dual Banking System,  Makalah yang disampaikan pada Seminar Bank Syari’ah di Hotel

    Dharma Deli Medan, 28 Januari 2004

    [11] Harian Republika, 29 Desember 2003, hlm 2

    [12] Harian Republika,  16 Februari 2004

    [13] Data Pinbuk Pusat tahun 2002

    [14] Majalah Modal, No 14. Tahun  II, Desember 2003, hlm. 18

    [15] Bank Indonesia, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah Indonesia, Jakarta, 2002

    [16] Anwar Iqbal Quresyi, Islam  and The Theory of Interest,  Lahore : Sh. Md Ashraf, 1991.p. 14

    [17] Lihat Muhammad Nejatullah Shiddiqi, Banking Without Interest, Lahore, 1996 ;  Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Yogyakarta, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1997 ;  Mahmud Abu Saud, Money, Interest and Qiradh dalam Studies Islamic Economics, editor Kursyid Ahmad, (Leiceiter : Islamic Foundation, 1980, p. 59-84.

    [18] Data Biro Bank Syari’ah Bank Indonesia, tahun 2002

    [19] Didin Damanhuri, Ekonomi Berbasis Hutang, Republika, 27 Desember 2002

    [20] Sofyan Syafri Harahap, Pelajaran dari Krisis Asia,Pustaka Quantum , Jakarta, 2003, hlm. 19-20

    [21] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 2001. hlm 57

    [22] Sofyan Syafri Harahap, loc.cit. Lihat pula ulasan Paul Ormerod, The Death of Economics, Faber and Faber, London, 1994  yang juga mengkritik keras fenomena sistem ekonomi kapitalisme dewasa ini.

    [23] Ibid..

    [24] Ibid..

    [25] Umer Chapra, The Future of Economics, an Islamic Perspektive, SEBI, Jakarta, 2002, hlm.  264

    [26] Ismail Yusanto, Mencari Solusi Krisis Ekonomi, dalam buku Dinar  Emas Solusi Krisis Moneter, PIRAC, Jakarta, 2001, hlm, 7

    [27] Irman Hilman, dkk, Perbankan Syari’ah Masa Depan, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2003, hlm.141

    [28] Helmi Hilmawan, Berpikir Global , Bertindak Lokal, BNI  46, Jakarta, 2003, hlm. 152

    Comments (1)

    […] Musyarakah Mutanaqishah? Training dan Workshop Dosen Pasca Sarjana Ekonomi Islam tentang … Download Mewujudkan equilibrium sektor finansial dan sektor riil … […]

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition