• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dalam perspektif ekonomi islam

    0

    Posted on : 12-03-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Oleh : Agustianto

    Dalam Ekonomi Pembangunan, kajian mengenai pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan pembangunan ekonomi (economic development) menempati posisi  yang cukup penting di kalangan para ekonom. Kajian ini setidaknya dimulai ketika ekonom mengamati fenomena-fenomena penting yang dialami dunia  dalam dua abad belakangan ini. Perkembangan perekonomian dunia selama dua abad ini telah menimbulkan dua efek yang sangat penting, yaitu : pertama, kemakmuran  atau taraf hidup yang semakin meningkat yang dicapai oleh masyarakat dunia, kedua, terciptanya kesempatan kerja baru kepada penduduk yang semakin bertambah jumlahnya.

    Ekonomi pembangunan pada dasarnya telah melewati tiga fase yang berbeda[1]. Fase pertama, adalah Ekonomi Pembangunan klasik yang dikembangkan oleh para ekonom klasik yang mencoba menjelaskan ekonomi jangka panjang dalam kerangka kerja kapitalisme dengan slogannya yang terkenal laisssez faire.  Fase ini bertahan lebih kurang satu abad sejak publikasi The Wealth of Nation, karya Adam Smith tahun 1776.[2]

    Fase kedua, dimulai setelah perang dunia kedua dan ketika sejumlah negara dunia ketiga memperoleh kemerdekaannya. Oleh karena banyak negara-negara yang baru merdeka, maka analisis masalah yang berkenaan dengan negara-negara tersebut mulai menarik perhatian. [3]Pada fase ini fokus perhatian berpindah dari ekonomi liberalisme klasik kepada Neo Klasik. Strategi yang dipegang adalah ketergantungan yang lebih kecil kepada pasar dan peranan yang lebih besar dari pemerintah dalam perekonomian. Kapitalisme laissez faire telah kehilangan peran ketika itu, akibat peristiwa Great Depression (1929-1932)[4] . Ekonom yang sangat berperan dalam fase ini adalah John Maynard Keynes dengan bukunya The General Theory of Employment, Interest and Money yang diterbitkan tahun 1936.[5] Pada fase inilah ekonomi Keynesys dan sosialis memperoleh momentum di dunia Barat.

    Sedangkan fase ketiga memiliki fokus yang berbeda dengan fase kedua. Dalam fase ketiga  ini perhatian Ekonomi Pembangunan cendrung anti kekuasaan (negara) dan kembali pro kepada kebebasan pasar. Fase ini terjadi mulai tahun 1970-an, yaitu ketika  pelaksanaan startegi Keynes dan sosialis mulai melemah. Pada fase ini ekonomi neoklasik muali ”comeback” dan menjadi paradigma yang dominan. Mereka berkeyakinan  bahwa liberalisasi pasar dengan pengurangan peran pemerintah dalam bidang ekonomi adalah sangat penting untuk menyelesaikan  masalah negara berkembang. Fase ini juga dianggap sebagai  era kebangkitan  liberalisme dan  ekonomi neoklasik[6].

    Ketiga fase tersebut, menunjukkan inkonsistensi dan ketidakpastian dalam program pembangunan di negara-negara berkembang[7], khususnya di negara-negara muslim. Inkonsisten tersebut melahirkan  analisis dan resep kebijakan yang bertentangan dan ini sangat membahayakan pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Dengan kata lain, negara-negara berkembang  yang hendak melaksanakan pembangunan dengan model barat mengalami kebingungan karena pertentangan-pertentangan konsep antara neo klasik ala Keynes dengan liberalisme klasik (ekonomi pasar yang mereduksi peran negara dalam ekonomi) yang diajarkan Adam Smith. Kebingungan negara-negara berkembang itu juga dipengaruhi oleh konsep-konsep pembangunan   dari negara-negara yang menerapkan sistem sosialis.

    Karena itu, maka tugas yang dihadapi negara berkembang  sangat rumit. Mereka tidak hanya harus mengembangkan ekonomi  dengan cara yang tepat dengan tingkat efisien dan keadilan yang tinggi dalam penggunaan sumberdaya, tetapi juga harus mengubah ketidakseimbangan pembangunan yang ditimbulkan oleh resep yang salah itu.

    Karena ekonomi klasik, neoklasik,  dan sosialis, semuanya lahir dari pandangan dunia enlightenment, pendekatan mereka untuk mewujudkan kesejahteraan  manusia dan analisis mereka tentang problem-problem manusia adalah sekuler. Dalam  pembangunan, mereka  lebih mementingkan konsumsi dan pemilikan materi sebagai sumber kebahagiaan manusia. Mereka tidak mengindahkan peranan nilai moral  dalam reformasi indidivu dan sosial, dan terlalu berlebihan  menekankan peranan pasar atau negara. Mereka tidak memiliki komitmen kepada persaudaraan (brotherhood) dan keadilan sosio-ekonomi dan tidak pula memiliki mekanisme filter nilai-nilai  moral  yang disetujui masyarakat.

    Walau demikian, harus diakui bahwa pertumbuhan ekonomi yang telah berlangsung beberapa waktu lalu dan sampai saat ini berlangsung, juga banyak memberikan konstribusi dalam menciptakan keajaiban-keajaiban ekonomi. Kekuatan pertumbuhan ekonomi untuk mentransformasi  masyarakat dari kemiskinan menuju kemakmuran  tidak dapat dipungkiri. Pada tahun 1970-1980, rata-rata pendapatan perkapita tumbuh menjadi rata-rata 7% pertahun. Standart hidup ratusan juta orang telah meningkat. Tingkat pendidikan masyarakat lebih tinggi. Tingkat kematian bayi  anak-anak dan ibu melahirkan menurun pesat. Jurang perbedaan gender dalam kemampuan dasar manusia  semakin menyempit. Berikut ini data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia tentang peningkatan perdagangan  dan pertumbuhan GDP negara-negara dunia sampai 2003 seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

    Data World Bank di samping tidak harus menggembirakan kita. Justru kita harus memberikan perhatian terhadap kenyataan-kenyataan tragis yang ditemukan. Di Asia Timur pada tahun 1990, hampir 170 juta anak laki-laki dan perempuan putus sekolah pada tingkat  sekolah menengah. Di Asia Tenggara dan Pasifik lebih sepertiga anak-anak berusia  di bawah lima tahun mengalami kekurangan nutrisi. Hampir satu juta anak-anak di Asia Timur mati sebelum berumur lima tahun. Memang bisa saja dikemukakan argumen bahwa  seiring dengan perjalanan waktu dan semakin meningkatnya pertumbuhan, kekurangan-kekurangan itu akan bisa dihilangkan. Akan tetapi hal demikian nampaknya lamunan belaka, sebab kalau memang demikian, maka  negara-negara industri  pasti akan terbebas dari masalah-masalah seperti itu. Pada kenyataannya dewasa ini lebih dari 100 juta orang di negara-negara industri hidup di bawah garis kemiskinan dan lebih dari lima juta orang menjadi tunawisma.[8]

    Analisis yang sama  dikemukakan  oleh Chapra. Menurutnya, peristiwa depresi hebat telah memperlihatkan secara jelas kelemahan logika Hukum Say dan konsep laissez faire. Ini dibuktikan oleh ekonomi pasar yang hampir tidak mampu secara konstan menggapai tingkat full employment dan kemakmuran. Ironisnya, di balik kemajuan ilmu ekonomi yang begitu pesat, penuh inovasi, dilengkapi dengan metodologi  yang semakin tajam, model-model matematika dan ekonometri yang semakin luas untuk melakukan evaluasi dan prediksi, ternyata ilmu ekonomi tetap memiliki keterbatasan untuk mengambarkan, menganalisa maupun memproyeksikan kecenderungan tingkah laku ekonomi dalam perspektif waktu jangka pendek.[9]

    Dengan kata lain, ilmu ekonomi, bekerja dengan asumsi-asumsi  ceteris paribus. Dalam konteks ini, Keynes pernah mengatakan, “Kita terkungkung dan kehabisan energi dalam perangkap teori dan implementasi ilmu ekonomi kapitalis yang ternyata tetap saja mandul untuk melakukan terobosan mendasar guna mencapai kesejahteraan  dan kualitas hidup  umat manusia di muka bumi ini”[10].

    Kesimpulannya, konsep dan kebijakan ekonomi yang berdasarkan kapitalisme dan sosialisme, terbukti telah gagal mewujudkan perekonomian yang berkeadilan[11]. Akibat berpegang pada kedua faham tersebut terjadilah ketidakseimbangan makroekonomi dan instabilitas nasional.

    Dengan melihat realita di atas, jelas ada ”something wrong” dalam konsep-konsep yang selama ini diterapkan di berbagai negara, karena kelihatan masih jauh dari yang diharapkan. Konsep-konsep tersebut terlihat tidak memiliki konstribusi yang  cukup signifikan, bahkan bagi negara-negara pencetus konsep tersebut. Ini terbukti dari ketidakmampuan direalisasikannya  sasaran-sasaran yang diinginkan seperti pemenuhan kebutuhan dasar, kesempatan kerja penuh (full employment) dan distribusi pendapatan dan kekayaan merata.

    Konsep-konsep tersebut juga dianggap gagal, karena menyuburkan budaya eksploitasi manusia atas manusia lainnya, kerusakan lingkungan serta melupakan tujuan-tujuan moral dan etis manusia. Singkatnya, konsep yang ditawarkan Barat,  bukanlah pilihan tepat apalagi dijadikan prototype bagi negara-negara yang sedang berkembang[12]. Namun demikian kita tak boleh menafikan bahwa pengalaman dari ekonomi pembangunan yang telah berkembang itu  banyak yang bermanfaat dan penting  bagi kita dalam membangun, meskipun relevansinya sangat terbatas.

    Sistem kapitalis maupun sosialis jelas tidak sesuai dengan sistem nilai Islam. Keduanya bersifat eksploitatif dan tidak adil serta memperlakukan manusia bukan sebagai manusia. Kedua sistem itu juga tidak mampu menjawab tantangan ekonomi, politik, sosial dan moral di zaman sekarang. Hal ini bukan saja dikarenakan ada perbedaan ideologis, sikap moral dan kerangka sosial politik, tetapi juga karena alasan-alasan yang lebih bersifat ekonomis duniawi, perbedaan sumberdaya, stuasi ekonomi internasional yang berubah, tingkat ekonomi masing-masing dan biaya sosial ekonomi pembangunan.

    Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat, banyak dipengaruhi oleh kakrakteristik unik dan spesifik, juga  dipengaruhi oleh nilai dan infra struktur sosial politik ekonomi Barat. Teori demikian jelas  tidak dapat diterapkan persis di negara-negara Islam. Terlebih lagi, sebagian teori pembangunan Barat lahir dari teori Kapitalis. Karena kelemahan mendasar inilah, maka teori tersebut tidak mampu menyelesaikan persoalan pembangunan di berbagai negara berkembang.

    Ilmu Ekonomi Pembangunan sekarang ini menghadapi masa krisis dan re-evaluasi. Ia menghadapi serangan dari berbegai penjuru. Banyak ekonom dan perencana pembangunan yang skeptis tentang pendekatan utuh ilmu ekonomi pembangunan kontemporer. Menurut Kursyid Ahmad, sebagian mereka berpendapat bahwa teori yang didapat dari pengalaman pembangunan Barat kemudian diterapkan di negara-negara berkembang, jelas tidak sesuai dan merusak masa depan pembangunan itu sendiri.[13]

    Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu ekonomi Pembangunan Barat sama sekali tidak relevan dan tidak memenuhi syarat untuk diterapkan di negara-negara Islam. Karena itu prinsip-prinsip teori ini harus ditinjau kembali. Pendekatann yang jauh lebih kritis, harus dilakukan untuk mengobati penyakit-penyakit yang sudah dsitularkan kepada negara-negara Islam.        I

    Pada akhirnya, kita memerlukan suatu konsep pembangunan ekonomi  yang tidak hanya mampu merealisasikan  sasaran-sasaran yang ingin dicapai dalam suatu pembangunan ekonomi secara tepat, teruji dan bisa diterapkan oleh semua negara-negara di belahan bumi ini, tetapi juga yang terpenting adalah kemampuan konsep tersebut meminimalisasir atau bahkan menghilangkan segala negative effect pembangunan yang dilakukan. Konsep tersebut juga harus mampu memperhatikan sisi kemanusiaan tanpa mulupakan aspek moral.

    Kesadaran akan pentingnya nilai moral dalam ekonomi pembangunan telah banyak dikumandangkan oleh para ilmuwan ekonomi. Fritjop Capra dalam bukunya, ”The Turningt Point, Science, Society, and The Rising Culture, menyatakan, ilmu ekonomi merupakan ilmu yang paling bergantung pada nilai dan paling normatif di antara ilmu-imu lainnya. Model dan teorinya  akan selalu didasarkan atas nilai tertentu dan pada pandangan tentang hakekat manusia tertentu, pada seperangkat asumsi yang oleh E.F Schummacher disebut ”meta ekonomi” karena hampir tidak pernah dimasukkan secara eksplisit di dalam ekonomi kontemporer[14]. Demikian pula Ervin Laszlo dalam bukunya 3rd Millenium, The Challenge and the Vision mengungkapkan kekeliruan sejumlah premis ilmu ekonomi, terutama resionalitias ekonomi yang telah mengabaikan sama sekali nilai-nilai dan moralitas[15]. Menurut mereka kelemahan dan kekeliruan itulah yang antara lain menyebabkan ilmu ekonomi tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat manusia. yang terjadi justru sebaliknya, yaitu ketimpangan yang semakin tajam antara negara-negara berkembang (yang miskin) dengan negara-negara dan masyarakat kaya. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk memperbaiki keadaan tidak ada jalan lain kecuali dengan merobah paradigma dan visi, yaitu melalukan satu titik balik peradaban.

    Kebutuhan akan suatu konsep  baru pembangunan ekonomi dunia saat ini terasa lebih mendesak dilakukan, terutama dalam era globalisasi. Mark Skousen dalam bukunya Economic on Trial : Lies, Myths and Reality banyak mengkritik mainstream ekonomi yang selama ini  dianut oleh negara-negara dunia. Dia juga selanjutnya memberikan beberapa resep bagaimana seharusnya kita memulai abad baru ini dengan menerapkan 7 (tujuh) prinsip ekonomi yang harus menjadi acuan dalam bergerak. Prinsip-prinsip  tersebut adalah :

    1. Produksi harus diprioritaskan dari konsumsi
    2. Pengeluaran defisit dan hutang nasional yanhg terlalu besar merupakan hal yang membahayakan bagi masyarakat.
    3. Kebijakan yang memacu konsumsi ketimbang tabungan dan menggalakkan hutang merupakan hal yang bisa merusak pertumbuhan ekonomi dan standart hidup masyarakat
    4. Perencanaan terpusat (Centrak Planning) dan totalitarianisme terbukti tidak bisa berfungsi
    5. Diperlukan suatu sistem finansial baru untuk menciptakan kerangka kerja  finansial  yang tanggung dalam meminimalisir inflasi dan ketidakpastian
    6. Harus ada kebijakan jangka panjang berkaitan dengan kesejahteraan  dengan memberikan kebebasan terjadinya pergerakan modal  (capital movement) uang dan orang dari satu tempat ke tempat lain.
    7. Dalam upaya meningakatkan produktifitas dan standar hidup masyarakat, suatu negara juga harus tetap memperhatikan lingkungan dengan mengurangi sebanyak mungkin polusi dan eksternalitas negatif lainnya yang mungkin terjadi.[16]

     

    Lebih lanjut Mark Skousen, yang terkenal dengan kritik-kritiknya terhadap konsep ekonomi, baik secara mikro maupu makro, menyatakan bahwa ekonomi baru (new economy) pasti akan terwujud. Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa  negara manapun di dunia ini, baik miskin atau kaya, tidak boleh melupakan prinsip-prinsip di atas.[17]

    Negara yang mengabaikannya dipastikan akan terus mengalami kegagalan dan menghadapi berbagai masalah, seperti inflasi, deflasi secara tiba-tiba, budget yang tidak seimbang, krisis ekonomi birokrasi yang menakutkan, stagnasi ekonomi, pencemaran lingkungan, perang, dan sebagainya. Sebaliknya, negara yang memperhatikan prinsip-prinsip itu akan mengalami penguatan di berbagai sektor  seperti kuatnya nilai mata uang, suku bunga yang rendah,  pasar modal yang kuat dan sebagainya.

    Prinsip  yang dikemukakan Mark Skousen memang sangat bagus, walaupun ia  masih belum memahami beberapa akar penyebab masalah lain yang terkait dengan permasalahan ekonomi selama dua abad ini. Misalnya kenapa suatu negara terjerat terus dengan hutang, peningkatan ekonomi tanpa kedamaian manusia,  inflasi yang tetap terus terjadi, dsb.

    Tulisan ini mencoba memberikan gambaran mengenai prinsip Islam berkaitan  dengan pembangunan. Prinsip – prinsip tersebut tergabung dalam konsep  pembangunan ekonomi yang integral baik pertumbuhana ekonomi (economic growth) maupun pembangunan ekonomi (economic development). Konsep ini diharapkan tidak hanya mampu menjadi alternatif model  pembangunan negara-negara muslin muslim saja, namun  juga mampu menjadi acuan umum pembangunan negara-negara  dunia secara universal.

     

    Pengertian Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi

    Pertumbuhan ekonomi dalam ekonomi modern adalah perkembangan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat meningkat yang selanjutnya diiringi dengan peningkatan kemakmuran masyarakat[18]. Dalam kegiatan ekonomi yang sebenarnya, pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan ekonomi fiskal  yang terjadi di suatu negara seperti pertambahan jumlah dan produksi  barang industri, infra struktur, pertambahan jumlah sekolah, pertambahan produksi kegiatan-kegiatan ekonomi yang sudah ada dan beberapa perkembangan lainnya. Dalam analisis makro ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara diukur dengan perkembangan pendapatan nasional riil yang dicapai oleh suatu negara yaitu Produk Nasional Bruto (PNB) atau Produk Domestik Bruto.[19]

    Sedangkan istilah pembangunan  ekonomi (economic development) biasanya dikaitkan dengan perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang. Sebagian ahli ekonomi mengartikan istilah ini sebagai berikut, ”economic development is growth plus change” (Pembangunan ekonomi adalah  pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh  perubahan-perubahan  dalam struktur dan corak  kegiatan ekonomi).[20]

    Dengan perkataan lain, dalam mengartikan istilah pembangunan ekonomi, ekonom bukan saja tertarik kepada masalah perkembangan pendapatan nasional riil, tetapi juga  kepada modernisasi kegiatan ekonomi, misalnya kepada usaha perombakan sektor pertanian yang tradisional, mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan.

    Dalam kajian ekonomi, kedua istilah di atas terkadang digunakan dalam konteks yang hampir sama. Banyak orang mencampuradukkan  penggunaan kedua istilah tersebut. Pencampuadukan istilah ini walaupun tidak dapat dibenarkan, pada dasarnya tidak terlalu mempengaruhi kajian ekonomi, karena inti  pembahasan pada akhirnya akan berhubungan erat dengan perkembangan perekonomian suatu negara.

    Dalam berbagai literatur tentang ekonomi Islam, kedua istilah ini juga ditemukan. Ekonomi Islam pada dasarnya memandang bahwa pertumbuhan ekonomi adalah bagian dari pembangunan ekonomi [21]. Pertumbuhan ekonomi didefenisikan dengan a suistained growth  of a right kind of output which can contribute to human welfare.[22] (Pertumbuhan terus-menerus  dari factor produksi secara benar yang mampu memberikan konstribusi  bagi kesejahteraan manusia).

    Berdasarkan pengertian ini, maka pertumbuhan ekonomi menurut Islam merupakan hal yang sarat nilai. Suatu peningkatan yang dialami oleh faktor produksi tidak dianggap sebagai pertumbuhan ekonomi jika produksi tersebut misalnya memasukkan barang-barang yang terbukti memberikan efek buruk  dan membahayakan manusia.

    Sedangkan istilah pembangunan ekonomi yang dimaksudkan dalam Islam adalah the process of allaviating poverty and provision of ease, comfort and decency in life[23] (Proses untuk mengurangi kemiskinan serta menciptakan ketentraman, kenyamanan dan tata susila dalam kehidupan)

    Dalam pengertian ini, maka pembangunan ekonomi menurut Islam bersifat multi dimensi yang mencakup aspek kuantitatif dan kualitatif. Tujuannya bukan semata-mata kesejahteraan material di dunia, tetapi juga kesejahteraan akhirat. Keduanya menurut Islam menyatu secara integral.

     

    Potensi Pertumbuhan Ekonomi Menurut Ekonomi Islam

    Dalam pertumbuhan ekonomi ada beberapa faktor yang akan mempengaruhi pertumbuhan  itu sendiri. Faktor-faktor tersebut adalah :

    1. Sumberdaya yang dapat dikelola (invistible resources)
    2. Sumberdaya manusia (human resources)
    3. Wirausaha (entrepreneurship)
    4. Teknologi (technology)[24]

    Islam juga melihat bahwa faktor-faktor di atas juga sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi.

    1.SDM yang dapat dikelola (investable resources)

    Pertumbuhan ekonomi sangat membutuhkan sumberdaya yang dapat digunakan  dalam memproduksi asset-asset fisik untuk menghasilkan pendapatan. Aspek fisik tersebut antara lain tanaman indutrsi, mesin, dsb. Pada sisi lain, peran modal juga sangat signifikan untuk diperhatikan. Dengan demikian, proses pertumbuhan ekonomi mencakup  mobilisasi sumberdaya, merubah sumberdaya tersebut dalam bentuk asset produktif, serta dapat digunakan secara optimal dan efisien. Sedangkan sumber modal terbagi dua yaitu sumber domestik/internal serta sumber eksternal.

    Negara-negara muslim harus mengembangkan kerjasama  ekonomi  dan sedapat mungkin menahan diri untuk tidak tergantung  kepada sumber eksternal. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir  beban hutang yang berbasis bunga dan menyelamatkan generasi akan datang dari ketergantungan dengan Barat.[25] Oleh karena itu perlu upaya untuk meningkatkan  sumberdaya domestik seperti tabungan dan simpanan sukarela, pajak ataupun usaha lain berupa pemindahan sumberdaya  dari orang kaya kepada orang miskin.

     

    2.SDM (human resuources)

    Faktor penentu lainnya yang sangat  penting adalah sumberdaya manusia. Manusialah yang paling aktif berperan dalam pertumbuhan ekonomi. Peran mereka mencakup  beberapa bidang, antara lain dalam hal eksploitasi sumberdaya yang ada, pengakumulasian modal, serta pembangunan institusi sosial ekonomi dan politik masyarakat.

    Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, maka perlu adanya efisiensi dalam tenaga kerja. Efisiensi tersebut membutuhkan kualitas professional dan kualitas moral. Kedua kualitas ini harus dipenuhi dan tidak dapat  berdiri sendiri. Kombinasi keduanya mutlak dipadukan dalam batas-batas yang rasional

    Prinsip Islam  terlihat berbeda  dengan mainstream  ekonomi konvensional  yang hanya menekankan pada aspek kualitas profesional  dan mengabaikan kualitas moral. Moral selama ini dianggap merupakan rangkaian yang hilang dalam kajian ekonomi. Maka Islam mencoba mengembalikan nilai moral tersebut. Oleh karena itu, menurut Islam untuk dapat menjadi pelaku ekonomi yang baik, orang tersebut dituntun oleh syarat-syarat berikut :

    a). Suatu kontrak kerja merupakan janji dan kepercayaan yang tidak boleh dilanggar walaupun sedikit. Hal ini memberikan suatu jaminan moral seandainya ada penolakan kewajiban dalam kontrak atau pelayanan yang telah ditentukan.

    b) Seseorang harus bekerja maksimal ketika ia telah menerima gaji secara penuh. Ia dicela apabila tidak memberi kerja yang baik.

    c). Dalam Islam kerja merupakan ibadah sehingga memberikan implikasi pada seseorang untuk bekerja secara wajar dan profesional.

     

    3. Wirausaha (entrepreneurship)

    Wirausaha merupakan kunci dalam proses pertumbuhan ekonomi dan sangat determinan. Wirausaha dianggap memiliki fungsi dinamis yang sangat dibutuhkan dalam suatu pertumbuhan ekonomi. Nabi Muhammad Saw, dalam beberapa hadits menekankan pentingnya wirausaha. Dalam hadits riwayat Ahmad beliau bersabda, ”Hendaklah kamu berdagang (berbisnis), karena di dalamnya teedapat 90 % pintu rezeki”. Dalam hadits yang lain beliau bersabda, ”Sesungguhnya sebaik-baik pekerjaan adalah perdagangan (bisnis)”.

    Menurut M.Umer Chapra, dalam buku  Islam and Economic Development, bahwa salah satu cara yang paling konstruktif dalam mempercepat pertumbuhan yang berkeadilan adalah dengan membuat masyarakat dan individu untuk mampu semaksimal mungkin mengunakan daya kreasi dan artistiknya secara profesional, produktif dan efisien[26]

    Dengan demikian, semangat entrepreneurship (kewirausahaaan) dan kewiraswastsaan harus ditumbuhkan dan dibangun dalam jiwa masyarakat. Dr.Muhammad  Yunus  telah menekankan pentingnya pembangunan jiwa wirausaha dalam pembangunan eknonomi di negara-negara muslim yang tergolong miskin. Dalam hal ini ia mengatakan, : ”Upah buruh bukanlah satu jalan mulus bagi pengurangan kemiskinan, justru wirausahalah yang mempunyai potensi lebih besar dalam meningkatkan basis-basis asset individual daripada yang dimiliki oleh upah kerja[27].

    Menumbuhkan kembangkan jiwa kewisahausahawaan akan mendorong pengembangan usaha kecil secara signifikan. Usaha kecil, khususnya di sektor produksai akan menyerap tenaga kerja yang luas dan jauh lebih besar. Beberapa  studi yang dilakukan di sejumlah negara oleh Michigan State University dan para sarjana, telah menunjukkan secara jelas konstribusi yang besar dan industri kecil dan usaha mikro dalam memberikan lapangan pekerjaan dan pendapatan. Merekja mampu menciptakan lapangan kerja bahkan secara tidak langsung  mereka berarti mengembangkan pendapatan dan permintaan akan barang dan jasa, peralatan, bahan baku dan ekspor. Mereka adalah industri padat karya yang kurang memerlukan  bantuan dana luar (asing), bahkan kadang tidak begitu tergantung kepada kredit pemerintah dibanding insdustri berskala besar.

    Karena itu, tidak mengherankan apabila saat ini muncul kesadaran yang meluas bahwa strategi industrialisasi modern yang berskala besar pada dekade terdahulu secara umum telah gagal memecahkan masalah-masalah keterbelakangan global dan kemiskinan[28]. Litte, Scietovsky dan Scott telah menyimpulkan bahwa industri-industri modern yang berkla besar biasanya kurang dapat menghasilkan keuntungan daripada industri-industri kecil, di samping itu industri besar lebih mahal dalam hal modal dan lebih sedikit menciptakan lapangan pekerjaan[29]. Karena itulah Usaha Mikro (Industri kecil) secara luas dipandang sebagai suatu cara yang efektif untuk meningkatkan konstribusi sektor swasta, baik untuk tujuan-tujuan pertumbuhan maupun pemerataan bagi negara-negara berkembang.[30]. Banyak para sarjana meragukan konstribusi industri-industri besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara signifikan dibanding industrui kecul dan usaha mikro.[31]

    Karena itulah Hasan Al-Banna memberikan dan mengembangkan industri rumah tangga yang utama dalam pembahasan tentang reformasi ekonominya sesuai dengan jaran Islam. Hal itu beliau tekankan karena akan membantu penyediaan lapangan kerja produktif bagi semua anggota masyarakat miskin, dengan demikian akan mengurangi pengangguran dan kemiskinan.[32]

    Dari paparan di atas dapat ditegaskan bahwa peran wirausaha dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang tak terbantahkan. Kelangkaan  wirausaha bahkan bisa menyebabkan kurangnya pertumbuhan ekonomi walaupun faktor-faktor lain banyak tersedia. Dalam hal ini pula Islam sangat mendorong pengembangan semangat wirausaha untuk menggalakkan pertumbuhan ekonomi.

    4.Teknologi

    Para ekonom menyatakan bahwa kemajuan teknologi merupakan sumber terpenting pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dianggap tidak mengikuti proses sejarah secara gradual, tidak terjadi terus-menerus dalam suatu keadaan yang tidak bisa ditentukan. Dinamika dan diskontiniuitas tersebut berkaiatan erat dan ditentukan oleh inovasi-inovasi dalam bidang teknologi.

    Kemajuan  teknologi mencakup dua bentuk, yaitu inovasi produk dan inovasio proses. Inovasi produk berkaitan dengan produk-produk baru yang sebelumnya tidak ada atau pengembangan produk-produk sebelumnya. Sedangkan inovasi proses merupakan  penggunaan teknik-teknik baru yang lebih murah dalam memproduksi produk-produk yang telah ada.

    Islam  tidak menantang konsep tentang perubahan teknologi seperti digambarkan di atas, bahkan dalam kenyataannya Islam mendukung kemajuan teknologi. Perintah Al-quran untuk melakukan pencarian dan penelitian cukup banyak dalam Al-Quran. Dalam terma ekonomi bisa disebut dengan penelitian dan pengembangan  (research and development) yang menghasilkan perubahan teknologi. Dalam Al-quran juga ada perintah untuk melalukan eksplorasi segala apa yang terdapat di bumi untuk kesejahteraan manusia.[33] Eksplorasi ini jelas membutuhkan penelitian untuk menjadikan sumberdaya alam tersebut berguna dan bermanfaat bagi manusia.

    Integrasi Pertumbuhan dengan Pemerataan (Growth With Equity)

    Dr.Muhammad Qal’ah Jey dalam buku  Mabahits fi Al-Iqtishad al-Islamy mengatakan bahwa  salah satu tujuan ekonomi Islam adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi[34]. Tetapi dalam point ini terdapat  sebuah pertanyaan besar yaitu, apakah yang menjadi prioritas dalam pertumbuhan  ekonomi itu  pemerataan (growth with equity) atau pertumbuhan itu sendiri (growth) an sich. Jawaban pertanyaan tersebut adalah bahwa Islam membutuhkan kedua aspek tersebut. Baik pertumbuhan (growth) maupun pemerataan (equity), dibutuhkan secara simultan.

    Islam tidak akan mengorbankan pertumbuhan ekonomi, karena memang pertumbuhan (growth) sangat dibutuhkan[35].Pada sisi lain, Islam juga tetap memandang pentingnya pemerataan, karena pertumbuhan ekonomi tidak menggambarkan kesejahteraan secara menyeluruh,[36] terlebih apabila pendapatan dan faktor produksi banyak terpusat bagi sekelompok kecil masyarakat.

    Karena itu, teknik dan pendekatan baru  yang harus  dilakukan dalam pembangunan menurut perspektif ekonomi Islam, adalah bahwa kita harus meninggalkan penggunaan model-model pertumbuhan agregatif yang lebih menekankan maksimalisasi tingkat pertumbuhan sebagai satu-satunya indeks  perencanaan pembangunan. Karena itu, pertumbuhan ekonomi dan perkapita yang tinggi, bukan menjadi tujuan utama. Sebab apalah artinya perkapita tinggi, tapi berbeda sama sekali dengan kondisi riil, kemiskinan menggurita dan kesenjangan tetap menganga. Sebagai contoh, kita bisa melihat PDB Indonesia pada tahun 2000. menurut perhitungan Badan Statistik, selama tahun 2000 itu, PDB tumbuh 4,8%. Pendapatan perkapita Indonesia, telah meningkat 14,49 % dari tahun sebelumnya. Berdasarkan perhitungan BPS tersebut, PDB penduduk Indonesia tahun lalu, mencapai US$.700 perkapita. Bila dirupiahkan angka tersebut sekitar Rp. 6,3 Juta dalam perkapita pertahun. Dengan peningkatan perkapita menjadi Rp. 6,3 juta, peringkat Indonesia di Asia Tenggara mengalami perbaikan dibanding dengan saat krisis ekonomi memuncak. Pendapatan rata-rata penduduk Indonseia setidaknya masih lebih tinggi dari Vietnam (US$. 370), Kamboja (US$. 280) dan Laos (US$. 263). Namun peringkat Indonesia masih dibawah Myanmar (US$. 765), Philipina (US$. 1046), Thailand (US$. 1909) dan sangat jauh dibawah Malaysia (US$. 3248), Brunai (US$. 20.400) dan Singapura (US$. 22.710).

    Dari data pertemuan ekonomi Indonesia yang tampak membaik itu, kita tidak boleh langsung bergembira dan menyatakan bahwa pemulihan ekonomi rakyat Indonesia mulai berhasil. Harus dicatat, meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia setinggi langit, misalnya mencapai 20%, dan perkapita mencapai US$. 3.200, seperti Malaysia. Hal ini belum tentu menggembirakan kita, bila ditinjau dari perspektif ekonomi Islam, karena mungkin saja pertumbuhan yang tinggi berada di tangan segelintir konglomerat tertentu.

    Menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi melalui indikator PDB Domestik Bruto dan perkapita semata, tidaklah tepat. Dalam paradigma ekonomi Islam pertumbuhan haruslah sejalan dengan keadilan dan pemerataan pendapatan.[37]

    Perhitungan perkapita merupakan perhitungan agregat yang belum tentu mencerminkan kondisi riil. Angka rata-rata itu diperoleh berdasarkan pembagian atas Produk Domestik Bruto oleh jumlah penduduk. Sehingga jumlah penduduk sebagai faktor pembagi makin besar, sudah tentu hasil angka perkapita yang diperoleh semakin kecil, demikian pula sebaliknya. Wilayah Jabotabek misalnya, angka pendapatan perkapitanya pasti akan sangat besar, sebab pertumbuhan ekonomi lebih terkonsentrasi di wilayah itu. Tetapi bila seluruh penduduk yang mayoritas tinggal di desa disertakan sebagai faktor pembagi tadi, maka perkapita secara nasional menjadi berkurang. Jadi kesimpulannya, PDB dan perkapita tidak dapat menggambarkan kondisi riil. Karena itu, PDB yang tinggi belum cukup menggambarkan perbaikan ekonomi rakyat secara adil. Hal ini karena masih banyak penduduk Indonesia tidak memiliki penghasilan tetap, dan malah dibawah garis kemiskinan, misalnya penduduk Indonesia di kawasan timur dan kawasan-kawasan lainnya sebagai contoh di kawasan pegunungan Cartenz, daerah operasi PT. Freeport Indonesia, kawasan yang tampak makmur, hanyalah Tembaga Pura. Di luar wilayah itu, banyak penduduk yang belum mendapat kesempatan memperoleh penghasilan tetap. Namun dalam perhitungan PDB perkapita, mereka yang fuqara’ dan masakin ini dimasukkan kedalam faktor pembagi, sehingga seolah-olah mereka memperoleh penghasilan tetap mencapai Rp. 6,3 juta pertahun (sekitar Rp. 525.000) perbulan. Mereka seolah-oleh pula menikmati kue pembangunan. Padahal sejatinya, mereka hidup dibawah garis kemiskinan.

    Kondisi ini sekaligus menjadikan gambaran yang jelas, betapa kesenjangan antara yang kaya dan miskin di negeri ini telah sedemikian hebatnya. Realita disparitas ekonomi ini tidak saja terjadi di Indonsia dan negara – negara berkembang lainnya, tetapi juga negara – negara maju yang menjadi pendekar kapitalisme, seperti Amerika Serikat.

    Hyman Minsky dalam buku Stabilizing Unstable Economy ( 1986 ) mengatakan, masyarakat kapitalisme itu tidak adil. Suatu fakta menunjukkan bahwa meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi di AS, tetapi kesenjangan masih saja lebar, dan yang miskin semakin miskin. Di negara ini pada tahun 1990- an, masih mentoleransi 10 % masyarakatnya hidup dalam kemiskinan. Bagaimana mungkin negara maju membiarkan 10 % rakyatnya menderita dalam kemiskinan dan masih terjerembab dalam pengangguran[38]

    Realita kesenjangan pendapatan, juga terjadi di Indonesia pada masa orde baru. Jadi meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia tergolong tinggi dan mendapat pujian dari luar negeri dan lembaga keuangan internasional, namun kemiskinan masih menggurita  dan kesenjangan masih menganga. Belajar dari kegagalan pembangunan Indonesia yang pincang itu, maka bangsa Indonesia (khususnya Pemerintah), harus melakukan reorientasi pembangunan dari sistem sentralistrik menjadi tersebar. Hal itu perlu ditempuh untuk mencegah terulangnya kegagalan pembangunan nasional selama ini.

    Maka. Penerapan sistem ekonomi daerah, sebenarnya dimaksudkan untuk menjembatani kondisi ekonomi nasional yang cukup timpang itu. Dengan otonomi daerah, diharapkan tercipta makin banyak pusat pertumbuhan, setidaknya ditingkat propinsi. Selama ini dengan pemerintah terpusat, pertumbuhan yang tercipta pun cendrung terpusat. Tidak heran jika pemerintah pusat bertindak seperti vacum cleaner, menyedot semua aset yang berada di daerah, termasuk daerah miskin sekalipun.

    Berdasarkan kondisi ketimpangan internasional dan labilnya pasar, maka negara Islam, organisasi dan lembaga Islam lainnya turut serta secara aktif mencapai tujuan khusus ekonomi pembangunan yaitu growth with equity.

    Pertumbuhan : suatu keniscayaan

    Jadi, Meskipun Islam menekankan keadilan sosio – ekonomi dalam pertumbuhan, hal ini tidak berarti bahwa Islam tidak mementingkan pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi merupakan tuntutan obyektif dan harus dilakukan dengan cepat dan dalam proporsi yang besar. Tanpa pertumbuhan ekonomi, keadilan memang dapat dirasakan, tetapi masih sulit untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagian, karena proporsi kue ekonomi yang dibagikan masih kurang cukup.

    Dalam rangka pencapaian keadilan sosio – ekonomi yang dapat membahagiakan itulah realisasi pertumbuhan ekonomi memang sangat diperlukan. Tetapi tetap tak bisa terlepas dari sistem distribusi kue ekonomi yang berdimensi keadilan, baik untuk jangka sekarang maupun mendatang.

    Untuk mewujudkan pemerataan, menurut M. Umer Chapra, setidaknya ada lima unsur utama yang harus dilakukan. Pertama, mengadakan pelatihan dan menyediakan lowongan kerja bagi pencari kerja, sehingga terwujud full employment. Kedua, memberikan sistem upah yang pantas bagi karyawan. Ketiga, mempersiapkan asuransi wajib untuk mengurangi penganguran, kecelakaan kerja, tunjangan hari tua dan keuntungan – keuntungan lainnya. Keempat, memberikan bantuan kepada mereka yang cacat mental dan fisik, agar mereka hidup layak. Kelima, mengumpulkan dan mendayagunakan zakat, infaq, dan sedaqah, melalui undang – undang sebagaimana undang – undang pajak.

    Dengan upaya upaya itu, maka kekayakan tidak terpusat pada orang – orang tertentu. Al–Qur’an dengan tegas mengatakan, “kekayaan hendaknya tidak terus – menerus beredar di kalangan orang – orang kaya saja”. ( QS. 59 : 7 ).

    Selanjutnya menurut Umer Chapra ada lima tindakan kebijakan pembangunan ekonomi (economic development) yang disertai dengan keadilan dan stabilitas, yaitu :

    1. Memberikan kenyamanan kepada faktor manusia
    2. Mereduksi konsentrasi kekayaan
    3. Melakukan restrukturisasi ekonomi
    4. Melakukan restrukturisasi keuangan, dan
    5. Rencana kebijakan strategis[39]

     

    Gambar 2 : Economic Development with Equity and Stability

     

    Manusia merupakan elemen pokok dari setiap program pembangunan. Mereka adalah tujuan sekaligus sebagai sasaran pembangunan. Apabila mereka tidak dipersiapkan secara tepat untuk dapat memberikan konstribusi positif terhadap pembangunan, tidak mungkin akan berhasil mengaktualisasikan tujuan-tujuan pokok Islam dalam pembangunan. Karena itu, tugas yang paling menantang  di depan setiap negara muslim adalah  memotivasi faktor manusia untuk melakukan aktivitas konstruktif bagi pembangunan yang berkeadilan. Setiap individu harus memberikan apa yang terbaik dengan bekerja keras dan efisisen yang disertai integritas, kejujuran, disiplin dan siap berkorban untuk mengatasi hambatan hambatan dalam perjalanan pembangunan.

    Selain itu, praktek KKN dalam semua lini harus diberantas secara sungguh – sungguh. Sebab KKN memiliki andil besar terhadap kesenjangan dan lestarinya kemiskinan rakyat. Penerimaan pajak harus diawasi secara ketat, agar tidak terjadi kebocoran, demikian pula BUMN yang menjadi sarang korupsi, harus dibersihkan dari praktek bisa dientaskan tak pernah menjadi kenyataan, karana banyak dana negara yang bocor ditangan pejabat dan para koruptor. Tekad Presiden SBY memberantas KKN hendaknya tidak sebatas retorika belaka, tetapi benar-benar diwujudkan secara nyata. Salah satu dampak buruk yang membudaya itu ialah, kekayaan terkonsentrasi pada orang tertentu, akibatnya kemiskinan rakyat tetap berlangsung.

    Prioritas dalam produksi

    Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa salah satu pilar pertumbuhan adalah memprioritaskan produksi. Dalam point ini ada sebuah pertanyaan yaitu, proyek-proyek apa sajakah yang diprioritaskan dan layak dipilih dalam memproduksi suatu produk. Untuk menentukan prioritas produksi, maka dalam ekonomi Islam prioritas tersebut sangat tergantung kepada tingkat perkembangan ekonomi yang telah dicapai. Ini sangat berkaitan dengan tingkatan kebutuhan manusia. Tingkatan tersebut dapat dikatogorikan :

    1. Kebutuhan untuk bertahan hidup (survival necesstities) yang berkaitan dengan barang-barang yang apabila tidak dimiliki oleh manusia akan menyebabkan dia meninggal. Contohnya makanan untuk orang yang kelaparan.
    2. Kebutuhan dasar (basic needs) yang berkaitan dengan barang-barang atau jasa yang apabila tidak dimiliki manusia menyebabkan kesulitan bagi mereka, walaupun tidak sampai menimbulkan kematian,contohnya ialah kebutuhan terhadap pakaian sederhana dan akomodasi.
    3. Kebutuhan pendukung (comforts) yang berakitan dengan barang-barang atau jasa yang menyebabkan kemudahan dan kenyamanan hidup,  walaupun tanpa barang-barang tersebut hidup juga tidak akan mengalami kesulitan .Contohnya pakaian bagus, AC, dll.
    4. Barang-barang mewah (luxuries), yaitu barang-barang yang tidak hanya memberikan kenyamanan, tetapi juga memberikan prestise apabila mengkonsumsinya. Contohnya mobil mahal/mewah
    5. Barang-barang yang merusak (harmful items), yaitu barang-barang yang membahayakan dan merusak manusia seperti alkohol dan lain-lain.

     

    Tingkat kebutuhan masing-masing kategori di atas berbeda antara satu orang dengan lainnya. Kebutuhan bertahan hidup  (survival necessity) menempati tingkat tertinggi, bahkan pada kondisi darurat, barang-barang yang sebelumnya dilarang bisa menjadi halal.

    Kebutuhan dasar (basic needs) merupakan satu hal yang mesti dijamin dalam konsep ekonomi Islam. Kebutuhan ini bahkan bisa dijadikan kriteria untuk mengukur garis kemiskinan seseorang. Dengan kata lain, seseorang yang mengalami kekurangan barang-barang ini bisa dianggap hidup di bawah garis kemiskinan. Prioritas produksi utama dalam ekonomi Islam adalah memproduksi kebutuhan dasar bagi masyarakat. Jika kebutuhan dasar telah mampu dipenuhi secara baik dan maksimal, maka prioritas pertumbuhan selanjutnya diarahkan untuk memproduksi  barang-barang pendukung, karena akan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Produksi barang-barang ini juga akan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Sedangkan barang-barang mewah walaupun tidak dilarang, namun tidak dianjurkan. Dengan demikian, barang-barang ini tidak menjadi prioritas dalam konsep pertumbuhan ekonomi Islam. Adapun barang-barang yang merusak jelas tidak dibenarkan, karena tidak dibutuhkan dan bahkan merusak.[40]

    Pada akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi yang paling tinggi dalam Islam merupakan hal yang alamiyah sebagai hasil dari proses pemanfaatan sumberdaya secara efisisien dan penuh. Hal ini disebabkan karena tuntutan untuk mencapai kemakmuran material dalam kerangka nilai-nilai Islam menghendaki:

    1. Tidak boleh dicapai lewat  produksi barang dan jasa yang tidak sesuai dengan standart moral Islami.
    2. Tidak boleh memperlebar kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin dengan mendorong konsumsi yang mencolok
    3. Tidak boleh menimbulkan bahaya kepada generasi sekarang dan akan datang dengan merusak lingkungan fisik dan moral mereka.[41]

     

    Prinsip Pembangunan Ekonomi Menurut Islam

    Pada uraian terdahulu telah dipaparkan bahwa  ekonomi pembangunan modern telah mengalami fase-fase perkembangan  yang cukup signifikan. Walaupun fase-fase tersebut dilalui dengan cukup lama, namun tidak memberikan dampak positif bagi pembangunan ekonomi dunia yang sejahtera dan adil.

    Ketika Islam menawarkan konsep pembangunannya yang berdasarkan Alquran dan Sunnah, maka alasan pertama munculnya konsep ekonomi pembangunan ini adalah didasari adanya kebutuhan akan suatu konsep alternatif yang layak diterapkan bagi pembangunan negara-negara mulim. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa konsep pembangunan ekonomi model Barat  yang selama ini diterapkan hampir dua abad di hampir seluruh negara-negara dunia ternyata tidak cocok dengan  jiwa dan prinsip-prinsip yang dianut oleh negara-negara muslim. Itu terlihat pada realita pembangunan  ekonomi negara-negara berkembang. Maka tidak aneh, jika banyak kritik yang menyatakan bahwa  konsep pembangunan Barat yang lahir dari teori kapitalis malah bisa merusak masa depan pembangunan negara-negara muslim tersebut.

    Islam sangat memperhatikan masalah pembangunan ekonomi, namun tetap menempatkannya pada persoalan pembangunan yang lebih  besar, yaitu pembangunan umat manusia. Fungsi utama Islam  adalah membimbing manusia pada jalur yang benar dan arah yang tepat. Semua aspek yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi harus menyatu dengan pembangunan ummat manusia secara keseluruhan.

    Dr. Abdullah Abdul Husein At-Tariqy mengungkapkan, ”Banyak ahli ekonomi Islam dan para fuqaha yang memberikan perhatian terhadap persoalan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, pertumbuhan ekonomi bukan hanya aktivitas produksi material saja. Lebih dari itu, pertumbuhan ekonomi merupakan  aktivitas menyeluruh dalam bidang produksi yang terkait erat dengan keadilan distribusi. Pertumbuhan ekonomi bukan hanya  diukur dari aspek  ekonomi, melainkan sktivitas manusia yang ditujukan untuk pertumbuhan dan kemajuan sisi material dan spiritual manusia sekaligus.[42]

    Dari kajian para ulama dapat dirumuskan dasar-dasar filosofis pembangunan ekonomi ini, yaitu : 1. Tauhid rububiyah, yaitu menyatakan dasar-dasar hukum Allah untuk selanjutnya mengatur model pembangunan yang berdasarkan Islam. 2. Keadilan, yaitu pembanguan yang tidak pincang (senjang), tetapi pembangunan ekonomi yang merata (growth with equity) 3. Khilafah, yang menyatakan bahwa manusia adalah wakil Allah Allah di muka bumi untuk memakmurkan bumi dan bertangung jawab kepada Allah tentang pengelolaan sumberdaya yang diamanahkan kepadanya. dan 4. Tazkiyah.yaitu mensucikan manusia dalam hubugannya dengan Allah., sesamanya dan alam lingkungan, masyarakat dan negara.[43]

    Berdasarkan dasar-dasar filosofis di atas dapat diperjelas bahwa prinsip pembangunan ekonomi menurut Islam adalah :

    1. Pembangunan ekonomi dalam Islam bersifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral dan material. Pembangunan merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan dan nilai. Aspek material, moral, ekonomi, sosial spiritual dan fiskal tidak dapat dipisahkan. Kebahagian yang ingin dicapai tidak hanya kebahagian dan kesejahteraan material di dunia, tetapi juga di akhirat.
    2. Fokus utama pembangunan adalah manusia dengan lingkungan kulturalnya. Ini berbeda dengan konsep pembangunan ekonomi modern yang menegaskan bahwa wilayah operasi pembangunan adalah lingkungan fisik saja. Dengan demikian Islam memperluas wilayah jangkauan obyek pembangunan dari lingkungan fisik kepada manausia.
    3. Pembangunan ekonomi adalah aktivitas multidimensional sehingga semua usaha harus diserahkan pada keseimbangan berbagai faktor dan tidak menimbulkan ketimpangan.
    4. Penekanan utama dalam pembangunan menurut Islam, terletak  pada, a).Pemanfaatan sumberdaya yang telah diberikan Allah kepada ummat manusia  dan lingkungannya semaksimal mungkin.

    b). Pemanfaatan sumberdaya tersebut melalui pembagian, peningkatannya secara merata berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran. Islam menganjurkan sikap syukur dan adil dan mengutuk sikap kufur dan zalim.

    Gambar 3 : Dasar-Dasar  Filosofi Pembangunan Ekonomi versi

    Kursyid  Ahmad

     

    Dasar-dasar filosofi di atas hampir sama dengan yang dirumuskan oleh Masudul Alam Choudhury dengan prisma ekonomi Islam. Thesa prisma ekonomi Islam yang dikemukan Choudury sebagai prinsip-prinsip pembangunan ekonomi yang harus  diberlakukan oleh perancang ekonomi pembangunan dalam membangun perekonomian negara dann masyarakat sebagaimana terlihat pada gambar

    Gambar 4 : Prisma Ekonomi Islam versi Choudhury[44]

    Professor M.A.Mannan menilai bahwa konsep pembangunan dalam Islam memiliki keunggulan dibandingkan konsep modern  tentang pembangunan. Keunggulan tersebut terletak  pada motivasi pembangunan ekonomi dalam Islam, tidak hanya timbul dari masalah ekonomi manusia semata-mata tetapi juga dari tujuan ilahi yang tertera dalam Al-quran dan Hadits.[45]

    Memang harus diakui  bahwa pertumbuhan perkapita sangat tergantung kepada sumberdaya alam. Namun sumberdaya alam saja  bukan syarat yang cukup  untuk pembangunan ekonomi. Masih dibutuhkan satu syarat lain yang utama yaitu perilaku manusia. Perilaku ini memainkan peran yanag sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Untuk itu harus ada upaya menempa perilaku manusia tersebut ke arah yang mendukung pembangunan. Dalam hal ini negara-negara muslim pada dasarnya lebih berpotensi  dan tidak mengalami kesulitan seperti dialami oleh negara-negara sekuler dalam upaya menempa perilaku manusia tersebut. Untuk itu peran ulama juga sangat dibutuhkan.

    Kursyid Ahmad merumuskan tujuan kebijakan pembangunan dan target yang lebih spesifik untuk tujuan pembangunan yaitu, :

    1. Pembangunan sumberdaya insani merupakan tujuan pertama dari kebijakan pembangunan. Dengan demikian, harus diupayakan membangkitkan sikap  dan apresiasi yang benar, pengembangan watak dan kepribadian, pendidikan dan latihan yang menghasilkan  keterampilan, pengembangann ilmu dan riset serta peningkatan partisipasi.
    2. Perluasan produksi yang bermanfaat. Tujuan utama adalah meningkatkan jumlah produksi nasional di satu sisi dan tercapainya pola produksi yang tepat. Produksi yang dimaksud bukan hanya sesuatu yang dapat dibeli orang kaya saja, namun juga bermanfaat bagi kepentingan ummat manusia secara keseluruhan. Produksi barang barang yang dilarang oleh Islam tidak akan diperkenankan, sedangkan yang bermanfaat untuk ummat akan ditingkatkan. Dalam kebijakan demikian, pola investasi dan produksi disesuaikan dengan prioritas Islam dan kebutuhan ummat. Dalam hal ini ada tiga hal yang diprioritaskan : Pertama, Produksi dan tersedianya bahan makanan dan kebutuhan pokok dalam jumlah yang melimpah, termasuk bahan-bahan konstruksi untuk perumahan, jalan dan kebutuhan dasar lainnya dengan harga yang cukup murah. Kedua, Perlunya pertahanan dunia Islam di negara-negara Islam, maka dibutuhkan peralatan  persenjataan yang memadai. Ketiga, Swasembada di bidang produksi kebutuhan primer.
    3. Perbaikan kualitas hidup dengan memberikan prioritas pada tiga hal, Pertama,  terciptanya lapangan kerja dengan segala penataan struktural, teknologi, investasi, dan pendidikan. Kedua, sistem keamanan nasional yang luas dan efektif yang menjamin kebutuhan dasar masyarakat. Dalam hal ini zakat  harus dijadikan sebagi instrumen utama. Ketiga,  Pembagian kekayaan dan pendapatan dan merata. Harus ada kebijakan pendapatan yang mampu mengontrol tingkat pendapatan yang terendah (UMR), mengurangi konsentrasi ketimpangan dalam masyarakat. Salah satu indikator tampilan pembangunan adalah berkurangnya tingkat perbedaan pendapatan masyarakat. Karena itu sistem perpajakan harus diatur sebaik-baiknya.
    4. Pembangunan yang berimbang, yakni harmonisasi antar  daerah yang berbeda dalam satu negara  dan antar sektor ekonomi. Desentralisasi ekonomi dan pembangunan semesta yang tepat, bukan saja merupakan tuntutan keadilan tetapi juga diperlukan untuk kemajuan yang maksimum. Salah satu tujuan pembangunan adalah melalui desentralisasi, maka pemerintah daerah perlu diberikan keleluasaan untuk mengembangkan daerahnya sendiri dengan meningkatkan peran serta masyarakat. Dengan terus melakukan check and balances serta bimbingan dan pengawasan yang kuat, akan membentuk daerah itu menjadi agen pembangunan yang serba guna. Tujuan perencanaan pembangunan yang komprehensif akan sulit dicapai bilamana kita tidak mampu mengembangkan desentralisasi kekuasaan dan pengawasan yang lebih efisien  serta mengurangi birokratisasi masyarakat. Dalam konteks ini, maka perusahaan-perusahaan swasta kecil dan menengah harus digalakkan dan dikembangkan. Para penguasa daerah harus menciptakan iklim lingkungan yang tepat dan kondusif yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya perusahaan-perusahaan tersebut. Perusahaan juga  harus didorong agar dapat meningkatkan investasi yang lebih besar lagi. Mereka juga diarahkan agar menjadi organisasi bisnis yang maju. Mereka itulah yang menjadi instrumen pembangunan ekonomi yang sarat nilai serta membagi rata tingkat pendapatan kepada seluruh masayarakat.
    5. Teknologi baru, yaitu berkembangnya teknologi tepat guna yang sesuai  dengan kondisi, kebutuhan, aspirasi negara-negara, khususnya negara-negara muslim. Proses pembangunan yang mandiri hanya dapat terwujud jika negara tersebut sudah bebas dari ”bantuan” asing serta mampu menguasai teknologi yang berkembang dalam lingkungan sosial dan alam yang bebeda, teknologi itu selanjutnya akan diadaptasikan dengan kreatifitas sendiri. Karena itu, perlu ada riset yang intensif dan luas.
    6. Berkurangnya ketergantungan pada dunia luar dan dengan semakin menyatunya kerjasama yang solid sesama negara-negara Muslim. Adalah tugas ummat sebagai khalifah, bahwa ketergantungan pada dunia non-Islam dalam semua segi harus diubah menjadi kemandirian ekonomi. Harga diri negara-negara muslim harus dibangun kembali dan pembangunan kekuatan serta kekuasaan harus diwujudkan secara bertahap. Ketahanan dan kemerdekaan dunia Islam serta kedamaian dan kesentosaaan  ummat manusia merupakan tujuan utama yang harus mewarnai dalam perencanaan pembangunan. Karena itu perlu ada perubahan mendasar  dalam isi dan pola perencanaan  pembangunan kita.

     

    Penutup

    Kajian tentang pertumbuhan (growth) dan pembangunan (development) ekonomi dapat ditemukan dalam konsep ekonomi Islam. Konsep ini pada dasarnya telah dirangkum baik secara eksplisit maupun implisit dalam Al-quran, sunnah maupun pemikiran-pemikiran ulama Islam terdahulu, namun kemunculan kembali konsep ini, khususnya beberapa dasawarsa belakangan ini terutama berkaitan kondisi negara-negara muslim yang terkebelakang  yang membutuhkan formula khusus dalam stratregi dan perencanaan pembangunannya.

    Kekhasan pertumbuhan dan pembangunan dalam ekonomi Islam ditekankan pada perhatian yang sangat serius pada pengembangan sumberdaya manusia sekaligus pemberdayaan alam untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia. Ini tidak hanya diwujudkan dalam keberhasilan pemenuhan kebutuhan material saja, namun juga kebutuhan dan persiapan menyongsong kehidupan akhirat.

    DAFTAR KEPUSTAKAAN

     

    Abdullah Abdul Husein At-Tariqy, Al-Iqtishad Al-Islami, Ushuluhu wa  Mubaun wa Ahdaf, Dar An-Nafais, Kuwait, 1999

    Abul Hasan M.Sadeq dan Aidit Ghazali, Readings in Islamic Economic Thought, Malaysia, Loqman Malaysia, 1992.

    Abul Hasan Muhammad Sadeq, Economic Growth in An Islamic Economy, tulisan dalam Development  and Finance in Islam, Malaysia, International Islamic University Press, 1987

    Ace Pce Pertadireja, Pengantar Ekonomika, Yogyakarta, BPFE, 1984

    Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam. Terj. Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bhakti Waqaf, Yogyakarta,  1995,

    ——————–, Muhammad As A Trader, London, The Muslim Schools Trust, 1982 trej. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta, Yayasan Swarna Bumi, 1997,

    Anwar Ibrahim, The Asia Renaisance, terj Ihsan Ali fauzi, Renaisans Asia, Bandung, Mizan, 1998

    Carl Lidholm dan Donald Mead, Small Scale Enterprise : A Profile, diproduksi kembali dari Small Scale Industries in Developing Countries : Empirical Epidence and Policy Implication, Michigan State University Development Paper, dalam Economic Impact,2, 1998

    E.E.Hegen, On The Theory of Social Change, 1992, hlm 36. lihat juga H.W.Arndt, Development Economic Before 1945, 1972

    Ervin Laszlo, Millenium Ketiga, Tantangan dan Visi (terj.3Rd Millenium The Challenge and Vision, Jakarta, Dinastindo, Adiperkasa Internasional, 1999)

    Fritjop Capra,  Titik balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Budaya, ter. The Turning Point, Science, Society, and The Rising Culture), Yogyakarta, Yayasan Betang Budaya, 1999

    George Soule, Idea of the Great Economist, terj, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, Jakarta, Kanisius, 1994

    Grahan Gudgin, Industrial Location Process and Employment Growth ( London : Gower, 19978, dan lihat pula David Birch, The Job Generation, Process (Cambridge, Mass : MIT Program on Neigbourhood and Regional Change, 1979.

    Hasan Al-Banna, Majmu’at at-Rasail, Alexandaria, Darud Dakwah, 1989

    Ian Litte, Tibor Scietovsky dan Maurice Scott, Industri and Trade in Some Developing Countries (London , Oxford University Press, 1970, hlm.91

    Kursyid Ahmad, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam  Etika Ekonomi Politik, Risalah Gusti, Jakarta, 1997

    M.Abdul Mannan, Islamic Economiys, Theory and Practice, terj. M.Nastangin, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bakti Waqaf, 1997

    M.Umer Chapra, Islam and Economic Development, USA, The Internasional Institute of Islamic Though (IIIT), 1992

    ——————–, Islam and The Economic Challenge, Terj. Dana Bhakti Wakaf Yogyakarta, 1998

    ——————–, Islam and The Economic Challenge, The International Institute of Islamic Thaought, (IIIT), USA, 1992. Edisi Indonesia, Islam dan Tantangan Ekonomi, Risalah Gusti, Jakarta, 1999

    ——————–, Toward a Just Monetary System, terj.Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 2002)

    Mariluz Cortes, Albert Berry dan Asfaq Ishaq, Succses in Small and Medium Scale Entreprise (diterbitkan untuk bank dunia oleh Oxford university Press, 1987

    Mark Skousen, Economics on Trials : Lies, Myths, and Realities, (USA Bussiness One Irwin, 1991)

    Masudul Alam Choudhuri, Contributions to Islamic Economic Theory, New York : St.Martin’s, Press, 1986

    Michael P.Todaro, Economic Development in The Third World,  New York, London, Longman  1989

    Muhammad M.Akram Khan, Economic Message of Quran, (Kuwait, Islamic Book Published, 1996)

    Muhammad Qal’ah Jey , Mabahits fi Al-Iqtishad al-Islamy, Dar An-Nafais, Kuwait

    Muhammad Yunus, The Poor as the Engine of Development, dalam Economic Impact, 2 (1988)

    Munawar Iqbal, Financing Economic Development, dalam bukuAbul Hasan Muhammad Sadeq

    Richard Posner, The Essential Holmes, (Chicago : Chicago University Press, 1992

    Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 199, edisi II.

    Sumitro Djojohadikusumo, Indonesia dalam Perkembangan Dunia : Kini dan Masa Datang, (LP3ES, cet,v)

    Sumitro Djoyohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta, Obor Indonesia, 1991

    Taqyuddin An-Nabhani,  An-Nizaham al-Iqtishad Al-Islami, Darul ummah Beirut, 1990


    [1] M.Umer Chapra, Islam and Economic Development, USA, The Internasional Institute of Islamic Though (IIIT), 1992, h.15

    [2] Michael P.Todaro, Economic Development in The Third World,  New York, London, Longman  1989, p.7

    [3] E.E.Hegen, On The Theory of Social Change, 1992, hlm 36. lihat juga H.W.Arndt, Development Economic Before 1945, 1972, hlm 13-29.

    [4] Great Depression (Depresi besar) merupakan priode kemerosotan ekonomi di Amerika Serikat. Puncak kemerosotan tersebut ditandai oleh meningkatnya angka pengangguran. Saat itu ¼ tenaga kerja Amerika Serikat tidak memiliki pekerjaan (unemployment). Kemerosotan  yang sangat tajam juga dialami oleh Pendapatan Nasional Amerika Serikat. Kemunduran ekonomi yang serius itu merebak ke seluruh dunia, baik ke negara-negara industri maupun negara-negara miskin ( Sadono Sukirno, Pengantar Teori Makro Ekonomi, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 199, edisi II, hlm.413-414).

    [5] Keynes adalah ekonom terkemuka dari Universitas Cambridge. Ia dianggap sebagai ekonom  yang mampu melahirkan pikiran-pikiran baru yang tidak dicetuskan oleh pendahulunya. Saat itu ada dua permasalahan yang muncul setelah depresi yang dialami oleh Amerika Serikat, yaitu teori tentang uang dan apa yang harus diusahakan oleh negara untuk mengurangi pengangguran. Keynes dianggap memiliki ulasan teoritis yang paling sistimatis dan  komprehensif. (Lijat George Soule, Idea of the Great Economist, terj, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, Jakarta, Kanisius, 1994, hlm.)

    [6] M.Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, The International Institute of Islamic Thaought, (IIIT), USA, 1992. Edisi Indonesia, Islam dan Tantangan Ekonomi, Risalah Gusti, Jakarta, 1999, hlm 160

    [7] Negara berkembang  memiliki karakteristik antara lain,  taraf hidup yang rendah, produktifitas yang rendah, laju pertambahan penduduk yang tinggi dan ketergantungan pada ekspor hasil-hasil  pertanian (lihat, Ace Pce Pertadireja, Pengantar Ekonomika, Yogyakarta, BPFE, 1984, hlm 213-219.

    [8] Anwar Ibrahim, The Asia Renaisance, terj Ihsan Ali fauzi, Renaisans Asia, Bandung, Mizan, 1998, h. 80-81

    [9] M.Umer Chapra, Islam and The Economic Challenge, Terj. Dana Bhakti Wakaf Yogyakarta, 1998, hlm.

    [10] Ibid..

    [11]Abdullah Abdul Husein At-Tariqy, Al-Iqtishad Al-Islami, Ushuluhu wa  Mubaun wa Ahdaf, Dar An-Nafais, Kuwait, 1999, hlm. 276.

    [12] M.Umer Chapra, op.cit, h.25

    [13] Kursyid Ahmad, Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam, dalam  Etika Ekonomi Politik, Risalah Gusti, Jakarta, 1977, hlm. 9

    [14] Fritjop Capra,  Titik balik Peradaban, Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Budaya, ter. The Turning Point, Science, Society, and The Rising Culture), Yogyakarta, Yayasan Betang Budaya, 1999, cet,3, h.246

    [15] Ervin Laszlo, Millenium Ketiga, Tantangan dan Visi (terj.3Rd Millenium The Challenge and Vision, Jakarta, Dinastindo, Adiperkasa Internasional, 1999), h. 34

    [16] Mark Skousen, Economics on Trials : Lies, Myths, and Realities, (USA Bussiness One Irwin, 1991), hlm. 292

    [17] Ibid..

    [18] Sadono Sukirno, op.cit., h. 413-414.

    [19] Produk Nasional Bruto (PNB) adalah produk nasional yang diwujudkan oleh warga negara suatu Negara, sedangkan Produk Domestik Bruto (PDB) adalah produk nasional yang diwujudkan oleh penduduk  dalam suatu Negara.

    [20] Sadono Sukirno, op.cit. hlm. 415

    [21] Hal ini bisa dilihat dalam pemikiran-pemikiran ilmuwan muslim klasik, seperti Al-Ghazali,Ibnu Khaldun, At-Tusi, Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim. Penjelasan tentang pemikiran ekonomi para ulama tersebut lihat, Abul Hasan M.Sadeq dan Aidit Ghazali, Readings in Islamic Economic Thought, Malaysia, Loqman Malaysia, 1992.

    [22] Abul Hasan Muhammad Sadeq, Economic Growth in An Islamic Economy, tulisan dalam Development  and Finance in Islam, Malaysia, International Islamic University Press, 1987, h.55

    [23] Munawar Iqbal, Financing Economic Development, dalam bukuAbul Hasan Muhammad Sadeq, hlm. 102

    [24] Abul hasan Muhammad Sadeq, op.cit, hlm.56

    [25] Beban hutang merupakan permasalahan dunia yang saat ini sangat sulit dicari jalan keluarnya. Beban ini sangat terasa khususnya bagi negara-negara berkembang. Solusi yang diberikan selama ini terkesan tambal sulam. Biasanya pemecahannya berupa pemberian tambahan pinjaman baru yang menyebabkan jumlah hutang yang ditanggung negara penghutang semakin membengkak. Padahal jumlah angsuran utang pokok dan bunga yang diteima oleh bank dunia sudah melebihi  jumlah pinjaman yang diberikan  oleh Bank Dunia kepada negara dunia ketiga secara menyeluruh (Lihat Sumitro Djoyohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta, Obor Indonesia, 1991, hlm. 384.

    [26] M.Umer Chapra, Islam and Economic, op.cit., hlm/ 136

    [27] Muhammad Yunus, The Poor as the Engine of Development, dalam Economic Impact, 2 (1988). Hlm.31

    [28] Carl Lidholm dan Donald Mead, Small Scale Enterprise : A Profile, diproduksi kembali dari Small Scale Industries in Developing Countries : Empirical Epidence and Policy Implication, Michigan State University Development Paper, dalam Economic Impact,2, 1998, hlm 12.

    [29] Ian Litte, Tibor Scietovsky dan Maurice Scott, Industri and Trade in Some Developing Countries (London , Oxford University Press, 1970, hlm.91

    [30] Baru-baru ini sejumlah buku telah diterbitkan untuk menunjukkan kekuatan industri kecil. Lihat Grahan Gudgin, Industrial Location Process and Employment Growth ( London : Gower, 19978, dan lihat pula David Birch, The Job Generation, Process (Cambridge, Mass : MIT Program on Neigbourhood and Regional Change, 1979.

    [31] Mariluz Cortes, Albert Berry dan Asfaq Ishaq, Succses in Small and Medium Scale Entreprise (diterbitkan untuk bank dunia oleh Oxford university Press, 1987, hlm.2

    [32] Hasan Al-Banna, Majmu’at at-Rasail, Alexandaria, Darud Dakwah, 1989, hlm267

    [33] Ayat yang menjelaskan tentang perintah Allah untuk melakukan eksplorasi di bumi misalnya surat 16:14, 30:46, 35:12, 45:12, 36:33-35. Penjelasan tentang ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan ekonomi, Lihat Muhammad M.Akram Khan, Economic Message of Quran, (Kuwait, Islamic Book Published, 1996)

    [34] Muhammad Qal’ah Jey , Mabahits fi Al-Iqtishad al-Islamy, Dar An-Nafais, Kuwait, tt,hlm.35

    [35] Menarik untuk dicermati pendapat Sumitro Djojohadikusumo yang menyatakanm bahwa pertumbuhan ekonomi dan segi pemerataan pendapatan menjadi dua sayap kembar yang tak terpisahkan dalam satuan gerak pembangunan. Sehingga akan terwujud pula keseimbangan dan efisiensi dalam kegiatan produksi dan keadilan dalam tata masyarakat. (Lihat, Sumitro Djojohadikusumo, Indonesia dalam Perkembangan Dunia : Kini dan Masa Datang, (LP3ES, cet,v, hlm. 147).

    [36] Ada beberapa jenis pertumbuhan dan akibat-akibat negatifnya yang harus dihindarkan. Pertama, Jobless Growth, yaitu seluruh perekonomian tumbuh, namun tidak memperluias tenagakerja. Kedua, Ruthless growth, yaitu pertumbuhan ekonomi yang kebanyakan  menguntungkan pihak yang kaya, membiarkan jutaan orang tetap terjerembab dalam kemiskinan. Ketiga Vioceless Growth,  yaitu pertumbuhann yang tidak memberdayakan masyarakat dan membungkam suara alternatif. Keempat, Rootless growth, yaitu pertumbuhan yang menyebabkan hilangnya identitas cultural masyarakat. Kelima, futureless growth, yaitu pertumbuhan yang di dalamnya generasi muda melakukan pemborosan sumberdaya yang dibutuhkan generasi mendatang. (Richard Posner, The Essential Holmes, (Chicago : Chicago University Press, 1992, h. 161)

    [37]Keharusan tegaknya keadilan distribusi dalam pertumbuhajn ekonomi telah lama menjadi bahasan dan perhatian para ulama klasik, jauh sebelum ekonom kapitalis membahasnya (Lihat Abdullah Abdul Husein At-Tariqy, op.cit., hlm. 285). Prioritas keadilan dalam pertumbuhan secara panjang  telah dibahas oleh Afzalur Rahman (Lihat, Afzalur Rahman, Muhammad As A Trader, London, The Muslim Schools Trust, 1982 trej. Muhammad Sebagai Seorang Pedagang, Jakarta, Yayasan Swarna Bumi, 1997, hlm. 119-221. Lihat juga Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam. Terj. Doktrin Ekonomi Islam, Dana Bhakti Waqaf, Yogyakarta,  1995, hlm. 31-35. Lihat juga Taqyuddin An-Nabhani,  An-Nizaham al-Iqtishad Al-Islami, Darul ummah Beirut, 1990, hlm.272

    [38] M.Umer Chapra, Islam dan Economic Challenge, Dana Bhakti Waqaf, Yogyakarta, terjemahan 1999 halaman 139 – 141).

    [39] M.Umer Cahpra,  Islam and Economic Development, op.cit, hlm 84

    [40] Abul Hasan Muhammad Sadeq, op.cit., hlm 67

    [41] M.Umer Chapra, Toward a Just Monetary System, terj.Ikhwan Abidin Basri, Sistem Moneter Islam, (Jakarta, Gema Insani Press, 2002, h. 3

    [42]Abdullah Abdul Husain At-Tariqy, op.cit, hlm. 282

    [43] Kursyid Ahmad, op.cit, hlm.13

    [44] Masudul Alam Choudhuri, Contributions to Islamic Economic Theory, New York : St.Martin’s, Press, 1986, p. 7-20

    [45] M.Abdul Mannan, Islamic Economiys, Theory and Practice, terj. M.Nastangin, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Yogyakarta, Dana Bakti Waqaf, 1997, hlm. 393-394

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition