• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Asuransi Syariah (2)

    0

    Posted on : 11-03-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Asuransi

    Nilai Filosofis Asuransi Syariah

    Pertama, Dalam menjalani kehidupannya, manusia senantiasa dihadapkan pada kemungkinan terjadinya musibah, malapetaka dan bencana, seperti kematian, kebakaran rumah, kecelakaan kendaraan, dsb. Segala musibah dan bencana yang telah terjadi, merupakan qadha dan qadar Allah, manusia harus berikhtiar dan berusaha melakukan tindakan berjaga-jaga memperkecil resiko yang ditimbulkan dari bencana dan malapetaka tersebut, bukan melakukan proteksi atas kecelakaan itu sendiri, baik terhadap kepentingan individu ataupun perusahaan.

    Salah satu cara menghadapi kemungkinan terjadinya bencana atau malapetaka ialah dengan menyimpan atau menabung uang. Namun demikian, upaya ini seringkali tidak mencukupi. Hal ini disebabkan karena biaya yang harus ditanggung jauh lebih besar dari yang diperkirakan. Untuk itulah diperlukan lembaga yang memproteksi berbagai kemungkinan musibah yang terjadi yang disebut dengan asuransi.

    Sementara itu, manusia mempunyai sifat lemah dalam menghadapi kejadian yang akan datang. Sifat lemah tersebut berbentuk ketidak-tahuannya terhadap kejadian yang akan menimpa pada dirinya. Manusia tidak dapat memastikan bagaimana keadaannya pada waktu di kemudian hari (future time).  Firman Allah Swt. telah ditegaskan dalam QS. al-Taghaabun [64]:11 dan  QS. Luqman [31]:34

    Artinya: “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah…” (QS. Al-Taghaabun [64]: 11

    Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak seorangpun yang dapa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok; dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman [31]: 34)

    Manusia seringkali tidak mengetahui apakah esok dia  masih dalam keadaan sehat wal-afiat, apakah harta kekayaannya masih  eksis, tidak akan mengalami kehancuran atau terkena kebakaran?  Jawaban pertanyaan tersebut hanya Allah Swt yang tahu. Kemampuan yang diberikan kepada manusia hanya sebatas memprediksikan dan merencanakan (planning) sesuatu yang belum terjadi serta memproteksi segala sesuatu yang dirasa akan memberikan kerugian di masa mendatang.

    Suatu yang telah menjadi ketetapan-Nya adalah ajal (kematian) yang akan dialami oleh setiap manusia. Firman Allah Swt. QS. Ali Imran [3]: 145 dan 185:

    Artinya: ”Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang tertentu waktunya.” (QS. Ali Imran [3]: 145

    Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (QS. Ali Imran [3]: 185

    Kedua, Sebagai makhluk social,  manusia harus senantiasa sadar bahwa keberadaannya tidak akan mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau sesamanya. Solusinya adalah firman Allah Swt. dalam QS. al-Maidah [5]: 2

    Artinya: “…Tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”. (QS. al-Maidah [5]: 2

    Dengan ayat ini, manusia dituntun oleh Allah Swt. agar selalu berbuat tolong-menolong (ta’awun) antar sesamanya dalam kebaikan dan didasari atas nilai takwa kepada Allah Swt. Hal ini merupakan satu prinsip dasar yang harus dipegangi manusia dalam menjalani kehidupannya di atas permukaan bumi ini. Dengan saling melakukan tolong-menolong (ta’awun), manusia telah menjalankan satu fitrah dasar yang diberikan Allah Swt. kepadanya. Prinsip dasar inilah yang menjadi salah satu nilai filosofi dari berlakunya asuransi syariah.

    Dalam sebuah hadits digambarkan watak orang-orang muknin yang memiliki loyalitas tinggi dalam mewujudkan tolong-menolong:

    “Dari Nu’man bin Basyir RA, Rasulullah SAW bersabda, Perumpamaan orang-orang beriman dalam cinta dan kasih sayang diantara mereka bagaikan  satu tubuh. Bila ada anggot tubuh merasakan sakit, maka akan dirasakan oleh anggota tubuh yang lainnya, seperti ketika tidak bisa tidur atau ketika demam.” (HR. Muslim)

    Hadits ini menggambarkan tentang adanya saling tolong menolong dalam masyarakat Islami. Dimana digambarkan keadaannya seperti satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya, atau bahkan memberikan bantuan. Dan terkadang bantuan yang diterima, jumlahnya melebihi biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan. Sehingga terjadilah surplus, yang minimal dapat mengurangi beban penderitaan orang yang terkena musibah. Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah.

    Dalam hal ini manusia ditugaskan hanya mengatur bagaimana cara mengelola kehidupannya agar mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat (sa’adah al-daraini), seperti firman Allah Swt. dalam QS. al-Baqarah [2]: 201. Adapun salah satu caranya adalah dengan menyiapkan bekal (proteksi) untuk kepentingan di masa datang agar segala sesuatu yang bernilai negatif, baik dalam bentuk musibah, kecelakaan, kebakaran ataupun kematian, dapat diminimalisir kerugiannya. Hal semacam ini telah dicontohkan oleh Nabi Yusuf secara jelas dalam menakwilkan mimpi Raja Mesir tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Firman Allah Swt. dalam QS. Yusuf [12]: 46-49

    Artinya: “(Setelah pelayan iu berjumpa dengan Yusuf dia berseru): “Yusuf, hai orang yang amat dipercaya, terangkanlah kepada kami tentang tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk yang dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan (tujuh) lainnya yang kering agar aku kembali kepada orang-orang itu, agar mereka mengetahuinya”.Yusuf berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan di masa itu mereka memeras anggur). (QS. Yusuf [12]: 46-49)

    Ayat di atas memberikan pelajaran berharga bagi manusia pada saat ini (baca: modern) yang secara ekonomi dituntun agar mengadakan persiapan secara matang untuk menghadapi masa-masa yang sulit jikalau menimpanya pada waktu yang akan datang. Praktek asuransi ataupun bisnis pertanggungan dewasa ini telah mengadopsi semangat yang timbul dari nilai-nilai yang telah berkembang sejak zaman dahulu dan ada bersamaan dengan kehadiran manusia. Paling tidak terekam melalui cerita Nabi Yusuf di atas dan penjelasan dalam al-Qur’an atau sunnah Nabi Muhammad Saw.

    Jadi, prinsip dasar inilah yang menjadi tolok ukur dari nilai filosofi asuransi syariah yang berkembang pada saat ini. Yaitu dalam bentuk semangat tolong-menolong, bekerjasama dan proteksi terhadap peril (peristiwa yang membawa kerugian).Hasan Ali dan Syakir Sula)

    Sejarah Asuransi Syariah

    Kajian asuransi dalam hukum Islam merupakan hal yang baru, dan belum pernah ditemukan dalam literatur-literatur fiqh klasik. Pembahasan asuransi dalam wilayah kajian ilmu-ilmu keislaman baru muncul pada fase lahirnya ulama kontemporer (Hasan: 2004). Tercatat dalam literatur sederetan nama yang menekuni kajian asuransi diantaranya adalah, Ibnu Abidin (1784-1836), Muhammad Nejatullah al-Siddiqi, Muhammmad Muslehuddin, Fazlur Rahman, Mannan, Yusuf al-Qardhawi, Mohd. Ma’shum Billah, merupakan deretan nama ulama ternama yang hidup di era abad modern. Di sisi lain, kajian tentang asuransi merupakan sebuah paket dari kajian ekonomi Islam yang biasanya selalu dikaji bersama-sama dengan pembahasan perbankan dalam Islam. Jadi, asuransi Islam atau asuransi syari’ah merupakan hasil pemikiran ulama kontemporer.

    Secara prinsipil kajian ekonomi Islam selalu mengedepankan azas keadilan, tolong menolong, menghindari kedzaliman, pengharaman riba (bunga), prinsip profit and loss sharing serta penghilangan unsur gharar (Syafi’i: 1994, 147) .  Maka dari sini, bisa ditarik garis pararel terhadap prinsip-prinsip yang harus ada dalam sebuah institusi asuransi syari’ah. Sebab, asuransi syari’ah secara teoritik masih menginduk kepada kajian ekonomi Islam secara umum. Di samping prinsip dasar di atas yang harus dipenuhi oleh lembaga asuransi syari’ah, asuransi syari’ah juga harus mengembangkan sebuah manajemen asuransi secara mandiri, terpadu, profesional serta tidak menyalahi aturan dasar yang telah digariskan dalam syari’ah Islam. Untuk tujuan menjaga agar selalu sesuai dengan syari’at Islam maka pada setiap asuransi harus ada Dewan pengawas syari’ah (DPS)

    Di sinilah ulama kontemporer bermain dalam menggali dan menyusun  sebuah kinerja dan manajemen asuransi syari’ah. Mengutip pernyataan Nejatullah al-Siddiqi, bahwa asuransi syari’ah harus membawa unsur tolong-menolong, seperti apa yang terjadi di awal sejarah asuransi yang menjadikan prinsip tolong-menolong sebagai unsur utama di dalamnya. Dari sini, asuransi syariah mengemban tugas agar melakukan pembersihan unsur-unsur yang tidak sesuai dengan syari’ah terhadap praktek yang dijalankan oleh asuransi konvensional. Nilai-nilai seperti materialistis, individualistis, kapitalis, harus dihapuskan, sebagai gantinya dimasukkan semangat keadilan, kerjasama, dan saling tolong-menolong.

     

    Lebih jauh, Muhammad Ma’shum Billah mengajukan sebuah konsep yang diberi nama dengan takaful. Sebuah konsep asuransi syari’ah yang di dalamnya dilakukan kerja sama dengan para peserta takaful (pemegang polis asuransi) atas prinsip al-mudharabah. Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai al-mudharib yang menerima uang pembayaran dari peserta takaful untuk diadministrasikan dan diinvestasikan sesuai dengan ketentuan syari’ah. Peserta takaful bertindak sebagai shahib al-mal yang akan mendapat manfaat jasa perlindungan serta bagi hasil dari keuntungan perusahaan asuransi syariah.  Konsep takaful pada dasarnya merupakan usaha kerja sama saling melindungi dan menolong antara anggota masyarakat dalam menghadapi malapetaka atau bencana.

    Pertumbuhan dan Perkembangan Asuransi syari’ah di Indonesia

    Asuransi syariah di Indonesia merupakan sebuah cita-cita yang telah dibangun sejak lama, dan telah menjadi sebuah lembaga asuransi modern yang siap melayani umat Islam Indonesia dan bersaing dengan lembaga asuransi konvensional. Dalam asuransi syariah terdapat dua jenis perlindungan takaful. Pertama, takaful keluarga, yaitu bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi malapetaka kematian dan kecelakaan atas diri peserta takaful. Adapun produk takaful keluarga meliputi; takaful berencana, takaful pembiayaan, takaful pendidikan, takaful dana haji, takaful berjangka, takaful kecelakaan siswa, takaful kecelakaan diri, dan takaful khairat keluarga. Kedua, takaful umum, adalah bentuk takaful yang memberikan perlindungan finansial dalam menghadapi bencana atau kecelakaan atas harta benda milik peserta takaful, seperti; rumah, bangunan, dan sebagainya. Produk takaful umum meliputi; takaful kebakaran, takaful kendaraan bermotor, takaful pengangkutan laut, takaful rekayasa.

    Adapun perkembangan asuransi syariah di Indonesia baru ada pada paruh akhir tahun 1994. yaitu dengan berdirinya Asuransi Takaful Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1994, dengan diresmikannya PT Asuransi Takaful  Keluarga melalui SK Menkeu No. Kep-385/KMK.017/1994. Pendirian Asuransi Takaful Indonesia diprakarsai oleh Tim Pembentuk Asuransi Takaful Indonesia (TEPATI) yang dipelopori oleh ICMI melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Pejabat dari Departemen Keuangan, dan Pengusaha Muslim Indonesia.

    Melalui berbagai seminar nasional dan setelah mengadakan studi banding dengan Takaful Malaysia, akhirnya  berdirilah PT Syarikat Takaful Indonesia (PT STI) sebagai Holding Company pada tanggal 24 Februari 1994. Kemudian PT STI mendirikan 2 anak perusahaan, yakni PT Asuransi Takaful Keluarga (Life Insurance) dan PT Asuransi Takaful Umum (General Insurance). PT Asuransi Takaful Keluarga diresmikan lebih awal pada tanggal 25 Agustus 1994 oleh Bapak Mar’ie Muhammad selaku Menteri Keuangan saat itu. Setelah keluarnya izin operasional perusahaan pada tanggal 4 Agustus 1994.

    Setelah itu, beberapa perusahaan asuransi syariah yang lain lahir, seperti PT. asuransi syari’ah “Mubarakah” (1997) dan beberapa unit asuransi syari’ah  dari asuransi konvensional seperti MAA Assurance (2000), Asuransi Great Eastern (2001), Asuransi Bumi Putra (2003), Asuransi Beringin Jiwa Sejahtera (2003), Asuransi Tripakarta (2002), Asuransi Jasindo takaful (2003), Asuransi Binagria (2003), Asuransi Bumida (2003), Asuransi Staci Jasa Pratama (2004), Asuransi Central Asia (2004), Asuransi Adira Syari’ah (2004), Asuransi BNI Jiwasraya Syari’ah (2004), Asuransi Sinar Mas (2004), Asuransi Tokio Marine Syari’ah (2004), dan Reindo Divisi Syari’ah (2004) yang hingga bulan Agustus 2005 merupakan satu-satunya perusahaan re-asuransi yang syari’ah.

    Kini (2006). Jumlah lembaga asuransi syariah telah mencapai 36 buah. Karena pertumbuhan yang cepat tersebut, maka Indonesia menjadi negara   yang paling cepat pertumbuhan asuransi syariahnya dan paling banyak jumlah lembaganya  di dunia. Hanya Indonesia satu-satunya negara yang memiliki 36 lembaga asuransi syariah, sedangkan Malaysia cuma ada 4 lembaga asuransi syariah. Dan  hanya Indonesia yang memiliki 3 lembaga reasuransi syariah. Di negara manapun biasanya hanya ada satu lembaga reasuransi syariah.

    Walapun secara kuantitas, perkembangan asuransi syari’ah di Indonesia relatif pesat, tetapi dalam kenyataannya asuransi syari’ah masih menghadapi beberapa kendala. Menurut Syakir Sula, Ketua Asosiasi Asuransi Syari’ah Indonesia, hal-hal yang menjadi kendala antara lain, pertama, kurang sosialisasi. Media komunikasi yang digunakan cenderung tradisional, yaitu dengan cara presentasi, seminar, ceramah. Sementara sosialisasi melalui koran, televisi, dan radio masih sangat terbatas. Hal ini tetntu saja karena faktor pemodalan. Kedua, Keterbatasan Tenaga Ahli Asuransi Syari’ah yang profesional. Ketiga, Dukungan umat Islam yang masih rendah. Mereka belum menjadikan asuransi syari’ah sebagai kewajiban dalam praktik muamalat, sehingga motif finansial masih dominan menjadi pertimbangan dibandingkan dengan kebutuhan kesesuaian dengan ketentuan hukum Islam. Bahkan point ini merupakan tantangan utama yang berasal dari internal umat Islam. Keempat, Dukungan pemerintah belum optimal, terutama dalam hal kendala perundang-undangan yang hingga kini belum terakomodasi secara optimal.

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition