• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Prospek perbankan syari’ah Dan upaya pengembangannya di indonesia (ditulis tahun 2004)

    0

    Posted on : 12-03-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Perbankan Syariah

    Oleh : Agustianto

     

     

    Fatwa MUI (thn 2003) yang menyatakan secara tegas keharaman bunga bank, sesungguhnya telah lama dinantikan oleh masyarakat ekonomi syari’ah Indonesia. Bagi masyarakat ekonomi syari’ah, fatwa itu malah terlambat hampir 30 tahun,  karena fatwa tentang keharaman bunga bank tersebut, sekitar 30 tahun yang lalu telah disepakati oleh para ulama dan ahli ekonomi Islam sedunia pada Forum Konferensi Ekonomi Islam se-Dunia di Mekkah tahun 1976 yang dihadiri oleh 300 ahli ekonomi Islam. Para ulama dan pakar tersebut terdiri  pakar ekonomi dan keuangan Islam serta ahli fikih Islam.

    Menurut Muhammad Ali Ash-Shobuni, dalam buku Jarimah ar-Riba, kesepakatan para ahli tersebut dapat disebut sebagai ijma’ kaum muslimin, karena tak seorang pun para pakar tersebut yang menolak keharaman bunga bank. Prof. Dr. M.Akram Khan juga menyatakan bahwa seluruh ahli ekonomi Islam  ijma’ tentang keharaman bunga bank. Bahkan kesepakatan tentang  keharaman bunga bank  telah terjadi pada  tahun 1973 pada sidang Organisasi Konferensi Islam  (OKI) yang dihadiri oleh 44 negara. Karena itulah  sidang OKI merekomendasikan pendirian sebuah bank Islam internasional yang bernama Islamic Development Bank (IDB).

    Dewan Syari’ah Nasional (DSN), baru mengeluarkan fatwa mengenai  hukum bunga tabungan dan deposito perbankan konvensional pada bulan April tahun 2000 yang lalu., namun redaksinya  terkesan masih lunak dan dianggap belum tegas.  Dalam fatwa DSN itu disebutkan bahwa sistem bunga yang diterapkan bank konvensional tidak sesuai dengan syari’ah Islam.

    Pada saat itu, deklarasi keharaman bunga bank kepada publik dipandang belum mendapatkan momentumnya, karena infra-struktur perbankan syari’ah belum memadai dan jaringan kantor perbankan syariah belum meluas ke berbagai daerah.

    Ketika  lembaga perbankan  syari’ah telah  berkembang pesat ke berbagai kota dan daerah di Indonesia,  infra-struktur sudah semakin lengkap,  Bank Indonesia juga semakin responsif dan memberikan dukungan regulasi yang luar biasa terhadap pengembangan perbankan syari’ah, maka pada tanggal 16 Desember 2003 diputuskanlah hukum keharaman bunga bank melalui fatwa yang diputuskan oleh Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa  MUI Se-Indonesia yang secara ekspilisit menyebutkan, praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba dan riba hukumnya jelas haram.

    Fatwa MUI tersebut  diharapkan semakin memicu dan mendorong perkembangan bank syari’ah di Indonesia dan menjadi salah satu senjata  untuk meningkatkan  pangsa pasar bank syari’ah yang masih kecil. Namun, harus dicatat, bahwa kemajuan perbankan syari’ah di masa depan, banyak  tergantung pada tangan-tangan yang mengendalikan perbankan syari’ah itu sendiri. Bila lembaga perbankan syari’ah tidak berbenah dan meningkatkan pelayananan, profesionalisme, inovasi produk dan ekspansi jaringan, maka fatwa MUI kurang bermakna dalam meningkatkan kemajuan perbankan syari’ah. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, fatwa MUI itu justru bisa menjadi bumerang, karena lembaga bank syari’ah tidak mampu  tampil dengan, pelayanan,  performance dan kinerja terbaik  sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi serta kebutuhan masyarakat konsumen.

    Tulisan ini berupaya membahas  prospek perbankan syari’ah pasca fatwa MUI dan bagaimana para praktisi, akademisi, ulama dan pemerintah mengantisipasinya. Tulisan ini diawali dengan paparan tentang potensi dan prospek perbankan syari’ah di Indonesia kemudian dilanjutkan dengan  kajian tentang  aspek-aspek penting yang harus dibenahi dan ditingkatkan dalam menghadapi tantangan masa depan yang semakin kompleks.

    Prospek Bank Syari’ah

    Tidak bisa dibantah, bahwa  perbankan syari’ah  mempunyai potensi  dan prospek yang sangat bagus  untuk dikembangkan di Indonesia . Prospek yang baik ini setidaknya  ditandai oleh empat hal ;

    Pertama, Jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank syari’ah di Indonseia. Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara  signifikan. Data terakhir menunjukkan bahwa market share perbankan syari’ah di Indonesia masih sangat kecil, yaitu  0,65 %, belum mencapai 1 %, (lihat tabel). Ini menunjukkan bahwa market share bank syari’ah masih sangat besar

    Kedua, Sebagaimana disebut di awal, bahwa fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, bagaimanapun akan memacu secara signifikan pertumbuhan perbankan syari’ah. Pasca fatwa MUI tersebut,  terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank syari’ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data Bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari’ah hampir Rp 1 trilyun.

    Di masa depan, bank-bank syari’ah baru akan terus bermunculan sebagai raeaksi atas fatwa MUI. Jika bank-bank konvensional tidak membuka unit usaha syari’ah, maka dikhawatirkan dana masyarakat yang ditempatkan di sana, akan pindah ke bank-bank syari’a lain. Karena itu bank-bank konvensional harus membuka unit usaha syari’ah, agar dana masyarakat tidak pindah ke bank lain.

    Ketiga, Political will pemerintah cukup mendukung pengembangan perbakan syari’ah di Indonesia. Hal ini  terbukti dari sikap Bank Indonesia yang cukup responsif terhadap pengembangan perbankan syari’ah melalui peraturan-peraturan Bank Indonesia.  Bank Indonesia juga sejak awal telah mengeluarkan blue print pengembangan bank syari’ah di Indonesia dan disusul kebijakan Bank Indonesia melakukan perubahan dari Biro Syari’ah menjadi Direktorat Bank Syari’ah.  Hal ini menunjukkan bahwa Bank Indonesia memiliki komitmen yang kuat untuk mengembangkan perbankan syari’ah di Indonesia.

    Keempat, Masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha perbankan syari’ah sesungguhnya merupakan indikator bahwa usaha perbankan syari’ah di Indonesia memang prospektif dan dipercaya oleh para investor luar negeri.

    Bank Syari’ah Pasca Fatwa MUI

    Pasca fatwa MUI, prospek perbankan syari’ah semakin cerah, karena itu perbankan syari’ah,  harus berbenah diri dan memperhatikan beberapa aspek penting berikut ini :1.Peningkatan pelayanan dan profesionalism

    Di masa depan, ketika bank-bank syari’ah telah dominan dan meluas ke berbagai daerah, isu halal-haram tidak bisa diandalkan lagi. Pendekatan yang lebih menekankan aspek  emosional  harus  dikurangi. Bank-bank syari’ah  harus mengedepankan profesionalisme dan mengutamakan service exellence kepada customer

    Apabila perbankan syari’ah bisa memberikan pelayanan yang prima dan profesional serta memiliki kinerja yang exellence, maka dapat dipastikan umat Islam akan lebih percaya terhadap perbankan syari’ah. Para praktisi bank syari’ah harus dapat meyakinkan ummat Islam bahwa bank syari’ah itu lebih baik.

    2.Inovasi Produk

    Perkembangan industri perbankan di dunia dalam beberapa dasawarsa terakhir ini amat mengagumkan. Produk-produk yang dikembangkan di pasar semakin bervariasi dan sesuai dengan kebutuhan konsumen. Semuanya itu dikembangkan dengan dukungan teknologi informasi dan telekomunikasi yang semakin canggih, sehingga mempermudah urusan konsumen dan meningkatkan efisiensi kegiatan usaha para konsumen. Dari hari ke hari produk-produk baru terus bermunculan,  menawarkan daya tarik tersendiri.

    Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang harus dikembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah. Untuk mengembangkan produk-produk yang bervariasi dan menarik, bank syari’ah di Indonesia dapat membangun hubungan kerjasama atau berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kerjasama itu akan bermanfaat dalam mengembangkan produk-produk bank syari’ah

    Keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan  akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap  sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah

    3. Sumber Daya Insani

    Bank Syari’ah harus mempersiapkan sumber daya insani (SDI) yang  berkualitas dan handal, karena eksistensi kualitas sumber daya insani sangat menentukan pengembangan perbankan syari’ah di masa mendatang. Kualitas sumber daya insani merupakan tulang punggung dalam suatu organisasi dan sangat berpengaruh pada keberhasilan organisasi. Untuk bisa menggerakkan bisnis islami dengan suskes, diperlukan SDI yang yang menguasai ilmu bisnis dan ilmu-ilmu syari’ah secara baik. Selama ini SDI penggerak bisnis islami berasal dari pendidikan umum yang diberi training singkat mengenai bisnis islami. Seringkali training seperti ini kurang memadai, karena yang perlu diupgrade bukan hanya knowlegde semata, tetapi juga paradigma syari’ah, visi dan missi, serta kepribadian syari’ah.

    Untuk melahirkan SDI yang berkompeten di bidang  bisnis dan hukum syari’ah secara komprehensif dan memadai, serta memiliki integritas tinggi, maka manajemen  bank syari’ah harus siap berinvestasi menyekolahkan dan mentraining para sumber daya insaninya. Integritas  tinggi hanya bisa diperoleh dan dipertahankan  bila dilandasai kejujuran  dan dapat dipercaya, sedangkan kompetensi perlu didukung dengan kecerdasan (fathanah), keterbukaan dan komunikatif (tabligh) .

    4. Perluasan Jaringan Kantor

    Perbankan syariah harus memperluas jaringan kantor  agar dapat menjangkau seluruh masyarakat, sehingga alasan darurat bagi daerah yang belum ada bank syari’ahnya bisa dikurangi. Bank-bank milik pemerintah (BUMN) dapat  melakukan perluasan outlate dengan memanfaatkan kantor-kantor cabangnya yang tersebar di seluruh Indonesia, misalnya Bank BNI dan BRI. Perluasan jaringan bank pemerintah tersebut tidak harus dengan membuka kantor-kantor cabang baru, karena membutuhkan modal besar. Sedangkan bagi bank swasta yang kekurangan modal untuk memperluas pembukaan outlate, harus  inovatif dalam membuat terobosan-terosan baru agar jaringannya menjangkau masyarakat luas sampai ke daerah-daerah.

    5. Peraturan yang mendukung

    Sistem perbankan syari’ah merupakan sub-sistem dari sistem keuangan nasional.

    Oleh karena itu, keberadaan dan kegiatan  perbankan syari’ah tersebut perlu diatur secara tegas dan jelas dalam hukum positif atau perundang-undangan nasional yang berlaku, sebaiknya dalam bentuk Undang-Undang tersendiri. Undang-Undang tersebut tidak saja akan mewujudkan kepastian hukum, tetapi juga akan membuat suasana regulasi lebih kondusif.

    Semua fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syari’ah Nasional MUI tentang produk dan sistem perbankan syari’ah, harus diterjemahkan ke dalam peraturan Bank Indonesia. Hal ini akan semakin  menunjang kemampuan kompetitif perbankan syari’ah sehingga dapat meningkatkan pangsa pasarnya secara signifikan. Bila ini dilakukan, maka target 5 % pangsa pasar bank syari’ah  yang dicanangkan Bank Indonesia  dalam blue print,  akan terlampuai sebelum tahun 2011.

    6. Konsisten pada syari’ah

    Praktek operasional perbankan syari’ah harus benar-benar dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah. Jawaban-jawaban apologetis yang berlindung di bawah payung Dewan Syari’ah tidak menjamin praktek operasinya benar-benar syari’ah. Dengan semakin meluasnya jaringan perbankan syari’ah, maka Dewan Pengawas Syari’ah, harus  lebih meningkatkan perannya secara aktif. Selama ini sangat banyak Dewan Pengawas Syari’ah tidak berfungsi melakukan pengawasan aspek syari’ahnya. Di masa depan, perlu dibentuk Dewan Pengawas Syari’ah di daerah. Bila  Dewan Pengawas Syari’ah hanya mengandalkan DPS pusat sangat dikhawatirkan, praktek operasi bank syari’ah tidak terawasi.

    7. Bagi Hasil yang kompetitif

    Sebagaimana disebut di awal, bahwa pasca fatwa MUI, terjadi peningkatan aliran dana masyarakat yang masuk ke perbankan syari’ah sehingga menimbulkan overlikuiditas. Apabila realitas ini tidak diantisipasi  dengan pembiayaan secara seimbang, maka tingkat bagi hasil  akan menurun,  akibatnya masyarakat akan kembali menarik dananya dari bank syari’ah.  Untuk mengantisipasi overlikuiditas tersebut, maka pembiayaan (lending) harus segera disalurkan ke sektor riel atau obligasi syari’ah agar tingkat bagi hasil tetap kompetitif. Karena itu, praktisi bank syari’ah harus proaktif mencari  peluang-peluang bisnis yang prospektif dengan tetap menjaga prinsip kehatian-hatian (prudencial principles). Perbankan syari’ah sebagai lembaga kepercayaan harus selalu menjaga prinsip kehati-hatian  ini agar berbagai kemungkinan resiko yang dapat merugikan perbankan dan masyarakat  dapat diminimalisir  sekecil mungkin.

    8. Reorientasi ke Sektor Riel Syari’ah

    Pasca fatwa MUI, perhatian perbankan syari’ah kepada pengembangan sektor riel harus lebih diutamakan, mengingat realita  pertumbuhan lembaga keuangan syari’ah selama ini begitu pesat, tetapi tidak seimbang dengan pengembangan sektor riel. Dalam ekonomi Islam, pengembangan sektor keuangan harus terkait erat dengan sektor riel syari’ah, karena itu,   pengembangan perbankan syari’ah harus mendukung gerakan ekonomi Islam di sektor riel, seperti kegiatan produksi dan distribusi yang dilakukan Ahad-net, MQ-Net, hotel Sofyan syari’ah, super market, agribisnis, Usaha Kecil dan Menengah (UKM)  dan gerakan usaha sektor lainnya. Orientasi pengembangan ekonomi Islam melalui sektor keuangan harus diimbangi  dengan pengembangan  sektor riel. Kepincangan dua aspek ini akan menimbulkan bahaya dan malapetaka ekonomi Islam di masa depan dan hal ini merupakan kegagalan dan kehancuran ekonomi Islam.

    Pengembangan sektor riel syari’ah harus menjadi perhatian yang serius bagi perbankan syari’ah, terutama pasca fatwa MUI. Pembiayaan melalui produk murabahah, sesungguhnya tidak signifikan mengembangkan sektor riel, karena bentuknya dominan konsumtif. Kalau overlikuiditas tidak segera diantispasi dengan pengembangan usaha sektor riel, maka realita ini akan memaksa bank-bank syari’ah menempatkan dananya di bank Indonesia dalam jumlah yang besar melalui SWBI (Sertifikat Wadiah Bank Indonesia). Bila hal ini terjadi, maka  beban Bank Indonesia untuk membayar bonusnya menjadi besar (jauh melebihi bonus Giro Wajib Minimum yang 5 %) dan beban ini tentu menjadi tangung jawab pemerintah (menjadi beban APBN). Hal ini harus dihindari oleh perbankan syari’ah, agar bank-bank syari’ah  tidak turut  menguras dana APBN yang seharusnya digunakan untuk pembangunan ekonomi rakyat.

    Penutup

    Sebagai penutup tulisan ini, diharapkan  kepada perbankan syari’ah agar tetap secara konsisten  melakukan program restrukturisasi demi membentruk sistem perbankan nasional yang tangguh dan terpercaya. Untuk itu, hal yang perlu dilakukan adalah adanya konsolidasi baik dari sisi internal maupun eksternal  bank.  Konsolidasi internal dilakukan dengan cara secara istiqamah menerapkan prinsip kehati-hatian, kepatuhan terhadap prinsip syari’ah, penguatan internal control dan meningkatkan  kualitas pelayanan kepada nasabah. Penguatan internal control semakin penting agar kasus city bank yang dibobol Melinda tidak terjadi bank syariah. Sedangkan konsolidasi eksternal  berupa peningkatan kerjasama  dan konsolidasi dengan institusi terkait dan peningkatan kualitas pelaksanaan good corporate govarnance sebagai bagian dari upaya meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional.

     

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition