• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Bahaya Transaksi Derivatif

    0

    Posted on : 13-04-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Oleh : Agustianto

    Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI) dan Dosen Pascasarjana UI, Trisakti dan Univ.Paramdina

    Krisis keuangan global yang terjadi di Amerika Serikat telah menimbulkan keterpurukan ekonomi yang sangat dalam bagi perekonomian AS. Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgage itu merontokkan sejumlah lembaga keuangan AS. Raksasa keuangan sebesar Lehman Brothers pun bisa tumbang. Nyatanya dia tidak sendirian, pelaku bisnis raksasa lainnya juga mengalami nasib tragis yang sama, seperti Washington Mutual Bank. Perusahaan asuransi terbesar di dunia American International Group (AIG) dan perusahaan sekuritas raksasa Merrill Lynch, Morgan Stanley dan Goldman Sachs mengalami sempoyongan yang luar biasa. Pemerintah AS terpaksa mengambil alih perusahaan-perusahaan tersebut. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok, termasuk Indonesia.

    Menyusul tumbangnya banyak perusahaan finansial, pencaplokan perusahaan pesaing makin marak. Pengambil alihan secara paksa (hostile takeover) menjadi sesuatu yang wajar dalam dinamika pasar. Bagi perusahaan finansial yang memiliki produk derivatif luas di pasar, keberadaan perusahaan bisa dipermainkan para spekulan. Saat perusahaan mulai goyah pencaplokan oleh perusahaan lain tidak terhindarkan. Pasar menjadi ganas dan liar, tidak terkendali.

    Para analis menilai, bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Inikah tanda-tanda keruntuhan sebuah imperium, negara adi daya bernama Amerika Serikat?

    Sebagai negara adi daya dengan gross domestic bruto (GDP) terbesar di dunia, Amerka Serikat seharusnya mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga kestabilan dan kesehatan sistem dan pasar keuangan di negaranya, karena akan berdampak besar bagi negara-negara lain. Tetapi justru Amerika Serikat yang tersungkur jatuh ke jurang krisis keuangan yang sangat dalam.  Dalam sistem ekonomi konvensional kapitalisme  yang anutnya, dihalalkan kegiatan bisnis derivatif dan  spekulatif di pasar uang dan pasar modal. Praktek bunga, maysir dan gharar menjadi kebiasaan.

    Ada banyak analisis terkait dengan kehancuran pasar finansial, mulai dari kebijakan defisit AS, kebijakan suku bunga rendah di era Greenspan, keserakahan elit politik, kegiatan spekulatif para petinggi perusahaan, seperti dilakukan Dick Fuld, CEO Lehman Brothers, tingginya biaya program politik luar negeri, manipulasi laporan keuangan dan lain-lain. Hampir semua analisis itu tidak menukik kepada akar masalah yang paling dalam, sehingga apapun obat dan strategi pemulihan yang diberikan pasti tidak mujarab. Penyakit krisis pasti kembali kambuh dan terus berulang. Paparan dalam tulisan ini akan menjelaskan akar masalah yang sesungguhnya dari krisis keuangan yang selalu terjadi sepanjang sejarah, termasuk krisis keuangan saat ini yang bermula dari Amerika Serikat.

    Menurut perspektif ekonomi syariah, penyebab utama krisis yang terjadi saat ini adalah (satanic trinity), yaitu trinitas setan yang terdiri dari riba, maysir dan gharar. Sistem dan pasar keuangan dan capital market di Amerika  telah didominir  oleh setan tiga serangkai atau trinitas setan (satanic trinity) yang terdiri dari (1) bunga (riba) dalam transaksi keuangan; Praktek riba terlihat jelas pada bisnis derivatif yang sangat laris di pasar uang dan pasar modal AS. (2) Produk derivatif yang tak jelas underline transactionnya itu disebut juga dengan gharar, karena ketidak jelasan produk riilnya. Produk gharar ini disamarkan dengan istilah produk hybrids dan derivatives yang   dibungkus dan dikemas dengan mekanisme securitisation insurance atau guarantee; (3) Peri laku dan praktek spekulatif atau untung-untungan (maisir) yang juga tanpa dilandasi transaksi riil. .

    Sebenarnya, krisis keuangan global dapat dibedakan kepada dua macam krisis, Pertama krisis di pasar modal (capital market) dan kedua krisis di pasar uang (money market). Kedua bentuk financial market itu membuka peluang kepada transaksi dengan tingkat spekulasi yang tinggi. Keduanya menggunakan bunga sebagai instrumen. Keduanya juga memisahkan sektor moneter dan sektor riel sebagaimana diajarkan sistem ekonomi kapitalisme.

    Di capital market konvensional, sangat dimungkinkan terjadinya short selling dan margin trading . Kegiatan bisnis tersebut sangat sarat dengan motif spekulasi. Sementara di pasar uang terdapat dua kesalahan besar yang berakibat kepada krisis, pertama, kegiatan transaksi valas yang bermotif spekulasi, baik spot maupun bukan, seperti forward, options dan swaps transaction. Kedua bahwa yang menjadi standar keuangan international adalah fiat money.

    Islam yang berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah dari langit tentu memiliki ajaran yang unggul, rasional dan ilmiah dan empiris. Menurut ekonomi Islam, sektor moneter dan sektor riil tidak boleh terpisah, sedangkan dalam sistem ekonomi kapitalisme keduanya terpisah secara diametral. Akibat keterpisahan itu, maka arus uang (moneter) berkembang dengan cepat sekali, sementara arus barang di sektor riil semakin jauh tertinggal. Sektor moneter dan sektor riil menjadi sangat tidak seimbang.

    Pakar manajamen tingkat dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decopling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa.

    Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi pada kedua pasar keuangan di atas, yaitu di pasar modal dan pasar valas (money market) sehingga ekonomi dunia terjangkit penyakit yang bernama balon economy (bubble economy). Disebut ekonomi balon, karena secara lahir tampak besar, tetapi ternyata tidak berisi apa-apa kecuali udara. Ketika ditusuk, ternyata ia kosong. Jadi, bublle economy adalah sebuah ekonomi yang besar dalam perhitungan kuantitas moneternya, namun tak diimbangi oleh sektor riel, bahkan sektor riel tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.

     

    Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, dana yang gentayangan dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS.

    Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18-8-2000).

    Dalam tulisan Agustianto di sebuah seminar Nasional tahun 2007 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1-an %. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures,dan options. Sementara itu menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam ransaksi valas sudah mencapai 1,3 triliun dalam setahun. Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meningalkan sektor riel. Dengan demikian balonnya semakin besar dan semakin rawan mengalami letupan. Ketika balon itu meletus, maka terjadilah krisis seperti yang sering kita saksikan di muka bumi ini.

    Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa berlaku mengalami kerugian milyaran dollar AS.

    Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.

    Kegiatan bisnis yang memisahkan sektor moneter dan riil, tidak lain adalah praktek riba. Istilah kontemporer menyebutnya derivatif. Dalam transaksi derivatif saat ini, sesungguhnya telah menyatu tiga serangkai riba, maysir dan gharar. Sistem bisnis derivatif dalam pandangan Islam, merupakan sebuah kejahatan besar, sehinga pelakunya abadi di neraka (2:275), karena dosanya tak termaafkan. Dampaknya bisa menghangcurkan ekonomi banyak negara sebagai mana yang kita rasakan dan saksikan saat ini. Jika sebuah negara terjun ke jurang krisis, maka ratusan juta bisa menderita, Bayangkan jika 10, 20 atau 30 negara diterpa krisis, berapa milyard umat manusia yang menjadi sengsara dan makin miskin akibat sistem yang salah, sistem yang menghalalkan riba, maysir dan gharar. Oleh karena jahatnya transaksi derivatif, maka  George Soros menyebutnya sebagai hydrogen bombs, sementara Warren Buffett menjulukinya sebagai financial weapons of mass destruction

    Transkasi derivatif telah menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat bisa meledak dan menciptakan mega-catastrophic yang dapat meluluhlantakkan sistem finansial global. Hal ini disebabkan ekspansi derivatif telah menciptakan bubble yang sangat besar dalam ekonomi dunia.

    Para ekonom dan pakar keuangan telah mengidentifikasi dan berkonklusi bahwa transaksi derivatif menjadi punca dan penyebab utama semua bencana ekonomi besar yang terjadi sejak tahun 1929 di Amerika Serikat. Sistem riba, maysir dan gharar (derivative) jugalah yang berada di belakang crash pasar saham Wall Street tahun 2001 yang dikenal sebagai Black Monday, juga krisis keuangan dan perbankan di tahun 1987

    Bisnis derivative ini jugalah  menjadi penyebab terjadinya krisis finansial Asia 1997/1998; penyebab kolapsnya hedge fund raksasa Long Term Capital Management (LTCM) tahun 1998; ambruknya bank dagang tertua Inggris, Barrings Bank; kolapsnya Enron; pemicu krisis ekonomi Argentina; serta menjadi pemantik krisis keuangan dan ekonomi global saat ini. Hal ini terjadi karena, menurut Kavaljit Singh (2000), transaksi derivatif yang awalnya digunakan untuk mengurangi risiko (hedging) akibat pergerakan harga tidak lagi wujud, malahan menjadi instrumen spekulasi.

    Upaya saat ini yang banyak dibahas untuk mengurangi dampak buruk derivatif adalah membuat regulasi dan supervisi yang sophisticated (Bisnis, 20 Maret). Namun, Menurut Aziz Setiawan, pakar ekonomi Islam Paramadina, ketika regulasi tidak menyentuh pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, ancaman krisis sistemik akan selalu ada. Metamorfosis dan mutasi derivatif berkembang ketika terjadi pemisahan risiko dari aktivitas ekonomi riil, sehingga risiko bertransformasi menjadi “komoditas” dan membuatnya dapat ditransaksikan secara terpisah.

     

    Komoditisasi risiko membuat risiko menjadi semakin berbiak. Ketika risiko terpisah dari sektor riil, tidak ada batasan jenis risiko yang bisa ditransaksikan, mulai dari saham, obligasi, komoditas, indeks, valuta, rating perusahaan, penyelesaian takeover, cuaca serta risiko lainnya. Lebih jauh lagi bahkan, derivatif dapat diturunkan dari derivatif lainnya, sehingga lahirlah options on futures, futures on options, options on options, dan lain-lain.

     

    Hal ini, membuat volume dan pertumbuhan derivatif terpisah dari sektor riil. Karena sektor riil jauh lebih kompleks dan dihadapkan pada berbagai kendala, maka pertumbuhan pasar derivatif jauh lebih cepat dari barang dan jasa riil. Maka tak mengherankan bila volume derivatif telah berbiak lebih sepuluh kali lipat dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) seluruh dunia yang hanya US$60 triliun.
    Berdasarkan data Bank for International Settlements (BIS), volume transaksi derivatif dalam 6 tahun terakhir telah membengkak lebih dari enam kali lipat; dari sekitar US$100 triliun menjadi US$683 triliun tahun 2008. Akhirnya regulasi tanpa menyentuh aspek pembatasan kemampuan bermutasi dan bermetamorfosis derivatif, tidak akan terlalu membantu meredam daya ledak bom waktu ini.

    Dalam sebuah seminar di STAN Jakarta, di mana saya dan Aviliani ketika itu sebagai pembicara, beliau mengatakan, bahwa perbandingan transaksi sector riil dan sector keuangan telah membengkak secara spektakuler, yakni 1 banding 3000. Ini Artinya, jika transaksi bisnis riil hanya 1 triliun US dolar seathaun, maka transaksi derivative di sector keuangan 3000 kali lipatnya, yakni sebanyak 3000 triliun US dollar dalam setahun. Percepatan ini terjadi dalam 6 tahun belakangan ini.

     

    Alquran dan transaksi derivatif

    Pelarangan riba yang secara tegas terdapat dalam Al-Qur’an (QS: 2 :275-279), pada hakikatnya merupakan pelarangan terhadap transaksi maya atau derivatif . Firman Allah, “Allah menghalalkan jual-beli (sektor riel) dan mengharamkan riba (tranksaksi maya)”.

    Dalam transaksi maya, tidak ada sektor riel (barang dan jasa) yang diperjualbelikan. Mereka hanya memperjualbelikan kertas berharga dan mata uang untuk tujuan spekulasi. Tambahan (gain) yang diperoleh dari jual beli itu termasuk kepada riba, karena gain itu diperoleh bighairi wadhin, yakni tanpa ada sektor riel yang dipertukarkan, kecuali mata uang  atau kertas-kertas itu sendiri. Dalam transaski derivatif juga tidak ada ma’kud ’alaih, berupa barang/jasa yang menjadi rukun dalam transaksi bisnis. Transaski inilah yang  dilarang Alquran dan hadits dengan istilah riba dan gharar.

    Pencipta alam semesta dan pencipta manusia, Dialah Allah Rabbbul ‘Alamin, Dialah yang paling dan Maha pintar dari siapapun. Dia sudah memberikan jawaban dalam kitabnya Alquran bahwa akar masalah kerusakan ekonomi adalah riba (QS.30 : 39 -41) . Dalam semua Kitab suci yang diturunkanya Taurat dan Injil, dia juga telah mengharamkan riba. Tak diragukan sedikitpun bahwa akar masalah yang paling utama adalah sistem riba yang menjadi instrumen dan jantung kapitalisme dalam seluruh transaksi keuangan. Walaupun harus diakui bukan riba satu-satunya yang menjadi akar terjadinya krisis finansial tersebut.

    Dalam surah Ar-Rum ayat 41 Allah berfirman, :”Telah nyata kerusakan di darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke jalan Allah”

    Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi yang dijalankan oleh manusia, pendekarnya adalah Amerika dan Eropa dan selanjutnya diikuti oleh Indonesia dan negara lainnya. Ayat sebelumnya yakni ayat 39 berbicara dengan jelas bahwa sistem riba tidak akan menumbuhkan ekonomi masyarakat, tetapi malah merusak perekonomian. Firman Allah “Apa yang kamu berikan (pinjaman) dalam bentuk riba agar harta manusia betambah, maka hal itu tidak bertambah di sisi Allah” (QS.ar-Rum : 39)

    Ayat Alquran tersebut berbicara dalam konteks ekonomi makro, artinya menganalisis ekonomi secara agregat, bukan secara mikro, seperti membandingkan harga jual beli murabahah dengan bunga bank konvesnional. Bunga bank konvensional bagi banyak orang tak begitu terasa bagi kerusakan ekonomi, tetapi ketika bunga sudah menjadi sistem finansial global dan nasional, maka dampaknya luar biasa jahat bagi pembangunan ekonomi. Bunga, sedikit atau banyak tetap disebut riba, sebagaimana daging babi yang sedikit dengan yang banyak, yang sedikit tetap daging babi juga. Hadits Nabi Saw, “Sedikit dan banyaknya hukumnya haram”. Demikian pula riba, baik diterapkan dalam ekonomi mikro maupun makro tetap haram.

    Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

    Pakar Ekonomi Islam asal USA, Prof.Dr.Monzer Kahf mengatakan, “Riba has a great contribution to the current crisis but it is alone not the sole element in it, of course Riba contributed through creating layers of financial transactions that resulted in a domino effect of institutions and the economy at large, but there is the lust for profit that caused over stretching of finance to persons who cannot continue paying their debts, their also the expanded consumerism in the American society that shares in creating unbearable debt burdens, etc.”

    Jadi menurutnya, riba’ telah memberikan  kontribusi yang besar kepada krisis ini meskipun ia mengakui bahwa riba’ itu sendiri bukanlah satu-satunya elemen penyebab krisis. Riba  memberikan konstribusi  melalui  transaksi-transaski derivative dan spekulatif  pada institusi institusi keuangan. Penyebab lainnya ialah hawa nafsu serakah  mencari keuntungan dari mereka yang tidak berdaya meneruskan pembayaran hutang. Sikap ini juga adalah gejala dari expanded consumerism dalam masyarakat Amerika itu sendiri.

    Kegagalan sistem keuangan sebagai akibat dari trinitas setan itu, dengan bahasa yang berbeda, secara implisit diakui oleh Henry Poulson, Menteri Keuangan A.S. Dalam laporannya sebagai Ketua President’s Working Group(PWG) on Financial Markets (April 2008), Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisis subprime mortgages di A.S. adalah: (1) merosotnya mutu/standar penjaminan bagi subprime mortgages; (2) erosi yang signifikan terhadap disiplin pasar yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dengan proses sekuritisasi, termasuk originators, underwriters, credit rating agencies, dan global investors; (3) kegagalan dalam menyediakan dan memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4) kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat kredit, khususnya dalam menilai: a) subprime residential mortgage backed securities (RMBS) dan b) collateralized debt obligations (CDOs)yang dikaitkan dengan RMBS dan asset backed securities (ABS) lainnya; (5) kelemahan manajemen risiko pada sejumlah institusi keuangan besar di A.S. dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk mengenai persyaratan modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalam memitigasi kelemahan manajemen risiko.

    Keenam hal tersebut di atas yang menurut Poulson marak terjadi  sejak tahun 2004, bertepatan dengan masa jabatan kedua Presiden Bush, secara sengaja atau tidak sengaja, telah ikut menyuburkan transaksi yang bersifat gharar dan maisir sehingga transaksi keuangan yang seharusnya didasarkan kepada underline asset, keterbukaan dan fairness berubah menjadi transaksi keuangan yang bersifat sangat spekulatif dan juga addictive yang sangat berbahaya dan sulit dihentikan.

    Interaksi pasar modal yang penuh gharar dan maisir dengan perbankan yang ribawi, selain dengan cepat menggoyahkan sendi-sendi sistem dan pasar keuangan–akibat asset write down yang menggerus aset dan modal serta bad debt yang menggerus laba, juga semakin menjauhkan kegiatan sektor keuangan dari sektor riil. Lebih buruk lagi, dampak negatif tersebut juga harus dirasakan oleh perusahaan dan negara yang sebelumnya tak ada permasalahan serius.

    Hindari Maghrib

    Perlu ditegaskan kembali bahwa  ekonomi kapitalisme yang rawan krisis itu, tidak melarang praktik maghrib, sedangkan ekonomi Islam sangat keras mengecamnya. Magrib adalah akronim dari maysir, gharar dan riba. Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi. Spekulasi selalu terjadi di pasar modal dalam bentuk short selling dan margin trading. Sedangkan gharar ialah transaksi maya, drivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi). Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riel. Di pasar modal seringkali para investor meraup keuntungan tanpa adanya underlying asset, atau sektor riel yang melandasinya. Tujuan investor bukan untuk menanam saham secara riil di sebuah emiten, tetapi semata untuk meraih gain melalui praktik margin trading. Selain itu harus diketahui bahwa di dalam financial market, margin trading dan fiat standart ditetapkan berdasarkan instrumen bunga.

    Di pasar uang kegiatan transaksi spekulasi valas semacam transaksi swap, forward dan options selalu terjadi. Semua transaksi tersebut bertentangan dengan syariah, karena mengandung riba. Sementara itu, ekonomi syariah adalah ekonomi yang berusaha menempatkan keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil (atau bisa disebut economy 1 on 1). Artinya ekonomi yang mengkaitkan secara ketat antara sektor moneter dan sektor reil. Tegasnya, one monetery unit for one real asset. Dalam kerangka itulah Ekonomi Islam mengajarkan kegiatan bisnis riel melalui jual beli, bagi hasil dan ijarah

    Jantung dari sistem ekonomi kapitalisme adalah riba. Riba adalah punca dari segala macam krisis. Artinya riba adalah biang utama terjadimya krisis. Kegiatan spekulasi dalam bentuk margin trading dan short selleing di pasar modal adalah riba, karena tanpa dilandasari oleh underlying transaction yang riel. Kegitan traksaksi derivatif di bursa berjangka dan bursa komoditi semuanya adalah riba. Kegiatan spekuasi valas dengan motif untuk spekulasi, bukan untuk transaksi adalah kegiatan ribawi. Sedangkan untuk jaga-jaga (preceutionary) hukumnya makruh.

    Ambillah 100-an buku-buku Islam (fiqh, tafsir dan hadits), lalu lihat dan analisis-lah definisi riba. Dari ratusan definisi riba itu disimpulkan, bahwa riba ialah az-ziyadah lam yuqabilha ‘iwadh, artinya, riba adalah tambahan yang diperoleh tanpa didasarkan adanya ‘iwadh. Iwadh ialah transaksi bisnis riel yang terdiri dari 3 macam, yaitu jual beli, bagi hasil dan ijarah, Jual beli contohnya ialah seperti jual beli dengan segala macamnya (jual beli murabahah, salam, istisna), Transaksi bisnis riel juga dapat diwujudkan dengan bagi hasil dan ijarah,. Bagi hasil diwujudkan dengan konsep mudharabah, syirkah, mudharabah musytarakah, musyarakah mutanaqishah dan muzara’ah. Sedangkan ijarah diwujudkan dengan ijarah biasa, ijarah muwazy (paralel), IMBT.

    Transaksi mudharabah dan musyarakah serta transaksi jual beli murabahah, salam, istisna’ dan ijarah (leasing), memastikan keterkaitan sektor moneter dan sektor riel. Oleh karena itu pula salah satu rukun jual beli ialah ada uang ada barang (ma’kud ‘alaihi). Dengan demikian, future trading dan margin trading yang tidak diikuti dengan pengiriman barang adalah tidak sah. Jelasnya bahwa konsep ekonomi Islam menjaga keseimbangan sektor riel dan sektor moneter. Begitu pula dengan perbankan Islam yang pertumbuhan pembiayaannya tidak dapat terlepas dari pertumbuhan sektor riel yang dibiayainya.

    Yang jelas tidak boleh ada tambahan (keuntungan) tanpa adanya transaksi bisnis riel. Seorang spekulan mata uang, yang maraup keuntungan dari selisih harga beli dollar dan jualnya, adalah pelaku riba. Dalam ekonomi Islam, uang tidak boleh dijadian sebagai komoditas sebagaimana yang banyak dipraktikkan dewasa ini dalam kegiatan transaksi bisnis valuta asing. Menurut Ekonomi Islam, transaksi valas hanya dibenarkan apabila digunakan untuk kebutuhan transaksi di sektor riel, seperti membeli barang untuk kebutuhan import, berbelanja atau membayar jasa di luar negeri dan sebagainya. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulasi, amat dilarang dalam Islam. Jual-beli valas untuk kepentingan spekulatif menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

    Dampak spekulasi valas ialah nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauhi dari segala transaksi yang mengandung riba, seperti transaksi-transaksi maya di pasar uang. Mengambil gain dan keuntungan tanpa didasarkan pada kegiatan bisnis sektor riil adalah riba, baik di pasar uang maupun di pasar modal. Maka, seorang spekulan saham di pasar modal juga telah melakukan praktik riba.bahkan lebih jauh ia telah masuk kepada praktik gharar dan maysir. Demikian pula seorang yang ikut dalam transaksi bursa berjangka juga telah melakukan transaksi ribawi.

    Karena ekonomi Islam tidak memisahkan sektor moneter dan sektor riil, maka jumlah uang yang beredar menurut Islam, ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel atau dengan kata lain, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa dalam perekonomian. Demikian kata Ibnu Taymiyah di buku Majmu’ Fatawa pada abad pertengahan Islm

    Dalam ekonomi Islam, sektor finansial mengikti pertumbuhan sektor riel, Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional, yaitu ekonomi konvensional, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi mata uang.

    Spekulasi inilah yang dapat menggoncang ekonomi berbagai negara,apalagi negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.

    Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Lihat saja nasib rupiah semakin hari semakin merosot dan nilainya tidak menentu.

    Di pasar uang tersebut, peran spekulan cukup signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Lihatlah Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan gara-gara ulah spekulan di pasar uang, apalagi kondisinya seperti Indonesia, jelas menjadi bulan-bulanan para spekulan. Demikian pula ulah George Soros di Asia Tenggara tahun 1997..

    Bagi spekulan, tidak penting apakah nilai menguat atau melemah. Bagi mereka yang penting adalah mata uang selalu berfluktuasi. Tidak jarang mereka melakukan rekayasa untuk menciptakan fluktuasi bila ada momen yang tepat, biasanya satu peristiwa politik yang menimbulkan ketidakpastian.

    Menjelang momentum tersebut, secara perlahan-lahan mereka membeli rupiah, sehingga permintaan akan rupiah meningkat. Ini akan mendorong nilai rupiah secara semu ini, akan menjadi makanan empuk para spekulan. Bila momentumnya muncul dan ketidakpastian mulai merebak, mereka akan melepas secara sekaligus dalam jumlah besar. Pasar akan kebanjiran rupiah dan tentunya nilai rupiah akan anjlok. Para spekulan meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain.

    Kesadaran ekonom dan negara maju

    Sebenarnya, sebagian pakar ekonomi dunia telah menyadari kerapuhan sistem moneter kapitalisme seperti itu. Teori Bubble growth dan random walk telah memberikan penjelasan yang meyakinkan tentang bahaya transaksi maya (bisnis dan spekulasi mata uang dan bisnis (spekulasi) saham di pasar modal).

    Para pemimpin negara-negara G7 pun, telah menyadari bahaya dan keburukan transaksi maya dalam perekonomian. Pada tahun 1998 mereka menyepakati bahwa perlu adanya pengaturan di pasar uang sehingga tidak menimbulkan krisis yang berkepanjangan. Jadi, bila negara-negara G7 telah menyadari bahaya transaksi maya, mengapa Indonesia masih belum melihat dampak negatifnya bagi perekonomian dan segera mendorong konsep dan blueprint ekonomi Islam..

    Selanjutnya, untuk meminimalisir kegiatan spekulasi dan bubble economy para ekonom Barat mengusulkan untuk mengetatkan regulasi investasi. Ben Bernake, Chairman of Federal Reserve bahkan sampai meminta kepada konggres AS untuk menyetujui penambahan regulasi bagi bank investasi agar tidak terjadi spekulasi yang berlebihan di pasar aset keuangan. Pendapat senada juga diutarakan oleh Direktur IMF Strauss-Kahn mengenai perlunya penambahan aturan dan transparansi untuk menghidari krisis yang lebih parah. Meskipun kedua pernyataan ini terdengar berlawanan dengan semangat kapitalisme AS, namun akhirnya sebagian ekonom dan pengamat pasar keuangan sepakat bahwa liberalisasi pasar keuangan cenderung mendorong kepada ketidakstabilan ekonomi.

    Joseph  Stiglitz, pemenang Hadiah Nobel 2002 dari Harvard University  mengatakan, “Pada akhirnya, Negara AS yang selama ini membangga-banggakan sistem kapitalisme yang dianutnya ke berbagai negara di dunia, mendapat kritikan tajam setelah AS sendiri tidak mampu membuktikan bahwa model ekonomi yang dianutnya adalah model ekonomi yang bisa mensejahterakan umat manusia”.

    Menurut Stiglitz, krisis keuangan di AS yang menjalar menjadi krisis keuangan global bahkan lebih buruk dari Great Depression pada era 1930-an, telah membuka mata masyarakat internasional akan rapuhnya sistem kapitalisme yang dianut Negeri Paman Sam. Sistem ini terbukti, pada akhirnya hanya membuat mereka yang menganutnya menjadi sengsara dan menderita .(Washington Post)

    Sementara itu, menurut Krugman, peraih Nobel Ekonomi 2008,   ekonomi dunia akan mengalami resesi dalam kurun waktu yang lama. Dia mengakui bahwa krisis ini memang menakutkan,

    PernyAtaan senada diungkapkan Investor dunia, George Soros. Dia menilai krisis yang menerjang pasar finansial saat ini sangat serius. Krisis ini, menurutnya, lebih hebat dibanding krisis finansial lainnya sejak berakhirnya Perang Dunia kedua,. Soros menegaskan yang terancam resesi bukan hanya perekonomian Amerika Serikat saja, tapi juga Eropa.

    Karena kegawatan sistem moneter global tersebut, PM Inggris Gordon Brown mengatakan agar dibentuk arsitektur keuangan dunia baru menyerupai Bretton Woods yang muncul setelah Perang Dunia II. Bagi Eropa, krisis ini begitu dalam, AS harus siap dengan sistem baru itu, Christian de Boissieu, ekonom dan penasihat Presiden Sarkozy. mengatakan pembentukan sistem itu kemudian harus melibatkan pengganti Presiden Bush.
    Di samping itu, Kanselir Jerman Angela Merkel mendukung pertemuan G-8, yang juga dihadiri pemimpin China, Brasil, dan India di New York. Pertemuan itu mengusulkan pembentukan Bretton Woods II, seperti usulan Perancis.

    Sementara itu, negara-negara  kaya dan berkembang yang tergabung dalam Kelompok 20 (G-20) yang menguasai 85 persen perekonomian dunia, menyatakan, bahwa mereka  bertekad akan menggunakan segala cara untuk mengatasi krisis finansial yang mengguncang pasar dunia. untuk menjamin stabilitas dan berfungsinya dengan baik pasar financial.

    Para pemimpin Asia dan Eropa yang bertemu dalam Konferensi Tingkat Tinggi Ke-7 Asem di Beijing, China, pada 25 Oktober 2008  telah mnyepakati untuk segera melakukan perombakan sistem moneter dan finansial internasional secara menyeluruh dan efektif. Mereka juga menyerukan kepada Dana Moneter Internasional (IMF) agar segera mengambil peran utama dalam membantu negara-negara yang kesulitan keuangan.

    Usulan perombakan sistem moneter dan finansial internasional sebelumnya keras disuarakan Eropa. Kini suara itu makin menguat dengan dukungan dari negara-negara Asia melalui KTT Asem yang dihadiri para pemimpin dari 43 negara itu.

     

    Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menyatakan, ”Eropa berusaha menawarkan untuk keluar dari krisis keuangan yang di luar perkiraan. Ini adalah pertemuan tingkat tinggi yang sangat bermanfaat dan menjanjikan. Eropa dan Asia memiliki banyak hal yang bisa dilakukan bersama.

     

    Dengan menyatunya suara Eropa dan Asia itu, tinggal Amerika Serikat yang masih harus menetapkan pendirian. AS selama ini diketahui enggan merombak sistem finansialnya yang memiliki banyak kelemahan dalam hal kontrol. Alasannya, karena khawatir akan mengganggu asas perdagangan bebas.

    Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, pernah mengungkapkan, kapitalisme mutakhir yang digerakkan sektor keuangan (financially-driven capitalism) tumbuh pesat luar biasa sejak awal dasawarsa 1980-an. Transaksi di sektor keuangan meroket ratusan kali lipat dibandingkan dengan nilai perdagangan dunia

    .
    Di negara-negara maju, lalu lintas modal bebas bergerak praktis tanpa pembatasan. Sementara itu, makin banyak saja negara berkembang yang mengikuti jejak meliberalisasikan lalu lintas modal. Jika pada tahun 1970-an hanya 20 persen emerging market countries yang tergolong liberal dalam lalu lintas modal mereka, dewasa ini sudah meningkat dua kali lipat.

    Uang dan instrumen keuangan lainnya tak lagi sekadar sebagai penopang sektor produksi riil, melainkan telah menjelma sebagai komoditas perdagangan, diternakkan beranak pinak berlipat ganda dalam waktu singkat. Produk-produk keuangan dengan berbagai macam turunannya menghasilkan ekspansi kapitalisme dunia yang semu.

     

     

    Reformasi Moneter Indonesia

    Sudah menjadi keniscayaan bagi Indonesia untuk meredisign  kebijakan ekonomi moneter Indonesia karena sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini bila diteruskan  sangat berbahaya bagi kesejahteraan Indonesia di masa depan. Sistem kapitalisme senantiasa mengancam krisis demi krisis. Sistem kapitalisme itu sangat rawan dan gampang menciptakan krisis. Selain itu, sistem kapitalisme akan menciptakan kesenjangan pendapatan dan ketidak-adilan  ekonomi, sistem kapitalisme belum sepenuhnya berpihak pada kepentingan rakyat banyak

    Kegagalan ekonomi kapitalisme seharusnya dijadikan momentum dan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi sistem moneter secara bertahap Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma kebijakan pembangunan ekonomi nasional dari orientasi akumulasi kapital kepada orientasi keadilan sesuai dengan prinsip syariah Islam dan realitas sosial masyarakat yang bersumber dari akar sejarah bangsa.

    Tidak ada satu pihak pun yang memiliki akal sehat,  yang menolak urgensinya pendekatan makro dalam pembangunan ekonomi untuk keselamatan Negara di masa depan. Pendekatan makro diperlukan untuk menganalisis perilaku ekonomi masyarakat. Misalnya, mengapa banyak pengangguran dan kemiskinan ? Mengapa inflasi tinggi? Mengapa nilai kurs berfluktuasi, mengapa harga-harga saham berjatuhan, dsb.

    Selanjutnya,  Pemerintah diharapkan (didsak)  agar lebih akomodatif terhadap sistem  ekonomi syariah yang telah terbukti selama 40 tahun berkembang dengan pesat di saat krisis global datang mnelanda secara bertubi-tubi. Bahkan jika kita menarik  sejarah ke masa yang lebih lampau, tercatat bahwa selama 4000an tahun ekonomi dunia mengalami stabilitas, hal ini dikarenakan ekonomi syariah memiliki konsep yang unggul dalam mewujudkan stabilitas, kesejahteraan, dan inflasi serta keadilan / pemerataan.

    Selama ini sudah memang ada perbankan dan LKS, namun dalam skala yang lebih luas dan makro, pemerintah belum menjadikan ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi andalan. Jika Indonesia masih berkiblat ke Barat (Amerika dan Eropa) yang memiliki sistem ekonomi yang rapuh, maka yakinlah Indonesia pasti akan terancam krisis terus-menerus sepanjang sejarah. Kebijakan pemerintah baru-baru ini (Kontan, 25 April 2009), yang tidak menggunakan dollar dalam transaksi di Departemen Perhubugan patut diacungi jempol dan hendaknya regulasi ini diterapkan secara bertahap ke berbagai macam transkasi lainnya, dunia parawisata, dan sebagainya.

    Selanjutnya, pemerintah jangan setengah hati menerapkan bank-bank syariah, asuransi syariah, surat berharga syariah negara, pasar modal syariah, leasing, pegadaian syariah dan lembaga keuangan mikro syariah yang pro kepada sektor riil dan kemaslahatan ekonomi rakyat. Dengan krisis ini sesungguhnya Allah hendak mengingatkan betapa sistem ribawi itu ternyata merusak dan menghancurkan perekonomian umat manusia. Inilah makna firman Allah Luyuziiqahum ba’dhal lazi ‘amiluu la’allahum yarj’iuun. (QS.30 : 41) Maksudnya, krisis itu Kami timpakan kepada mereka (akibat ulah tangan mereka), supaya mereka kembali kepada sistem yang benar, sebuah sistem ilahiyah yang berasal dari Tuhan Allah. Itulah ekonomi syariah. Allahu Akbar.

    Indonesia, harus dengan cepat dan cerdas mengambil langkah-langkah drastis untuk mengatasi crisis global. Dampak ke sektor perbankan memang perlu diantisipasi secara prioritas, termasuk dampak psikologis, mengingat peranan sektor perbankan yang lebih besar serta trauma krisis moneter tahun 1997-1998.

    Tantangan yang dihadapi perekonomian Indonesia juga masih cukup besar termasuk masih adanya tekanan  inflasi dan nilai tukar (Indonesia adalah satu-satunya negara menaikkan suku bunga!!)  serta masih tingginya tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan.  Perlu ditambahkan bahwa target-target ekonomi makro yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) belum ada yang tercapai sesuai yang direncanankan.

    Kestabilan ekonomi termasuk kestabilan sektor keuangan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Oleh karena itu, langkah-langkah jangka pendek di atas, perlu segera disertai dengan langkah-langkah untuk membami dan meninggalkan sistem dan praktek trinitas setan sebagaimana diutarakan sebelumnya, apalagi bagi Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sistem keuangan dan perbankan syariah yang bebas dari riba, gharar dan maisir sebagaimana dimaksud dalam UU Perbankan Syariah yang telah diundangkan baru-baru ini, perlu segera dikembangkan secara serius. Namun sistem keuangan tanpa trinitas setan itu, juga belum dan masih perlu dilengkapi dengan nilai-nilai ekonomi islami lainnya. Sistem ekonomi islami telah secara tepat dijadikan acuan oleh para pendiri atau founding fathers kita sebagaimana tercantum dalam Mukadimah dan sejumlah pasal UUD 1945 yang pada pokoknya mengimpikan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur.

    Ajaran-ajaran Islam, seperti perintah untuk berlaku adil khususnya bagi para penguasa atau umara, perintah untuk membayar zakat, infak dan sedekah bagi orang yang berada, hukum waris, anjuran untuk hidup sederhana serta larangan hidup mewah dan berlebihan (prohibition of extravagance), perintah untuk membantu fakir miskin, penyelenggaraan baitul maal oleh negara dan lainnya, jelas sangat sarat dengan nilai-nilai keadilan (justice) termasuk keadilan distributif (distributive justice) dan nilai-nilai kemakmuran bersama (social welfare

     

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition