Tantangan Ekonomi Presiden Baru
Oleh : Agustianto
Slogan perubahan yang diusung oleh Susilo Bambang Yudoyono (SBY) telah berhasil secara signifikan menghantarkannya sebagai Presiden RI melalui Pemilu yang paling demokratis. Slogan perubahan yang diusung SBY, hendaknya tidak hanya perubahan politik, tetapi juga perubahan ekonomi, baik dalam tataran kebijakan maupun sistem ekonomi yang digunakan. Perubahan sektor ekonomi ini sangat penting, karena sektor inilah yang paling diharapkan masyarakat bawah untuk segera berubah ke arah yang lebih baik
Tantangan
Pemerintahan baru yang dipimpin SBY menumbuhkan harapan baru untuk perbaikan ekonomi Indonesia yang sudah tujuh tahun terpuruk. Namun, tak dapat dibantah, bahwa pemerintahan SBY menghadapi tantangan dan problem ekonomi yang sangat rumit, sebagai sisa dan peninggalan rezim di masa pemerintahan yang lalu.
Problem-problem tersebut antara lain persoalan utang yang mulai berjatuhan tempo, ancaman terhadap kesinambungan fiskal dan pembiayaan pembangunan, buruknya infrastruktur, rendahnya investasi dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, terpuruknya sektor riel, menurunnya daya saing, serta akan masih meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan pada tahun-tahun mendatang
Periode SBY-Kalla merupakan periode paling kritis bagi keuangan negara, karena pada tahun-tahun itulah utang pemerintah akan jatuh tempo dengan nilai lebih dari Rp 500 Triliun. Jumlah uang jatuh tempo mulai tahun 2004 itu meliputi obligasi rekap dan bunganya senilai Rp 379 triliun dan Surat Utang Negara (SUN) pada Bank Indonesia senilai Rp 137 triliun. Total utang negara saat ini sekitar Rp 1200 triliun. Perinciannya utang luar negeri Rp 580 triliun dan utang dalam negeri sekitar Rp 620 trilun. Untuk membayar bunga saja pemerintah tahun ini harus menyisihkan sekitar Rp 60 Triliun dari APBN.
Menurut data Bank Dunia, total utang pemerintah per Juni 2003, mencapai Rp 130,7 milyar dolar AS atau turun 13,4 % dibandingkan dengan angka puncaknya pada tahun 1998, yakni 150,9 milyar dolar AS. Jumlah yang dialokasikan pemerintah untuk membayar hutang bunga, membuat ekonomi Indonesia tercekik dan akan mengalami bottleneck yang parah dalam beberapa tahun ke depan.
APBN kita masih berada pada titik yang kritis, sebab faktor eksternal seperti merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan naiknya harga minyak, bisa membuat beban APBN dan defisit APBN kembali membengkak, akibat ikut membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan pengeluaran pemerintah yang terkait dengan luar negeri.
Oleh karena itu, kesinambungan fiskal ke depan sangat tergantung kepada kelihaian pemerintahan SBY memenej utang, mereformasi sektor penerimaannya dan memangkas pengeluaran yang tidak perlu. Memangkas pengeluaran hendaknya didasarkan pada tingkat kebutuhan dasar dengan menggunakan teori maqashid syari’ah sebagaimana yang dirumuskan Oleh Asy-Syatibi dan Al-Ghazali. Mereka membagi kebutuhan manusia pada tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat dan tahsinat.Kebutuhan pertama harus didahulukan dari kebutuhan kedua. Kebutuhan pertama bersifat mutlak dan dharurat (mesti), seperti pangan, sandang, papan dan pendidikan. Artinya kebutuhan paling dasar rakyat Indonesia harus didahulukan dalam pengeluaran APBN. Alokasi-alikasi lainnya di luar kebutuhan dasar harus dipangkas, kecuali kebutuhan dasar rakyat telah terpenuhi. Apalagi kebutuhan tahsinat yang masih banyak menghiasi pengeluaran APBN, harus dipangkas lebih dahulu, seperti pembangunan proyek-proyek yang bernuansa mercusuar.
Problem ekonomi lainnya yang dihadapi pemerintahakan SBY-Kalla adalah masih terpuruknya sektor riil. Menurut LPEM, sebagai akibat krisis ekonomi dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan sektor riil, terus mengalami penurunan, yakni dari rata-rata 9 % per tahun sebelum krisis menjadi 5 % pasca krisis. Bahkan sektor industri pengolahan hanya 2,3 % tahun 2003 dan pada tahun 2004 masih juga rendah yaitu 4,1 %.
Penurunan pertumbuhan sektor industri ini, juga diikuti oleh merosotnya secara drastis tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor manufaktur. Selama periode 1988-1997, pertumbuhan tenaga kerja di sektor ini mencapai 7,1 % setahun, namun setelah krisis sampai 2003, turun drastis menjadi 1,9 % per tahun. Bahkan untuk tahun 2002 penyerapannya hanya 0,23 %.
Perkiraan LPEM, jumlah angkatan kerja tahun 2004 sekitar 100 juta orang dengan pertumbuhan pertahun 2 % – 2,5 % setahun, yang berarti hanya bertambah 2 juta s/d 2,5 juta orang pertahun. Dari pengalaman Indonesia beberapa tahun terakhir setiap peningkatan 1 % pertumbuhan ekonomi, hanya mampu menyerap tenaga kerja 200.000 s/d 250.000. Ini berarti, untuk bisa mengimbangi pertumbuhan ekonomi 13-14 % setahun, angka ini mustahil dicapai oleh perekonomian Indonesia yang sedang dalam proses pemulihan. Tahun 2004 ini saja, hanya sekitar 4,5 %.
Para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi di atas 7 % belum akan bisa dicapai hingga akhir tahun 2010. Akibatnya, angka pengangguran diperkirakan masih akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan, kecuali ada terobosan besar dari pemerintah.
Tingginya angka pengangguran juga menyebabkan meningkatnya angka kemiskinan dan memunculkan potensi kerawanan sosial. Kemiskinan tidak saja berada di desa-desa, tetapi juga di kota-kota. Sekitar 65-70 % penduduk miskin ini tinggal di pedesaan dan 2/3 penduduk desa itu tergantung pada sektor pertanian yang selama ini termarginalkan. Kemampuan pemerintah SBY-Kalla untuk membawa bangsa ini keluar dari perangkap pertumbuhan ekonomi yang rendah menjadi kunci untuk mengatasi pengangguran dan kemiskinan.
Mundurnya kinerja industri manufaktur juga diungkapkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Burhanuddin Abdullah. Menurutnya, dari 30 komoditas ekspor yang dimiliki Indonesia, hanya 8 komoditas yang mencatat pertumbuhan positif pada tahun 2003. Dari 8 komoditas itu, tujuh di antaranya komoditas ekspor primer pertanian dan pertambangan. Ini cerminan kemunduran ekonomi yang disebut dengan fenomena deindustrialisasi. Bahkan yang cukup memprihatinkan, Menurut LPEM, adanya kenaikan ekspor Indonesia, bukan karena daya saing (keunggulan komparatif), tapi karena faktor permintaan (demand). Dalam catatan Bank Dunia pertumbuhan ekspor Indonesia 1996-2003 relatif lambat. Jika Korea Selatan mampu meningkatan ekspor 114 %, Thailand 70 % dan Malaysia 43 %, tetapi Indonesia hanya 10 %.
Itulah sejumlah problem krusial yang dihadapi oleh pemerintahan SBY-Kalla. Untuk menghadapi problem yang rumit tersebut, maka kabinet ekonomi SBY, haruslah benar-benar orang yang profesional, cerdas, memiliki integritas, komitmen yang kuat pada pemberantasan korupsi dan memiliki kepedulian yang tinggi pada ekonomi kerakyatan. Selain itu, perlu dicatat, bahwa pemerintahan SBY hampir tidak mungkin dalam waktu singkat menyelesaikan problem ekonomi yang rumit tersebut, karena itu masyarakat tidak bisa berharap pemulihan ekonomi dengan segera terwujud.
Peluang Ekonomi Syari’ah
Salah satu solusi penting yang harus diperhatikan pemerintahan SBY-Kalla dalam merecovery ekonomi Indonesia adalah penerapan ekonomi syari’ah. Menurut Sri Mulyani, ekonomi syari’ah memiliki komitmen yang kuat pada penegakan nilai-nilai moral dalam kebijakan dan aktivitas ekonomi. Bahkan lebih jauh, ekonomi syari’ah yang menekankan keadilan mengajarkan konsep yang unggul dalam menghadapi gejolak moneter dibanding sistem konvensional. Fakta ini telah diakui oleh banyak pakar ekonomi global, seperti Rodney Shakespeare (United Kingdom), Volker Nienhaus (Jerman), dsb.
Ke depan pemerintahan SBY-Kalla perlu memberikan perhatian besar kepada sistem ekonomi Islam yang telah terbukti ampuh dan lebih resisten di masa krisis. Sistem ekonomi Islam yang diwakili lembaga perbankan syari’ah telah menunjukkan ketangguhannya bisa bertahan dan bahkan semakin berkembang di masa-masa yang sangat sulit, sementara bank-bank raksasa mengalami keterpurukan hebat yang berakhir pada likuidasi, sebagian bank konvensional lainnya terpaksa direkap oleh pemerintah dalam jumlah besar Rp 650 triliun. Setiap tahun APBN kita dikuras lagi oleh keperluan membayar bunga obligasi rekap tersebut. Dana APBN yang seharusnya diutamakan untuk pengentasan kemiskinan rakyat, tetapi justru digunakan untuk membantu bank-bank konvensional. Inilah faktanya, kalau kita masih mempertahakan sistem ekonomi kapitalisme yang ribawi.
Selama pemerintahan Megawati, sistem ekonomi dan keuangan syari’ah sangat kurang mendapat tempat yang memungkinkannya untuk berkembang. Ekonomi Islam tidak menjadi perhatiannya. Ketika Masyarakat Ekonomi Syari’ah meminta Presiden Megawati untuk mencanangkan gerakan ekonomi syari’ah Nasional, beliau melalui timnya tidak bersedia melakukannya Padahal sistem ini mempunyai banyak keunggulan untuk diterapkan, Ekonomi Islam bagaikaan pohon tumbuhan yang bagus dan potensial, tapi dibiarkan saja, tidak dipupuk dan disiram. Akibatnya, pertumbuhannya sangat lambat, karena kurang mendapat dukungan penuh dari pemerintah dan pihak-pihak yang berkompeten, seperti Menteri Keuangan dan Menteri yang terkait..
Keberhasilan Malaysia mengembangkan ekonomi Islam secara signifikan dan menjadi teladan dunia internasional, adalah disebabkan karena kebijakan Mahathir yang secara serius mengembangkan ekonomi Islam. Mereka tampil sebagai pelopor kebangkitan ekonomi Islam, dengan kebijakan yang sungguh-sungguh membangun kekuatan ekonomi berdasarkan prinsip syari’ah. Indonesia yang jauh lebih dulu merdeka dan menentukan nasibnya sendiri, kini tertinggal jauh dari Malaysia.
Kebijakan-kebijakan Mahathir dan juga Anwar Ibrahim ketika itu dengan sistem syuri’ah, telah mampu mengangkat ekonomi Malaysia setara dengan Singapura. Tanpa kebijakan mereka, tentu tidak mungkin ekonomi Islam terangkat seperti sekarang, tanpa kebijakan mereka tidak mungkin terjadi perubahan pendapatan masyarakat Islam secara signifikan. Mereka bukan saja berhasil membangun perbankan, asuransi, pasar modal, tabungan haji dan lembaga keuagan lainnya secara sistem syari’ah, tetapi juga telah mampu membangun peradaban ekonomi baik mikro maupun makro dengan didasari prinsip nilai-nilai Islami.
Aplikasi ekonomi Islam bukanlah untuk kepentingan ummat Islam saja. Penilaian sektarianisme bagi penerapan ekonomi Islam seperti itu sangat keliru, sebab ekonomi Islam yang konsen pada penegakan prinsip keadilan dan membawa rahmat untuk semua orang tidak diperuntukkan bagi ummat Islam saja, dan karena itu ekonomi Islam bersifat inklusif.
Peluang ummat Islam untuk membumikan ekonomi Islam di Indonesia di masa pemerintahan SBY-Kalla cukup besar. Apalagi duet SBY-Kalla didukung oleh Partai Keadilan Sejahtera yang sangat peduli pada keadilan dan kesejahteraan yang sangat consern mendukung ekonomi syari’ah. Selain itu, salah seorang tokoh yang menjadi tim suskes SBY dan pembela SBY adalah Ketua Dewan Ekonomi Syari’ah Nasional, yaitu K.H.Ma’ruf Amin, seorang yang paling komit pada ekonomi syari’ah. Seandainya bangsa Indonesia khususnya ummat Islam tidak mampu menggunakan peluang itu, tentu ummat ini akan kehilangan kesempatan untuk berjuang melalui salah satu mekanisme, yaitu lembaga formal kenegaraan.
Untuk membumikan ekonomi syari’ah itu, kita berharap kepada pemerintahan SBY-Kalla agar keanggotaan Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang akan dibentuk SBY, ada yang memiliki komitmen pada pengembangan ekonomi syari’ah, sebab praktek perekonomian di Indonesia, terutama yang berkaitan dengan lembaga keuangan sudah mengadopsi dual system, yakni konvensional dan sistem ekonomi syari’ah. Pemerintah harus melihat ekonomi syari’ah dalam konteks penyelamatan ekonomi Nasional. Dengan adanya wakil ekonomi syari’ah di DEN, maka sosialisasi perbankan syari’ah ekonomi syari’ah akan semakin baik (Ditulis tahun 2004, ketika SBY terpilih pertama kalinya sbg Presiden RI).
0