• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Pemberdayaan Usaha Kecil

    0

    Posted on : 13-03-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Microfinance

    Agustianto

    Pada satu dasarwasa terakhir ini, kata perberdayaan sering muncul kepermukaan, baik dalam tulisan-tulisan, maupun pidato-pidato di tengah masyarakat. Kata ini sebenarnya terjemahan dari empowerment. Pada mulanya, kata ini diterjemahkan dengan kata pemampuan. Tetapi terasa kurang pas. Kemudian dipakai kata penguatan, juga masih kurang mengena. Setelah itu ditemukanlah sebuah kata yang lebih mengena yakni kata pemberdayaan. Selanjutnya kata ini menjadi populer dalam masyarakat, termasuk dalam gerakan kaum perempuan.

    Sebenarnya istilah empowerment muncul dalam konteks pengembangan masyarakat dan merupakan pendekatan yang menyeluruh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat  akar rumput. Pendekatan ini merupakan kombinasi dari pendekatan dari bawah yang memperkuat masyarakat untuk mengatasi  masalahnya serta penciptaan  iklim yang kondusif, sehingga kekuatan masyarakat bisa terealisasikan.

    Selain mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat, empowerment juga memperhatikan masalah makro seperti peraturan, fasilitas dan pembelaan. Dengan kata lain, empowerment merupakan gabungan pendekatan kebutuhan praktis dan kebutuhan strategis. Oleh karena itu, pendekatan empowerment atau pemberdayaan harus disertai pemihakan yang konsisten dan tulus.

    Tulisan ini akan membicarakan pemberdayaan usaha kecil dalam era reformasi ekonomi. Kajian ini akan memaparkan juga mengapa usaha kecil perlu diberdayakan dan bagaimana cara pemberdayaannya.

    Potensi Usaha Kecil

    Usaha kecil sebagai bagian integral dunia usaha, merupakan kegiatan ekonomi yang mempunyai kedudukan, potensi dan peran yang strategis mewujudkan struktur perekonomian nasional berdasarkan demokrasi ekonomi.

    Usaha kecil merupakan sarana pemerataan aset nasional yang berkeadilan dan paling efektif dalam mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Jadi, usaha kecil sesungguhnya merupakan kekuatan pembangunan masyarakat.

    Peran usaha kecil dalam perekonomian cukup diperhitungkan, bukan saja terhadap pendapatan nasional, tetapi juga sebagai lahan lapangan kerja yang cukup luas. Karena itu, menjadi keharusan bagi pemerintah untuk memberdayakan usaha kecil secara sungguh-sungguh lewal political will yang kuat.

    Usaha kecil perlu diberdayakan dalam memanfaatkan peluang usaha dan menjawab perkembangan ekonomi di masa  depan. Strategi memanfaatkan peluang (opportunity) dan menjawab tantangan (challenge) melalui pemberdayaan usaha kecil, boleh dibilang masih merupakan hal yang baru  dalam perekonomian nasional.

    Memang komitmen dan political will pemerintah akhir-akhir ini dalam memajukan usaha kecil patut diacungi jempol. Pemerintah melalui outletnya telah dan siap mengucurkan dana untuk usaha kecil. Tapi pada realitas pelaksanaan kebijikan yang digulirkan, tidak sampai pada sasaran yang semestinya, yaitu menguat dan mandirinya sektor usaha kecil dan koperasi.

    Masih banyak kendala yang dihadapi usaha kecil, baik keberpihakan perbankan kepada usaha kecil yang masih rendah maupun  masih minimnya manajemen, mutu produksi dan pemasaran. Tidak kalah pentingnya adalah perilaku masyarakat dan pemerintah orde baru sendiri yang cenderung memarginalkan pengusaha kecil.

    Meskipun demikian, secara kuantitatif, masih ada secuil perkembangan yang menggembirakan. Menurut data BPS 1995, jumlah pengusaha kecil 34,5 juta dan tahun 1996 melonjak menjadi 38,9 juta. Ini terbagi pada sektor : sektor pertanian  berjumlah 22,5 juta (57,9%), sektor industri pengolahan 2,7 juta (7,06 %), sektor perdagangan, rumah makan dan hotel 9,5 juta (24%), keuangan dan asuransi 0,6% dan sisanya bergerak di bidang lain.

    Data ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengusaha kecil masih berada pada sektor pertanian. Dengan pertambahan penduduk dan keterbatasan lahan, maka usaha sektor pertanian semakin mendesak. Kesempatan kerja di sektor ini semakin sempit. Bahkan di pedesaan terjadi polarisasi, di mana pemilikan tanah semakin senjang. Petani kecil dan petani tanpa lahan semakin banyak jumlahnya. Oleh karena itu mereka mencoba mengatasi masalah dengan berusaha di sektor non pertanian, seperti perdagangan, industri rumah tangga dan sektor jasa. Karena keterbatasan pengetahuan, keterampilan dan modal, maka mereka memasuki sektor modern memasuki sektor modern tersebur berada di bagian paling bawah dari struktur ekonomi.

    Ketimpangan Omzet

    Yang dimaksudkan dengan usaha kecil, sebagaimana yang terdapat dalam UU No.9/1995 ialah kegiatan ekonomi yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, tidak termasuk tanah dan  bangunan atau pengusaha yang memiliki hasil penjualan 1 milyard setahun.

    Data statistik menunjukkan adanya ketimpangan omzet dalam usaha kecil itu sendiri. Jumlah pengusaha kecil yang beromzet Rp. 50 juta sampai 1 milyard hanya 2,4%. Sementara pengusaha kecil yang beromzet di bawah Rp. 50 juta (97,6%), suatu perbandingan yang mencolok.

    Lebih parah lagi, bahwa data tersebut hanya mengklasifikasikan omzet pengusaha di bawah Rp. 50 juta dan di atas Rp. 50 juta. Padalah di antara yang di bawah 50 juta itu, yang paling banyak  adalah mereka yang beromzet Rp. 5 Juta. Bahkan sangat banyak pengusaha kecil beromzet di bawah Rp. 1 juta, dan mungkin saja lebih banyak lagi yang di bawah Rp. 500.000.

    Dengan demikian sebenarnya masih banyak pengusaha kecil yang berada dalam kemiskinan. Memang, mereka tidak lagi kelaparan, tetapi belum mampu hidup layak. Mereka masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup yang pantas, membeli makanan yang cukup bergizi, memenuhi kebutuhan pendidikan, pakaian, perumahan dan kesehatan.

    Berdasarkan realitas di atas, maka menjadi keniscayaan bagi kita untuk mereformasi dan mendekonstruksi paradigma dan konsep pembangunan yang berlangsung selama ini, untuk selanjutnya merekonstruksi paradigma baru pembangunan yang bernuansa kerakyatan secara adil dan merata.

    Pengembangan kegiatan ekonomi rakyat harus benar-benar diwujudkan, terutama masyarakat bawah kecil yang memiliki modal paling minim dari modal usaha kecil sendiri. Karena itu perlu dirancang program yang berkelanjutan untuk menciptakan kemandirian masyarakat. Maka pengembangan kegiatan ekonomi masyarakat perlu dilakukan secara bertahap, terpadu dan berkesinambungan yang didasarkan kepada kemandirian, yaitu kemampuan masyarakat untuk melakukan kegiatan produktif sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi.

    Upaya meningkatkat kemampuan menghasilkan nilai tambah harus diawali dengan hal-hal berikut :

    1. Adanya akses terhadap sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, berupa keterampilan.

    2. Adanya akses terhadap teknologi, yaitu suatu kegiatan dengan cara dan alat yang lebih baik dan efisien.

    3. Adanya akses terhadap pasar, di mana produk yang dihasilkan harus dapat dijual untuk mendapatkan nilai tambah.

     

    Menciptakan Iklim Kondusif

    Untuk memberdayakan pengusaha kecil, terutama pengusaha bawah dan kecil yang memiliki modal sekitar Rp. 5 juta, maka penciptaan iklim kondusif dari pemerintah sudah mulai membuka kran ke arah itu. UU No.9/1995 tentang usaha kecil pada pasal 8 menyatakan bahwa pemerintah akan menumbuhkan iklim usaha yang kondusif dengan menetapkan peraturan perundangan-undangan dan kebijaksanaan untuk :

    1. Meningkatkan kerjasama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi, asosiasi dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi tawar usaha kecil.

    2. Mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, olopologi, dan monopsoni yang merugikan usaha kecil.

    3. Mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh orang-perorang atau kelompok tertentu yang merugikan usaha kecil.

    Menurut Dawam Raharjo, ada tiga skenario yang dapat dibuat untuk mengembangkan perekonomian rakyat, pertama, mengintregasikab usaha-usaha kecil diberbagai sektor, khususnya pertanian, ke dalam koperasi yang telah menerapkan manajemen modern. Kedua, memperkuat hubungan keterkaitan dan kemitraan khususnya antara usaha besar dan usaha kecil yang didukung oleh fasilitas perbankan. Dalam hal ini, pihak perbankan harus mempermudah proses pengucuran dana kepada koperasi. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa bank masih lebih menyukai penyaluran kredit kepada usaha besar yang sedang berjalan daripada mencari usaha baru yang belum tersentuh lembaga perbankan. Di samping biaya mengurusi kredit cukup mahal. Tidak semua nasabah layak mendapat kredit, pengusaha kecil sudah banyak bank-bank mindedness, namun tak sedikit pengusaha kecil yang tak mampu menyiapkan persyaratan kredit secara lengkap. Pada era reformasi ekonomi ini, kita berharap banyak agar political will pemerintah dengan paradigma baru “ekonomi kerakyatan” benar-benar terwujud, sehingga rakyat, khususnya pengusaha kecil menjadi berdaya dan mandiri.

    Ketiga, menciptakan usaha-usaha kecil yang mandiri dengan usaha yang semakin besar dan mampu berhubungan langsung dengan pasar bebas, atau pasar global dan mampu pula mengakses sumber daya, seperti informasi, dna, teknologi, manajemen, sumber daya manusia, sistem hukum dan juga politik.

    Dalam skenario pertama di atas, usaha kecil bisa menjadi kekuatan ekonomi tersendiri. Melalui koperasi bisa dikembangkan usaha-usaha kecil dan di masa depan dapat pula dikembangkan usaha menengah dan besar, misalnya industri permbuatan bahan baku, industri pengolahan hasil pertanian, dan pertambangan atau usaha pemasaran.

    Dalam skenario kedua, usaha kecil, khususnya industri kecil dapat berkembang menjadi usaha kecil modern (modern small scale industry), karena harus melayani kebutuhan industri kecil tersebut bisa bertindak sebagai individu, namun bisa pula  bergabung dalam koperasi. Dalam kemitraan tersebut, industri kecil tidak perlu berkonfrontasi atau bersaing dengan industri besar, melainkan membentuk sinergi.

    Dalam skenario ketiga, usaha kecil tidak boleh menjadi usaha lemah, bahkan memiliki keunggulan komparatif, karena skalanya yang kecil. Usaha kecil semacam ini akan tetap ada dalam perkembangan ekonomi manapun.

     

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition