• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Prinsip dan Pola Konsumsi dalam Islam

    2

    Posted on : 17-02-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Pendahuluan

    Al Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, baik aqidah, akhlak, ibadah maupun muamalah.  Oleh karenanya berbagai tema telah dibicarakan oleh al-Qur’an, termasuk persoalan ekonomi.

    Seperti dimaklumi, bahwa salah satu persoalan penting dalam kajian ekonomi Islam ialah masalah konsumsi. Konsumsi  berperan sebagai elan vital atau pilar dalam kegiatan ekonomi seseorang (individu), perusahaan maupun negara. Konsumsi adalah bagian akhir dari kegiatan ekonomi, setelah produksi dan distribusi, karena barang dan jasa yang diproduksi hanya untuk dikonsumsi.

    Kajian Islam tentang konsumsi sangat penting, agar seseorang berhati-hati dalam menggunakan kekayaan atau berbelanja. Suatu negara  mungkin memiliki kekayaan melimpah, tetapi apabila kekayaan tersebut tidak diatur pemanfaatannya dengan baik dan ukuran maslahah, maka kesejahteraan (welfare) akan mengalami kegagalan. Jadi yang terpenting dalam hal ini adalah cara penggunaan yang harus diarahkan pada pilihan-pilihan (preferensi)  yang mengandung maslahah (baik dan bermanfaat), agar kekayaan tersebut dimanfaatkan pada jalan yang sebaik-baiknya untuk kemakmuran dan kemaslahatan rakyat secara menyeluruh. Demikian juga halnya dalam ekonomi individu, yang perlu diperhatikan adalah cara pemanfaatan kekayaan, barang dan jasa serta membuat pilihan-pilihan (preferensi) dalam mengkonsumsi barang dan jasa sesesuatu.

    Al-Quran dan hadits memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat jelas tentang konsumsi, supaya perilaku konsumsi manusia menjadi terarah dan agar manusia dijauhkan dari sifat yang hina karena perilaku konsumsinya. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan Allah dan RasulNya akan menjamin kehiduan manusia yang adil dan sejahtera deunia dan akhirat (falah).

    Banyak ayat dan hadits yang membicarakan pola dan prinsip konsumsi dalam Islam, antara lain, namun yang menjadi ayat utama dalam makalah ini adalah surah al-A’raf ayat : 31. Ayat-ayat dan hadits lain tentang konsumsi juga dibahas dalam tulisan ini, agar kajian tentang konsumsi ini lebih utuh dan komprehensif.

     

    Pengertian dan Tujuan Konsumsi

    Pengertian konsumsi secara umum diformulasikan dengan : ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dsb”.

    Berangkat dari pengertian ini, maka dapat dipahami bahwa konsumsi sebenarnya tidak identik dengan makan dan minum dalam istilah teknis sehari-hari; akan tetapi juga meliputi pemanfaatan atau pendayagunaan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia. Namun, karena yang paling penting dan umum dikenal masyarakat luas tentang aktivitas konsumsi adalah makan dan minum, maka tidaklah mengherankan jika konsumsi sering diidentikkan dengan makan dan minum.

    Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab)

    Sebagaimana disebut di atas, banyak ayat dan hadits yang berbicara tentang konsumsi, di antaranya Surat al A’raf ayat 31. Ayat ini tidak saja membicarakan konsumsi makanan dan minuman, tetapi juga pakaian. Bahkan pada ayat selanjutnya (ayat 33) dibicarakan  tentang  perhiasan..

     

    يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَيُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ {31} قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

     

    “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS 7:31)

    Zhinatun : pada خُذُوا زِينَتَكُمْ berarti perhiasan. Al Maraghi mengatakan bahwa zinah dalam ayat ini berarti segala sesuatu yang memperindah sesuatu atau seseorang. Kata zinah dalam berbagai bentuknya terulang  dalam al Qur’an sebanyak 46 kali

    .

    وَكُلُوا

    Berasal dari kata Akala- Ya’kulu yang berarti makan. Dalam Al-Quran kata akala dan bentuk derivatifnya terulang sebanyak 109 kali.

    اشْرَبُوا

    Berasal dari kata Syariba – yasyrabu, yang berarti minum. Dalam al-Quran kata syariba dalam berbagai bentuknya terulang sam[ai 39 kali.

    وَلاَتُسْرِفُوا

    Artinya, jangan berlebih-lebihan. Kata ini berasal dari kata Sarafa – Yasrifu yang artinya berlebih-lebihan atau melampaui batas. Dalam al-quran kata ini diulang sebanyak 23 kali..

    Dalam berbagai riwayat dijelaskan bahwa ayat ini turun ketika beberapa orang sahabat Nabi Muhammad Saw melhat dan ingin meniru kelompok atau kaum al-Humnas, yaitu salah satu kelompok dalam Quraisy. Kaum ini, sangatlah menggebu-gebu dalam menjalankan agama, sehingga  ketika thawaf mereka mengharuskan pakaian bagus dan baru. Maka ketika pakaian baru dan bagus tersebut tidak ada, mereka lebih baik berthawaf dengan telanjang atau tidak melakukan thawaf sama sekali. Maka turunlah ayat ini untuk menegur mereka yang bertelanjang dalam berthawaf.

    Ayat ini memiliki munasabah dengan ayat yang terdapat sebelumnya. Munasabah dngan ayat seelumnya sangat erat, yaitu, jika ayat sebelumnya menjelasskan bahwa Allah memerintahkan al-qisth (adil) dan meliuruskan wajah di setiap masjid, maka ayat ini mengajak anak Adam untuk memakai pakaian yang indah, minimal dapat menutup aurat setiap memasuki dan berada di masjid,  baik masjid dalam arti bangunan khusus, maupun masjid dalanm arti umum, yakni seluruh muka bumi Allah ini.

    Ayat ini juga menganjurkan makan makanan yang enak, halal, bermanfaat dan bertgizi, serta mengizinkan minum apapun selama tidak menimbulkan dan tidak merusak badan dan jiwa. Hal teroenting dari bayat ini adalah larangan boros dan berlebihan.

    Ayat ini juga mempunyai munasabah dengan ayat setelahnya, di mana pada ayat 32 dijelaskan tentang tidak boleh mengharamkan sesuatu yang telah dihalakan oleh Allah baik dalam hal pakaian, makanan maupun minuman, Di samping itu, ayat ini juga menjelaskan perintah Allah untuk menggunakan rizki yang baik-baik dan proporsional.

    Penjelasan Ayat

    يَابَنِي ءَادَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

    Dalam ayat ini Allah Swt menjelaskan dan memrintahkan untuk memakai pakaian dengan batasan-batasannya, yaitu bahwa batas pakaian adalah menutup aurat. Dalam beribadah tidak ada keharusan yang mewajibkan seseorang memakai pakaian yang bagus dan baru. Namun, perintah memakai pakaian bagus dan indah tersebut tidaklah wajib, tetapi merupakan perbuatan sunnat. Batas pakaian yang dianjurkan agama adalah pakaian yang dapat menutup aurat, baik itu pakaian bagi laki-laki ataupun perempuan.

     

    وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَتُسْرِفُوا

    Dalam ayat ini secara eksplisit Allah memerintahkan makan dan minum secara wajar, tidak berlebihan atau melampaui batas.  Berlebih-lebihan atau melampaui batas dalam menggunakan (mengkonsumsi) suatu kebutuhan sangat dicela oleh Islam. Dengan demikian, kesederhanaan menjadi elan vital ajaran Islam dalam perilaku konsumsi.

    Kebutuhan manusia tentu tidak sebatas makan, minum, pakaian, perumahan, tetapi juga kenderaan, sarana komunikasi dan alat-alat teknologilainnya, seperti komputer, note book, alat rumah tangga dan lain-lain  yang mempermudah kehidupan manusia. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut, manusia seringkali tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dinikmati (dikonsumsi). Manusia seringkali dihinggapi penyakit tamak. Dalam konteks ini Nabi Muhammad Saw bersabda :

     

    ”Seandainya seseorang mempunyai dua bukit gunung berupa emas, dia akan mengharap mempunyai tiga gunung, dst. Tidak ada yang bisa menghentikan keserakahannya  kecuali tanah menyumbat mulutnya (mati) (H.R.Bukjhari) dan Muslim).

    Jika manusia telah mendapatkan dan menikmati sesuatu, maka ia ingin mendapatkan yang satu lainnya. Inilah karakter manusia materialis yang tidak disetujui Islam. Karakter ini dalam ilmu ekonomi disebut homo-economicus. Konsep ini bertentangan dengan  etika ekonomi Islam. Islam mengajarkan bahwa manusia adalah homo-islamicus, bukan homo –economicus.

    Selanjutnya yang harus diperhatikan bahwa produk atau segala sesuatu yang dikonsumsi haruslah halal dan thayyib.

    Firman Allah dalam surah Al-Baqarah : 168

     

    يَاأَيُّهاَ النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي اْلأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

    “Hai manusia makanlah  yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikiuti langkah-langkah syetan, karena sesunguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.”

    Allah juga melarang memakan dan menggunakan barang-barang yang keji dan buruk (khabaist)

    وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

    “Dia menghalalkan bagi mereka segala sesuatu yang baik dan mengharamkan segala yang keji (kotor)” (QS. Al-A’raf : 157)

    Dalam ayat yang lain  (QS. 2 : 173)  Allah berfirman,

    إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَآأُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللهَ غَفُورُُ رَّحِيمٌ

    “Sesungguhnya Allah  mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, binatang (yang ketika disembelih) disebut nama selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun dan maha penyayang”.

    Dari ayat- ayat di atas, jelas bahwa Islam mengharamkan kaum muslimin menkonsumsi makanan yang haram dan keji (kotor). Mengkonsumsi makanan yang haram berdampak buruk bagi keimanan, akhlak dan kesehatan. Makanan halal akan berdamak kepada keimanan seseorang, karena seseorang yang mengkonsumsi makanan haram, pastilah dia teman dari syetan dan syetan merupakan musuh utama umat manusia.

    Makanan yang buruk (keji/kotor), akan merusak jasmani dan kesehatan orang yang mengkonsumsinya, seperti bangkai, babi, miras, narkoba, makanan yang mengandung gelatin babi, formalain dan sebagainya. Barang-barang halal yang dikonsumsi bukan saja makanan, minuman dan pakaian, tetapi juga alat kecantikan (konmetik) yang tidak jelas kehalalannya. Kosmetik dewasa ini seringkali mengandung gelatin dan plasenta.

    Dr. Muhammad Mahmud Hijazzi menjelaskan bahwa setiap insan hendaklah mewaspadai syetan yang akan menanggung kaum muslimin. Dia akan memperindah keburukan, sehingga menjadi menarik bagi manusia. Syetan itu tidak pernah menyuruh kepada kebaikan dan maslahah, justru ia menyuruh dan menggoda kaum muslimin untuk berbuat keburukan dan mafsadah.

    Al-Quran maupun hadits tidak merinci secara detail tentang kriteria –kriteria kehalanan makanan, minuman, pakaian dan kebutuhan insan lainnya. Hal ini artinya, diserahkan kepada manusia untuk berijtihad dengan mengadakan penelitian ilmiah dan mendalam tentang kriteriak-kriteria produk halal dan haram, sesuai dengan pendekatan ilmu pengetahuan, seperti, makanan dan minuman yang mengandung mafsadah dan mudharat, seperti rokok adalah haram, sedangkan  makanan dan minuman yang bergizi, protein sangat diajurkan.

    Demikian pula, Allah melarang makanan dan minuman yang buruk, misalnya minuman atau makanan yang memabukkan, dan makanan yang memiliki unsur keracunan yang merusak seperti formalin dan zat pewarna yang merusak kesehatan. Makanan dan minuman tersebut tidak layak dikonsumsi dan status hukum mengkonsumsinya  diharamkan.

    Tuntunan Islam dalam mengkonsumsi makanan dan minuman adalah mencari yang ma’ruf dan baik. Dalam mencari barang yang hendak dikonsumsi, setiap insan harus menjauhi godaan-godaan syetan yang senantiasa bermaksud menjerumuskan manusia, seperti korupsi, pungli, mencuri, dsb.

    Selain itu, al-Quran mengingatkan agar manusia tidak hanyut  dan tenggelam dalam kehidupan yang materialistis dan hedonistis. Akan tetapi hal itu bukan berarti, bahwa Islam melarang manusia untuk menikmati kehidupan dunia ini. Sebagai anugerah Allah, Dia memberikan segalanya kepada manusia, berupa pakaian, minuman, makanan, perumahan, kenderaan, alat komunikasi, alat rumah tangga dan sebagainya. Yang penting dicatat adalah Allah mengingatkan untuk tidak berbuat boros dan berlebih-lebihan. Termasuk dalam israf dan berlebihan-lebihan adalah aktualisasi watak manusia yang terus ingin menukar dan mengganti alat yang dikonsumsi, padahal fungsi dan kualitas barang yang lama masih bagus. Masalah model baru dalam Islam menjadi isu  yang penting dalam konsumsi Islam.

    Tidak israf merupakan tuntutan yang harus disesuaikan dengan kondisi seseorang, karena kadar yang dinilai cukup bagi seseorang, belum tentu cukup bagi orang lain. Boleh jadi, israf pada seseorang, tetapi tidak israf bagi orang lain. Misalnya,

    Maka yang lebih tepat menfasirkan tidak israf adalah berbuat proporsional dalam berbagai hal, baik  makan, minum, pakaian, alat rumah tangga, dsb

    Nabi Muhammad Saw bersabda,

     

    ما ملأ ابن أدم وعاء شرا من بطنه حسب بن أدم أكلت يقمن صلبه  فان كان فاعلا لا محالة فثلث لطعامه وثلث لشرابه و ثلث لنفسه

     

    Tidak ada wadah yang dipenuhi manusia lebih buruk dari pada perut. Cukuplah bagi putra-putra anak Adam beberapa suap yang dapat menguatkan tubuhnya. Kalaupun harus memenuh perutnya, maka hendaklah sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk bernafas. (H.R. Tirmizi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban melalui Miqdam Ibnu Ma’dikarib).

     

    Allah Swt sangat membenci orang yang berlebih-lebihan. Seseorang yang belanja dengan israf, tanpa skala prioritas maqashid (maslahah), sehingga  lebih besar spendingnya dari penghasilannya akan membuahkan bencana yaitu akan mencelakakan dirinya dan rumah tangganya. Dia akan terjerat hutang yang berkepanjangan atau kesulitan hidup masa depan.

    Hal ini dijelaskan kembali oleh Abdullah bin Humaid dari An-Nasa’iy dan Ibnu majah, Ibnu Mardawaih serta Baihaqy dan jalur ’Amru bin Syu’aib yang menerima dari ayahnya dan neneknya, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda :

     

    • كلوا واشربوا و تصدقوا و البسوا في غير محيلة  ولا سرف فان الله يحب أن يرى أثر نعمته على عبده

     

    ”Makanlah kamu dan minumlah kamu, bersedeqahlah kamu dan berpakaianlah kamu, tetapi tidak dengan sombong dan berlebih-lebihan, karena  Allah amat suka melihat bekas nikmatnya pada hamba-hambaNya.

    Selanjutnya dalam hadits lain diriwayatkan :

     

    عن أبي هريرة أن رسول الله    ص.م قال:  

    يقول العبد : مالي مالي وانما له من ماله ثلاث : ما أكل فأفنى او لبس فأبلى أو أعطى فأقنى  وما سوا ذالك فهو ذاهب وتاركه للناس (رواه مسلم)

    Dari Abiu Hurairah bahwa Nabi Muhamad Saw bersabda, “Seorang hamba akan berkata, “hartaku !, hartaku !”. Padahal yanhg menjadi miliknya hanya tiga hal saja, 1. Apa yang dimakan, kemudian habis, 2. Apa yang dipakai, kemudian hancur, 3. Apa yang disedeqahkan kemudian kekal. Selain yang tiga perkara tersebut akan hilang dan ditanggalkan untuk manusia. (H.R.Muslim)

    Ibnu Abbas menjelaskan sebagai berikut :

    كلوا واشربوا و تصدقوا و البسوا  ما لم يخا لطه  اسراف  ولا محيلة

    ”Makanlah kamu, minumlah kamu, bersedeqahlah kamu, dan berpakaianlah kamu, (Semua boleh bagi kamu) selama tidak disertai sikap boros dan sombong”.

     

    Dari ketiga hadits di atas dapat pula disimpulkan bahwa sedeqah atau infaq, termasuk zakat adalah bagian dari konsumsi dalam Islam. Dengan demikian, rumus pendapatan (Y)  dalam Islam berbeda dengan ekonomi konvensional yang tidak memasukkan infak dan sedeqah sebagai konsumsi. Dalam ekonomi Islam dirumuskan sbb :

    Y = ( C + Sedeqah) + S

     

    Rumusan inilah yang  dikemukan oleh pakar-pakar ekonomi Islam kontemporer, seperti Monzer Kahf dan Fahim Khan.

    Kekayaan atau harta dalam Islam merupakan amanah Allah, yang harus dibelanjakan secara benar, yaitu seimbang dan adil, yaitu tidak boros, tidak kikir, dan tidak pula mubazir. Harta yang dimiliki tidak semata-mata untuk dikonsumsi, tetapi juga untuk kegiatan sosial seperti zakat, infaq dan sedekah. Inilah yang membedakan antara perilaku konsumen dalam ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam. Berdasarkan konsep ini, misalkan pendapatan konsumen muslim dibelanjakan untuk memenuhi kepuasan duniawi (E1) dan kebajikan sosial (E2). Pengeluaran di antara E1 dan E2 ini terletak di antara kerasionalan konsumen yang dipengaruhi pula oleh tingkat ketakwaaannya kepada Allah,

    Alquran juga mengajarkan prinsip halal dan thayyib dan akhlak dalam konsumsi. Barang – barang yang dikonsumsi adalah barang yang halal dan thayyib ( baik dan berguna ). Sebaliknya, Allah mengharamkan setiap barang yang keji dan buruk. Ayat – ayat  Al-Qur’an yang berbicara mengenai konsumsi terdapat antara lain dalam surah An-Nahal : 114 :

    فَكُلُوا مِمَّأ رَزَقَكُمُ اللهُ حَلاَلاً طَيِّبًا وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

    Artinya, :Makan kamulah rezeki yang dianugerahkan Allah kepadamu yang halal lagi thayyib, bersyukurlah kamu atas nikmat Allah, jika kamu menyembahNya.

     

    Al-Mukminun : 51

    يَآأَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَاتَعْمَلُونَ عَلِيمٌ

     

    Artinya, “Wahai para Rasul, makan kamulah makanan yang thayyib dan lakukanlah amal sholih. Sesungguhnya Aku mengatahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Mukminun : 51)

     

     

    Al- Baqarah : 168. “ Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik apa yang terdapat dibumi”.

    Lihat pula surah Al- Maidah ( 5 ) ayat : 4,  87, 88,

    يَسْئَلُونَكَ مَاذَآأُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِّمَّا عَلَّمَكُمُ اللهُ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

     

    Mereka menanyakan kepadamu, “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah, “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan buruan yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu. Kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu. Dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya”.

     

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَآأَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ {87} وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللهُ حَلاَلاً طَيِّبًا وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي أَنتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ

    Wahai orang yang beriman, janganlah kamu haramkan yang baik-baik yang telah dihalalkan Allah bagi kamu. Janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu. Bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadaNya (QS. ; 87-88)

    كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ وَلاَتَطْغَوْا فِيهِ فَيَحِلَّ عَلَيْكُمْ غَضَبِي وَمَن يَحْلِلْ عَلَيْهِ غَضَبِي فَقَدْ هَوَى

    ‘”Makanlah di antara rezeki yang baik yang telah kami berikan kepadamu dan janganlah melampaui batas padanya yang menyebabkan kemurkaanKu menimpamu. Dan barang siapa yang ditimpa oleh kemurkaanKu, maka sesungguhnya binalah ia”.(QS. Thaha : 81).

     

    Barang – barang yang dikonsumsi, tidak saja makanan dan minuman, tetapi juga pakaian, perumahan dan peralatannya, kenderaan, serta seluruh barang dan jasa yang bisa mendatangkan kegunaan ( utility ) bagi manusia. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih disebut nama selain nama Allah ( QS. 2 : 173 ).

    Konsumsi dan pemuasan kebutuhan, pada dasarnya tidak tercela Islam, selama tidak mengkonsumsi barang – barang yang haram.

    Firman Allah  dalam surah  Al-A’raf : 32

     

    قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللهِ الَّتِى أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ اْلأَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

     

    “ Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan yang indah – indah ( yang diciptakan ) Allah untuk hamba – hambaNya dan siapa pula yang mengharamkan barang – barang yang baik”. ( QS 7 : 32 ). Dalam ayat lain difirmankan, “ Hai orang – orang yang beriman janganlah kamu mengharamkan barang – barang yang baik yang telah dihalalkan bagimu, janganlah kamu melampaui batas”. ( QS 5 :87 ).)

    Selanjutnya prinsip akhlak moralitas dalam konsumsi antara lain berarti bahwa tujuan konsumsi adalah untuk peningkatan nilai – nilai moral dan spiritual, bukan hanya untuk kelangsungan hidup dan perwujudan kesehatan dan kesenangan duniawi (utility) manusia. Prinsip moralitas juga terlihat dari ajaran Islam yang menganjurkan agar menyebut nama Allah sebelum makan dan minum dan mengucapkan alhamdulillah setelah mengkonsumsinya. Demikian pula dalam berpakaian, naik kendaraan, dsb. Dengan demikian konsumen muslim, akan merasakan kehadiran Ilahi pada mengkonsumsi barang – barang yang dibutuhkannya. Hal ini penting, karena Islam menghendaki perpaduan prilaku material dan nilai – nilai spiritual

    Dengan demikian, prinsip akhlak islami mengajarkan bahwa konsumsi harus dapat memenuhi etika, adat kesopanan dan perilaku terpuji seperti syukur, zikir, dan fikir serta sabar dan mengesampingkan sifat-sifat tercela seperti kikir dan  rakus (QS 89:20, 70:19)

    Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, Islam menggariskan bahwa tujuan konsumsi bukan semata-mata memenuhi kepuasan terhadap barang (utilitas), namun yang lebih utama adalah sarana untuk mencapai kepuasan sejati yang utuh dan komprehensif yaitu kepuasan dunia dan  akhirat. Kepuasan tidak saja dikaitkan dengan kebendaan tetapi juga dengan ruhiyah atau ruhaniyah atau spiritual, bahkan kepuasan terhadap konsumsi suatu benda yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam, maka kepuasaan ini harus ditinggalkan. Oleh karena itu konsumen rasional dalam ekonomi Islam adalah konsumen yang dapat memandu perilakunya supaya dapat mencapai kepuasan maksimum sesuai dengan norma-norma Islam yang dapat pula diistilahkan dengan maslahah. Jadi, tujuan konsumen muslim bukanlah memaksimumkan utility, tetapi memaksiumumkan maslahah.

    Comments (2)

    […] Paradigma Syariah, 3 April 2011, pada momentum Milad Ahad 15 di Hotel Desa Wisata, Taman … Download Agustianto » Archive » Prinsip dan Pola Konsumsi dalam Islam | […]

    […] Muhammad Saw untuk dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan manusia, baik aqidah, akhlak … Download Agustianto » Archive » Prinsip dan Pola Konsumsi dalam Islam […]

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition