• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Konsep Harta

    1

    Posted on : 18-02-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Pendahuluan

    Islam sangat memperhatikan harta dengan menempatkannya sebagai tiang kehidupan (giyama), sebagaimana terdapat dalam Al-quran (QS. ) , … harta itu dijadikan Allah sebagai tiang (pilar) kehidupan”. karena itu, para ulama sepanjang sejarah merumuskan konsep maqashid syariah dengan lima kebutuhan dasar (dharuriyat) yang salah satu di antaranya adalah harta.

    Dalam Al-Qur’an kata mal disebut sebanyak 86 kali pada 79 ayat dalam 38 surah, satu jumlah yang cukup banyak menghiasi sepertiga surah-surah Al-Qur’an. Jumlah ini belum termasuk kata-kata yang semakna dengan mal seperti rizq, mata’, qintar dan kanz (perbendaharaan).

    Perhatian Al-Qur’an yang begitu besar terhadap harta membuktikan bahwa sesungguhnya  harta merupakan satu kebutuhan manusia yang sangat penting sehingga Al-Qur’an memandang perlu untuk memberikan garisan-garisan yang rinci dan luas tentang harta. Syariah Islam mengandung kaidah-kaidah umum yang mengatur  cara untuk mendapatkan uang atau harta, cara menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain, cara pengembangannya dan operasionalnya. Islam juga  menjelaskan adanya hak-hak orang lain atau masyarakat dalam harta itu. Persoalan-persoalan inilah yang diatur oleh syariah dalam bidang fikih muamalah.

    Pengaturan secara syariah ini dimaksudkan agar terwujud keadilan dan kemaslahatan manusia dan agar manusia tidak terjerumus pada penyimpangan-penyimpangan baik pada cara mendapatkan dan meraih harta, pengembangannya (investasi)  ataupun pada pemanfaatannya yang pada akhirnya dapat menimbulkan mafsadah (kerusakan dan  kerugian) pada individu maupun masyarakat.

    Pengertian harta

    Kamus Lisanul-‘Arab karya Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata mal (harta) berasal dari kata kerja mala-yamulu , yang artinya kecendrungan, condong, miring. Jadi, mal (harta) berarti  sesuatu yang hati manusia cendrung atau condong kepadanya.

    Ia juga menyebutkan  harta dapat didefinisikan sebagai ‘segala sesuatu yang dimiliki’ .

    Ibnu Atsir berkata “ Pada dasarnya, al-maal itu ialah barang yang miliki seperti emas atau perak, tetapi kemudian kata al-maal itu dipakai untuk semua jenis benda yang bisa dikomsumsi dan dimiliki.  Dalam Mukhtar al-Qamus, kata al-maal berarti ‘apa saja yang dimiliki’. Kata tamawwalta berarti ‘harta kamu banyak karena berbisnis dengan orang lain’, dan kata multahu berarti ‘kamu memberikan uang pada seseorang’.

    Di dalam kamus al-muhith dijelaskan bahwa maal itu ialah apa saja yang kamu miliki, sedangkan dalam mu’jam al-wasith, maal itu ialah segala sesuatu yang dimiliki seseorang atau kelompok, seperti perhiasan, barang dagangan, bangunan, uang, dan hewan.

    Dalam salah satu hadis Rasulullah terdapat redaksi Idha’atul mal (menyia-nyiakan harta). Yang dimaksud dengan idha’ tul maal dalam hadis ini ialah menafkahkan harta (uang) di jalan yang haram, maksiat, atau pada hal-hal yang tidak disukai Allah. Termasuk dalam pengertian idha’tul maal itu ialah perbuatan mubazzir dan berlebih-lebihan walaupun dalam hal-hal yang halal atau mubah.

    Pengertian harta menurut  istilah syariah (terminology fikih).

    Para fuqaha (ulama fiqh) sangat besar perhatianya terhadap persoalan maal sehingga mereka membuat bab-bab khusus untuk harta (maal) di dalam buku-buku mereka, bahkan sebagian mereka ada yang mengarang buku khusus tentang maal (harta), seperti Al-Amwal tulisan Abu Ubaid. Dalam buku-buku itu, mereka membahas dasar-dasar usaha (pendapatan), pendistribusian, pemeliharaan, dan pengembangannya.

    Paparan di bawah ini akan menejelaskan definsi harta menurut para ulama :

    1. Menurut Imam Hanafi, harta adalah sesuatu yang digandrungi tabiat manusia, dapat disimpan dan dimanfaatkan ketika dibutuhkan.  Pengikut mazhab Hanafi (Hanafiyah)  membatasi pengertian harta hanyalah sesuatu yang berwujud (a’yan) dan dapat disimpan, sehingga sesuatu yang tidak berwujud dan tidak dapat disimpan tidak termasuk harta,  seperti hak dan manfaat. Misalnya hak melewati jalan yang berada di tanah orang lain dan memanfaatkan fasilitas negara.
    2. Defenisi maal menurut ulama hambali ialah apa-apa yang memiliki manfaat yang mubah untuk suatu keperluan dan atau untuk kondisi darurat.
    3. Imam Syafi’i berkata bahwa maal ialah barang-barang yang mempunyai nilai untuk dijual dan nilai harta itu akan terus ada kecuali kalau semua orang telah meninggalkan memanfaatkannya (tidak berguna lagi bagi manusia). Kalau baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu masih tetap dianggap sebagai harta karena barang itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
    4. Menurut as-Suyuti yang diambilnya dari pendapat  Imam Syafi’i, tidak ada yang bisa disebut maal (harta) kecuali apa-apa yang dimiliki, memiliki nilai dan diberi sanksi bagi orang yang merusaknya. Di sini, Suyuti menegaskan bahwa harta itu mengandung nilai.
    5. Az-Zarkasyi dari ulama syafi’iyyah mendefinisikan maal sebagai apa-apa yang bermanfaat, yang bisa berupa barang/benda atau juga bisa berupa manfaat. Yang berupa benda terbagi dua : barang dan hewan. Yang dimaksud dengan barang di sini ialah semua harta secara umum. Hewan menurutnya terbagi dua:1) hewan yang tidak bisa diambil manfaatnya, maka ini tidak bisa disebut maal atau harta, seperti lalat, nyamuk, kelelawar, dan serangga:2) hewan yang bermanfaat ; ini pun terbagi menjadi hewan yang mempunyai tabiat jahat dan merusak, seperti singa dan beruang; ini tidak bisa disebut harta; dan kedua, hewan yang bertabiat jinak dan patuh seperti binatang ternak; inilah yang disebut harta.
    6. Ibnu Abidin berkata dalam kitab Raad al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar bahwa yang dimaksud dengan maal ialah segala yang disukai nafsu atau jiwa dan bisa disimpan sampai waktu ia dibutuhkan. Nilai maal itu ada jika semua orang atau kebanyakan orang menganggapnya mempunyai nilai(qimah) Adapun arti tamwil (khath) ialah memberikan atau mengukuhkan nilai pada sesuatu harta atau maal dan boleh mengambil manfaat dari darinya secara syar’i.
    7. Berkata at-Tahanawi dalam kitab Kasysyaf  Istilahat al- Funun. Di kalangan ulama fiqh, maal atau harta didasarkan pada tamawwul, yaitu bisa disimpan dan dimanfaatkan oleh sebagian orang atau semua orang. Jika barang itu bisa dimanfaatkan secara syar’i, maka barang itu mutaqqawin (berharga/bernilai), tetapi jika tidak boleh secara syar’iy, berarti harta itu tidak mutaqqawim (tidak bernilai), seperti babi, sekalipun ia bernilai atau berguna bagi orang-orang non muslim.
    8. Ibnu Nujaim al-Misri berkata, ”Maal ialah apa-apa yang bernilai dan bisa disimpan untuk kebutuhan.
    9. Sebagian ulama fiqh kontemporer berpendapat bahwa maal itu ialah setiap benda yang mempunyai nilai materi di kalangan manusia atau apa saja yang bisa dimiliki dan bisa diambil manfaat darinya, atau juga bisa sebagai ciptaan selain manusia yang dijadikan untuk kemaslahatan manusia dan manusia dapat memiliki dan memanfaatkan secara bebas.

     

    M.Husein Syahatah menyimpulkan rumusan definisi ulama di atas dengan kalimat, harta itu ialah segala sesuatu yang mempunyai nilai secara syar’iy, disukai oleh tabiat manusia, bisa dimiliki, disimpan, dimanfaatkan secara syar’i, dan bisa disimpan untuk kebutuhan serta bebas mengelolanya.

    Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie (Pengantar Muamalah, 2004), para ahli merumuskan definisi harta dengan formulasi yang berbeda-beda :

    • Sesuatu yang dapat dimiliki oleh manusia
    • Sesuatu yang syah untuk diperjualbelikan
    • Sesuatu selain manusia yang diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia
    • Sesuatu yang dapat dimiliki dan punya nilai (harga)
    • Sesuatu yang berwujud yg dapat diambil manfaatnya
    • Sesuatu yang dapat disimpan, dan dapt diambil manfaatnya ketika dibutuhkan.

    Meskipun terjadi perbedaan rumusan  dalam pengertian harta, namun secara grais besar dapat disimpulkan bahwa pengertian harta (mal) ialah apa saja yang dimiliki manusia dan hati manusia cendrung kepadanya, di mana harta itu  mempunyai nilai dan manfaat bagi manusia.

    Dari pengertian maal di atas dapat disimpulkan bahwa maal atau harta itu ialah segala sesuatu yang disukai manusia dan dapat dimiliki, dapat dipakai dan dapat disimpan untuk waktu yang akan datang serta dapat dimanfaatkan secara syar’i.

    1  Kedudukan Harta.

    Dalam Al Qur’an dijelaskan berbagai bentuk kedudukan harta :

    a. Harta merupakan perhiasan hidup

    ”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al Kahfi : 46)

    ”Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” ( QS. Ali Imran : 14)

    Jadi dijelaskan bahwa kebutuhan dan kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak dan keturunan, artinya merupakan kebutuhan yang mendasar.

    b. Harta merupakan amanah:

    ”Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar. ”(QS. Al Taghabun : 15 )

    Karena harta adalah titipan, manusia tidak memiliki harta secara mutlak sehingga dalam dalam pandangan tentang harta ada hak-hak orang lain yang harus dukeluarkan melalui zakat, infak dan sadaqah.

    c. Harta sebagai musuh :

    ”Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Taghabun 14)

    d. Harta adalah milik Allah

    Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. ..

    (QS. Al Baqarah 284)

    Konsekwensi logis dari ayat-ayat Al Qur’an diatas adalah :

    • Manusia bukanlah pemilik mutlak, tetapi dibatasi oleh hak-hak Allah sehingga wajib dikeluarkannya zakat dan peruntukan Ibadan lain dari harta tersebut.
    • Cara pengambilan manfaat dari harta mengarah pada kemakmuran bersama, pelaksanaannya diatur secara baik oleh manusia dalam masyarakat itu sendiri.
    • Dalam menikmati manfaat harta (yang dimiliki secara perorangan) tidak boleh mengganggu dan melanggar kepentingan orang lain dan umum.
    • Tidak boleh menimbun harta, memboroskan harta, menyalahgunakan harta dan menjadikan harta sebagai tujuan hidup

    Hadist Riwayat Tirmidzi :

    Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan hamba dirham..”

    2 Fungsi Harta

    Fungsi harta sangat banyak, baik dari kegunaan dan dalam hal yang baik maupun kegunaan dalam hal yang buruk. Diantara beberapa fungsi yang lazim adalah :

    • Berfungsi sebagai alat untuk bermuamalah, menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah) : seperti utk membeli perlengkapan shalat, bekal haji dll
    • Untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, dengan membantu fakir miskin seperti bersedekah, berzakat, infak dan waqaf.
    • Untuk meneruskan kehidupan pada generasi berikutnya.

    (QS An Nisa 9 )

    “… Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang2 yang seandainya mininggalkan dibelakang mereka anak2 yang lemah, yang mereka khawatirkan kesejahteraannya..”

    • Untuk menyelaraskan kehidupan di dunia dan akhirat.

    Hadist :

    ”Bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan yang meninggalkan masalah akhirat untuk urusan dunia, sehingga seimbang diantara keduanya. Karena masalah dunia menyampaikan manusia kepada masalah akhirat ”( HR. Bukhari)

    • Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu, karena sekolah perlu biaya.
    • Untuk menjalankan (mentasharufkan) peranan-peranan kehidupan ; adanya majikan dan pembantu, ada yang kaya dan miskin, dll
    • Untuk menumbuhkan silahturahim, karena adanya perbedaan dan kebutuhan, transaksi antar manusia dan daerah.

    QS. Al Hasyar 7 :

    ”….supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.. ”

    3 Pemeliharan Harta.

    Ada pemahaman teologi yang keliru tentang kepemilika harta bahwa harta dianggap sesuatu yang harus tak pantas dihargai lebih.

    Paham pertama menyakan bahwa kemiskinan adalah takdir dan nasib yang tidak dapat diubah. Hal ini membuat manusia tidak mau berusaha dan bekerja keras, menerima nasib apa adanya. Sehingga ketika berbicara kemiskinan, umat Islam adalah kelompok yang maoritas ada di barisan itu.

    Paham kedua menyatakan bahwa kemiskinan adalah sesuatu yang mulia dan syarat mencapai ketaqwaan dan surga. Ini banyak ditemukan dikalangan kaum sufi, bahkan Al Gazali lebih memberi keutamaan pada si fakir. Pandangan ini jelas mematikan motivasi dan prestasi dalam kehidupan duniawi sehingga dikritik oleh kaum neosufisme, salah satunya Ibnu Taimiyah

    Dalam Alquran juga terdapat beberapa ayat yang menjelaskan keutamaan dan pemeliharaan harta :

    • Islam sejatinya memuji kehidupan yang berkecukupan dan kaya

    “Dan Dia mendapatimu sebegai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.” (QS (Ad Dhuha 8)

    • Harta dipandang sebagai lambang kehidupan

    ”Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik- mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka. (Qs Kahfi18)

    • Harta merupakan sesuatu yang baik (QS:100:8), kelebihan yang utama.

    ”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan

    carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS:62:10)

    • Allah mengecam orang yang mengharamkam perhiasan

    ”Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?” Katakanlah: “Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS.A’raf:32)

    • Kita diperintahkan memperhatikan kekayaan nabati (QS 6:41), kekayaan hewani (QS:16:5-8), kelautan (QS 16:41)

     

    ”…dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. Dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (QS. An Nahl : 8 )

    Menarik untuk dicermati, pada satu sisi Allah menegaskan harta dapat menjadi alat  yang ampuh untuk mendekatkan  diri padanya melalui apa yang disebut Al-Qur’an  dengan jihad (Q.S: Al-Anfal : 72). Jihad dengan harta dapat berbentuk zakat infaq, sadaqah, memanfaatkan harta untuk kepentingan sosial dan bentuk-bentuk lainnya, selama dilakukan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai wujud pembuktian iman, maka semuanya itu dipandang ibadah.

    Sebaliknya pemanfaatan harta secara negatif yang disebut Al-Qur’an dengan mengikuti jalan syetan (Q.S. Al-Isra: 64) seperti menafkahkan harta disertai sifat-sifat ria (Q.S. An-Nisa’: 38), kikir (Q.S. Al-Lail: 8-11), berbangga- banga dengan harta (Q.S. Al-Hadid: 20), dan menghambur-hamburkannya. Al-Qur’an menegaskan, harta yang dimanfaatkan dengan tidak mengikuti ajaran Allah hanya akan merugikan karena pemiliknya akan diazab di akhirat (Q.S. At-Taubah: 69).

    Al-Qur’an memberikan arahan agar harta dapat dimanfaatkan dan dinikmati oleh manusia untuk kebahagian kehidupannya di dunia dan di akhirat. Isyarat ini ditemukan pada Q.S. Ali Imran: 14. Jenis-jenis harta pada ayat ini mengisyaratkan macam-macam kebutuhan hidup manusia. Hasil pertambangan (emas, perak dan lain-lain) mengisyaratkan kebutuhan manusia pada peralatan dan perhiasan, kuda pilihan mengisyaratkan kebutuhan manusia pada kendaraan, binatang ternak dan sawah ladang mengisyaratkan kebutuhan terhadap sandang, pangan dan papan.

    Setelah terpenuhinya kebutuhan pribadi, harta juga harus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan keluarga dan kepentingan sosial, terlebih lagi orang-orang yang sedang berada dalam kesulitan. Perintah ini ditemukan pada Q.S. Al-Isra’: 26.

    Jadi tegaslah bahwa pemanfaatan harta adalah untuk melakukan kebaikan (ibadah), menegakkan keadilan sosial, dengan memberikan nafkah pada diri sendiri, anggota keluarga, dan membantu memberikan harta pada fakir miskin, anak yatim, mu’allaf, musafir, orang yang tertindas, tawanan dan orang-orang yang sedang berjuang ada jalan Allah. Di samping itu, pemanfaatan harta harus dapat menjadikan seseorang selalu mengingat Allah dan mendekatinya serta menjadikan seperti lebih pandai bersyukur.

    D. Pembagian Harta

    Menurut Fuqaha, harta dapat ditinjau dari beberapa segi. Harta terdiri dari beberapa bagian. Pembagian jenis harta sebagai berikut.

    1. Mal Mutaqawwim dan ghair mutaqawwim

    a. Harta Mutaqawwim ialah:

    “Sesuatu yang boleh diambil manfaatnya menurut syara’.”

    b. Harat Ghair mutaqawwim ialah:

    “Sesuatu yang tidak boleh diambil manfaatnya menurut syara’.”

    1. Mal Mitsli dan Mal Qimi.

    a. Harta Mitsli, ialah:

    “Benda-benda yang ada persamaannya dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannnya di tempat yang lain, tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai.”

    b. Harta Qimi, ialah:

    “Benda-benda yang kurang dalam kesatuan-kesatuannya, karenanya tidak dapat berdiri sebagian di tempat sebagian yang kainnya tanpa ada perbedaan.”

    c. Dengan perkataan lain, harta mitsli adalah harta yang jenisnya diperoleh di pasar (secara persis), dan qimi adalah harta yang jenisnya sulit didapatkan di pasar, bisa diperoleh, tapi jenis berbeda, kecuali dalam nilai harganya.

    3.   Harta Istihlak dan harta Isti’mal

    a. Harta Istihlak ialah:

    “Sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaannya dan manfaatnya secara biasa, kecuali dengan menghabiskannnya.”

    Harta Istihlak terbagi menjadi dua:

    –          Istihlak haqiqi: benda yang menjadi harta yag secara jelas (nyata) zatnya habis sekali digunakan; misalnya korek api.

    –          Istihlak huquqi: harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi zatnya masih ada; misalnya uang yang dipergunakan untuk membayar utang, yang dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuh.

    b. Harta Isti’mal ialah:

    “Sesuatu yang dapat digunakan berulang kali dan materinya tetap terpelihara.”

    Contoh: sepatu, kebun, dan tempat tidur.

    4.   Harta Manqul dan harta Ghair Manqul

    a. Harta Manqul ialah:

    “Segala harta yang dapat dipindahkan (bergerak) dari satu tempat ke tempat lain.”

    Contoh: mas, pakaian, kendaraan.

    b. Harta Ghair Manqul ialah:

    “Sesuatu yang tidak bisa dipindahkan dan dibawa dari satu tempat ke tempat lain.”

    Contoh: pabrik, sawah, rumah.

    5.   Harta ‘Ain dan harta Dayn

    a. Harta ‘Ain adalah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, beras dan lainnya. Harta ‘Ain terbagi manjadi 2, yaitu:

    – Harta ‘Ain dzati qimah, yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai, yang meliputi:

    • Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya,
    • Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya,
    • Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya,
    • Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari seumpamanya,
    • Benda yang dianggap harta yang berharga dan dapat dipindahkan,
    • Benda yang dianggap harta yang berharga dan tidak dapat dipindahkan.

    – Harta ‘Ain ghair dzati qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta karena tidak memiliki harga, misalnya sebiji beras.

    b. Harta ‘dayn ialah:

    “Sesuatu yang berada dalam tanggung jawab.” Seperti uang yang berada dalam tanggung jawab seseorang.

    Ulama Hanafiyah mengemukakan bahwa harta tidak dapat dibagi menjadi harta ‘ain dan dayn karena menurut Hanafiyah ialah sesuatu yang berwujud, maka sesuatu yang tidak berwujud tidak dianggap sebagai harta, misalnya utang yang adalah washf fi al-dhimmah.

    6.   Mal al-‘ain dan mal al-naf’i (manfaat)

    a. Harta ‘aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk (berwujud), misalnya: rumah.

    b. Harta naf’i ialah a’radl yang berangsur-angsur tumbuh menurut perkembangan masa, oleh karena itu mal al-naf’i tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.

    Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa harta ‘ain dan harta naf’i berbeda, dan manfaat dianggap sebagai harta mutaqawwim (harta yang dapat diambil manfaatnya) karena manfaat adalah sesuatu yang dimaksud dari pemilikan harta benda.

    Hanafiyah berpendapat sebaliknya, bahwa manfaat dianggap bukan harta, karena manfaat tidak berwujud, tidak mungkin untuk disimpan, maka manfaat tidak termasuk harta, manfaat adalah milik.

    7.   Harta Mamluk, Mubah, dan Mahjur

    a. Harta Mamluk ialah:

    “Sesuatu yang masuk ke bawah milik, milik peorangan maupun badan hukum, seperti pemerintah dan yayasan.”

    Terbagi menjadi dua macam:

    – Harta perorangan (mustaqil) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakan

    – Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya sepasang sepatu yang bisa digunakan kapan saja.

    – Harta perkongsian (masyarakat) antara dua pemilik yang berkaitan dengang hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain.

    – Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik, pabrik tersebut diurus bersama.

    b. Harta Mubah adalah:

    “Sesuatu yang pada asalnya bukan milik seseorang, seperti air pada mata air, binatang buruan darat, laut, pohin-pohon di hutan dan buah-buahannya.”

    Tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya sesuai dengan kaidah:

    “Barangsiapa yag mengeluarkan dari harta mubah, maka ia menjadi pemiliknya.”

    Kaidah ini sesuai dengan sabda Nabi Saw:

    “Barangsiapa yang menghidupkan tanah (gersang), hutan milik seseorang, maka ia yang paling berhak memiliki.”

    c. Harta mahjur ialah:

    “Sesuatu yang tidak dibolehkan dimiliki sendiri dan memberikan kepada orang lain menurut syari’at, ada kalanya benda itu benda wakaf ataupun benda yang dikhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid, kuburan, dan lainnya.”

    8. Harta yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi

    a. Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras tepung.

    b. Harta yang tidak dapat dibagi (mal ghair qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan kerugian atau kerusakan apabila harta itu dibagi-bagi, misalnya gelas.

    9.   Harta pokok dan harta hasil (buah)

    Harta pokok ialah: “Harta yang mungkin darinya menjadi harta yang lain.”

    Harta hasil adalah: “Harta yang terjadi dari harta lain.”

    Pokok harta bisa juga disebut modal, contohnya: uang. Contoh harta pokok dan hasil ialah bulu domba domba dihasilkan dari domba maka domba merupakan harta pokok dan bulunya harta hasil.

    10. Harta khas dan harta ‘am

    a. Harta khas ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tapa disetujui pemiliknya.

    b. Harta ‘am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya.

    Harta yang dapat dikuasai (ikhraj) terbagi menjadi dua;

    –  harta yang termasuk milik perseorangan,

    –  harta-harta yang tidak dapat termasuk milik perseorangan.

    Harta yang dapat masuk menjadi milik perorangan, ada dua macam yaitu:

    – harta yang bisa mejadi milik perorangan, tetapi belum ada sebab pemilikan, misalnya binatang buruan di hutan.

    – harta yang bisa menjadi milik perorangan dan sudah ada sebab pemilikan, misalnya ikan di sungai yang diperoleh dengan mengail.

    Harta yang tidak termasuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara tidak boleh dimiliki sendiri, misalnya jalan raya, sungai, dan lainnya.

    Kategorisasi Harta

    Ditinjau dari kaca mata hukum Islam, harta itu ada yang halal (boleh dikumpulkan dan dimanfaatkan dan ada pula yang haram (dilarang mengumpulkannya, mengkonsumsi dan memproduksinya). Di antara dua kategori tersebut ada yang disebut syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya).

    Katagorisasi ini berangkat dari sebuah hadist Rasul yang artinya :

    yang halal itu telah jelas san yang haram itu juga jelas,  dan diantara keduanya adalah hal-hal yang syubhat. Barang siapa yang bergelimang pada hal-hal syubhat diibaratkan seorang yang menggembalakan kambingnya di pinggir jurang”.

    Pernyataan hadist diatas yang menyebut bahwa sesuatu yang halal itu jelas, begitu pula yang haram, berpijak pada satu kenyataan bahwa Al-Qur’an adan hadist sebagai sumber hukum Islam telah memberikan keterangan-keterangan yang rinci dan tegas menyangkut katagori tersebut. Berbeda dengan yang syubhat, keterangan tidak jelas, namun apakah ia dikatagrikan kepada halal atau haram dapat dilihat dari indikasi-indikasi yang ada dan akibat yang ditimbulkannya.

    Menarik untuk dicermati adalah metode yang digunakan Al-Qur’an dalam mengungkap dan menjelaskan harta yang halal dan yang haram. Ketika menyebut hal-hal yang diharamkan Al-Qur’an menggunakan bahasa yang rinci dan tegas. Contohnya pada surah al-Maidah: 3.

    Artinya : diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi yang disembelh atas nama selain Allah, yang tercekek, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu yang sempat menyembelihnya dan diharamkan bagimu menyembelih untuk berhala.

    Sedangkan ketika menjelaskan hal-hal yang dihalalkan, Al-Qur’an menggunakan bahasa yang global seperti firman Allah dibawah ini :

    Artinya : Wahai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa saja yang terdapt di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan, karena sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagi kamu.

    Hikmah semua ini adalah untuk memberikan kemudahan bagi manusia dalam menggunakan harta. Pengungkapan harta yang haram dengan rinci adalah pengungkapan harta yang haram dengan rinci adalah bertujuan agar manusia tidak mengalami kebingungan dalam menentukannya. Jika tidak bisa dipastikan manusia akan berbeda dalam menentukan mana yang dan mana yang tidak karena manusia akan dipengaruhi oleh kepentingan pribadinya. Ternyata jumlah harta yang haram itu sedikit, sehingga manusia tidak mengalami kesulitan dalam mengidentifikasikannya.

    Ini berbeda ketika Allah menjelaskan harta – harta yang halal. Apabila Allah juga merincinya, timbullah kesulitan bagi manusia. Kusiltan Ini bisa saja dalam mengidentifikasi harta – harta yang halal dan lebih rumit lagi ketika muncul produk – produk  baru hasil kemajuan IPTEK yang sudah barang tentu saja tidak disinggung dalam Al- Qur’an akan meninbulkan persoalan baru tentang hukumnya. Menyangkut yang syubhat sebenarnya disini ada keleluasan manusia dalam menentukan sikap. Rasulullah  hanya memberi isyarat, bermain – main dengan barang yang syubhat tak obahnya seperti pengembala kambing yang mengembalakan kambingnya dipinggir jurang, sehingga besar kemungkinan akan jatuh kedalamnya . Artinya , bermain – main dengan harta yang syubhat dapat menjerumuskan manusia pada hal –hal yang diharamkan.

    D. Penutup                                                                                                 .

    Tiga kategori kepemilikan dalam ekonomi Islami, yaitu : Private Ownership, Public Ownership dan Waqaf tidak berarti saling berbenturan dalam pelaksanaannya, tetapi justru harus saling melengkapi dan berjalan secara harmoni. Masing-masing mempunyai peranan dan fungsinya masing-masing. Dalam komunitas masyarakat Islami yang ideal, semua bentuk kepemilikan itu penting. Kepemilikan dan kekayaan swasta tidak akan biasa berjalan sendiri. Kepemilikan publik yang mutlak terhadap kekayaan negara akan mematikan gairah dan semangat ekonomi masyarakat. Konsep kepemilikan sesungguhnya hanya sebuah sarana untuk mengejawantahkan amanah dari Sang Pemilk sejati, Allah SWT. Dan setiap amanah harus bisa dipertanggungjawabkan.

    Harta dan kekayaan tidak boleh dibenci dan hasrat untuk memilikinya tidak boleh dimatikan. Hanya perlu dijinakkan melalui ajaran qanaah dan zakat infaq sadaqah.Harta dan kekayaan unsich tidak menjadi ukuran penentu kemuliaan, tetapi penentunya adalah iman dan taqwa. Orang kaya yang bersyukur jauh lebih baik dari orang miskin yang penyabar.

    Daftar Pustaka

    • Al Qur’anul Qarim, dan terjemahan.
    • Dr. H. hendi Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, 2007
    • Hasby as Siddiqy, Pengantar Muamalah, PT. Raja Grafindo Persada, 2004
    • Muhammad Akram Khan, Ajaran Muhammad Nabi Muhammad SAW Tentang Ekonomi, Bank Muamalat 1996
    • Mohammed Ahmed Sakr : Lectures in Islamic Economy , Jeddah IRTI, 1995

    Comments (1)

    hi??

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition