• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Uang Dalam Islam

    0

    Posted on : 18-03-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Oleh: Agustianto

    Kesalahan besar ekonomi konvensional ialah menjadikan uang sebagai komoditas, sehingga keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan konvensional juga menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian kredit. Instrumen yang digunakan adalah bunga (interest). Uang yang memakai instrumen bunga telah menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang di muka bumi ini. Kesalahan konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat dalam perekonomian sepanjang sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai sekarang. Ekonomi berbagai negara di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari terpaan krisis dan ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi.

    Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar (medium of exchange), bukan sebagai barang dagangan (komoditas) yang diperjualbelikan seperti sekarang ini. Ketentuan ini telah banyak dibahas ulama seperi Ibnu Taymiyah, Al-Ghazali, Al-Maqrizi, Ibnu Khaldun dan lain-lain.  Hal dipertegas lagi Choudhury dalam bukunya “Money in Islam: a Study in Islamic Political Economy”, bahwa konsep uang tidak diperkenankan untuk diaplikasikan pada komoditi, sebab dapat merusak kestabilan moneter sebuah negara.[1]

    Oleh karena itu motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu yaitu barter (bai’ al muqayyadah), dimana barang saling dipertukarkan. Menurut Afzalur Rahman, Rasulullah Saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan – kelemahan akan sistim pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistim pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka.

    Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata Ibn Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri.

    Dari Abu Said r.a, katanya : “Pada suatu ketika, Bilal datang kepada Rasulullah saw membawa kurma Barni. Lalu Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Kurma dari mana ini ?” Jawab Bilal, “Kurma kita rendah mutunya. Karena itu kutukar dua gantang dengan satu gantang kurma ini untuk pangan Nabi SAW.” Maka bersabda Rasulullah SAW, lnilah yang disebut riba. Jangan sekali-kali engkau lakukan lagi. Apabila engkau ingin membeli kurma (yang bagus), jual lebih dahulu kurmamu (yang kurang bagus) itu, kemudian dengan uang penjualan itu beli kurma yang lebih bagus.” (H.R Bukhari Muslim).

    Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi Saw memerintahkan agar menjuall kurma (yang kurang bagus) terlebih dahulu, kemudian uang penjualan itu digunakan untuk membeli kurma yang berkualitas bagus tadi. Jadi Nabi saw melarang menukar secara langsung  2 sha’ kurma kurang bagus dengan 1 sha’ kurma yang berkualitas bagus.

    Rasulullah Saw tidak menyetujui transaksi-transaksi dengan sistim barter, karena itu beliau menganjurkan penggunaan uang sebagai alat tukar.

    Sementara itu, menurut Dr. Rif at al-‘Audi, dalam bukunya Min al-Turats al-Iqtishad li al-Muslimin, bahwa uang merupakan konsep aliran (flow concept) yaitu yang tidak bisa dijadikan komoditas[2], sedangkan capital bersifat konsep persediaan (stock concept). Dalam ekonomi konvensional terdapat beberapa pengertian seperti yang diungkapkan oleh Frederick Mishkin dalam bukunya Economiss of Money, Banking and Financial Institutionas.

    Islam tidak mengenal konsep time value of money (yang popular dengan istilah—time is money), tetapi Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang bernilai adalah waktunya itu sendiri. Islam memperbolehkan pendapatan harga tangguh bayar lebih tinggi dari pada bayar tunai. Yang lebih menarik adalah dibolehkannya penetapan harga tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata karena ditahannya aksi penjualan barang. Sebagai contoh, bila barang dijual tunai dengan untung Rp.500,- maka penjualan dapat membeli lagi dan menjualnya kemudian sehingga dalam satu hari itu keuntungannya Rp.1000,- sedangkan bila dijual tangguh bayar maka hak Penjual jadi tertahan, sehingga ia tidak dapat membeli lagi dan menjual lagi, akibat lebih jauh itu, hak dari keluarga dan anak Penjual untuk makan malam tertahan pada pembeli. Alasan Inilah, yaitu tertahannya hak penjual  yang telah memenuhi Kewajiban (penyerahan barang) maka Islam membolehkan harga tangguh lebih tinggi dari pada harga tunai. Adapun motif permintaan akan uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction).

    Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang yang beredar dimasyarakat.[3]

    Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan uang merupakan alat-tukar yang meringankan beban manusia dalam pelaksanaan tukar-menukar, sebab uang itu berguna bagi umum dan dapat digunakan oleh umum. Dengan redaksi lain bahwa uang merupakan segala sesuatu yang diterima umum diterima sebagai alat penukar. Dalam ekonomi konvensional uang ‘seolah-olah’ dijadikan manusia sebagai, “tuhan”, Dimana masyarakat memandang uang adalah segalanya, sebagai alat yang penting dan diletakkan sebagai nomor wahid. Manusia kian berpacu dalam mencari uang. Kekayaan diukur dengan banyak sedikitnya uang. Bahkan kesenangan seolah-olah dilukiskan dengan memiliki uang.[4] Hal ini yang memacu ekonomi konvensional sebab memandang uang sebagai medium of exchange juga sebagai store of value / wealth. Lain halnya dimensi ekonomi Islam bahwa uang merupakan segala sesuatu yang umum diterima dan dinilai hanya sebagai alat penukar (medium of exchange) bukan sebagai alat penimbun kekayaan (store of wealth / value).

    Banyak lagi perbedaan yang prinsipil di antara kedua konsep ekonomi tersebut, antara lain : bahwa menurut Islam uang adalah public good, sedangkan dalam ekonomi konvensional adalah private goods. Uang sebagai public good, berarti bahwa uang pada dasarnya secara fungsional adalah milik umum, karena itu uang harus beredar di dalam perekonomian. Uang tidak boleh ditimbun (iktinaz); uang tidak boleh idle (menganggur), ia harus diproduktifkan dalam bisnis riil, seperti melalui investasi mudharabah atau musyarakah. Uang yang ditimbun akan membuat perekonomian lesu darah. Karena itu Imam Ghazali melarang menjadikan uang dinar dan dirham menjadi perhiasaan, karena menjadikannya sebagai perhiasaan berarti menarik uang dari peredaran dan memenjarakan uang. Bila uang terpenjara, itu berakibat buruk bagi perekonomian. Jadi, menurut ekonomi Islam, uang adalah flow concept, bukan stock concept sebagaimana dalam ekonomi konvensional.

    Dalam Islam, uang bagaikan air yang mengalir. Air yang tidak mengalir akan menimbulkan penyakit. Untuk itulah uang harus senantiasa terus berputar secara alami dalam perekonomian, semakin cepat uang berputar dalam perekonomian maka akan semakin tinggi pendapatan masyarakat, maka akan semakin baik perekonomian. Bagi mereka yang tidap dapat mengaktifkan hartanya, ‘lagi-lagi’ Islam sangat menganjurkan untuk melakukan investasi dengan perinsip mudharabah atau musyarakah. Dalam hal ini Nabi bersabda, Ketahuilah, Siapa saja di antara kamu yang memelihara harta anak yatim, sedangkan anak yatim itu memiliki uang (dinar-dirham), maka bisniskanlah, jangan dibiarkan idle, sehingga nanti uang itu habis dimakan sedeqah/zakat

    (Penulis adalah Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI dan Pascasarjana Islamic Economics and Finance Universitas Trisakti)

     


    [1]

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition