• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Introduksi Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Bagian 2)

    1

    Posted on : 05-06-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Oleh Agustianto

    Dalam tiga dekade belakangan ini, kajian dan penelitian ekonomi Islam kembali berkembang. Berbagai forum internasional tentang ekonomi Islam telah sering dan banyak digelar di berbagai negara, seperti konferensi, seminar, simposium, dan workshop.  Puluhan para doktor dan profesor ekonomi Islam yang ahli dalam ekonomi konvensional dan syari’ah, tampil sebagai pembicara dalam forum-forum tersebut.

    Dari kajian mereka ditemukan bahwa teori ekonomi Islam, sebenarnya bukan ilmu baru ataupun ilmu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi modern yang berkembang saat ini. Fakta historis menunjukkan bahwa para ilmuwan Islam zaman klasik, adalah penemu dan peletak dasar semua bidang keilmuan, termasuk ilmu ekonomi.

    Karena itu adalah logis, bila Adiwarman Azwar karim, mengatakan bahwa teori-teori ekonomi modern yang saat ini dipelajari di seluruh dunia, merupakan pencurian dari teori-teori yang ditulis oleh para ekonom Barat yang melakukan plagiat  tanpa menyebut rujukan yang berasal dari kitab-kitab klasik tentang ekonomi Islam.

    Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, dalam bukunya Muslim Economic Thingking atau dalam artikelnya History of Islamic Economics Thought belum menjelaskan adanya benang merah antara pemikiran ekonomi Islam yang demikian maju dengan kebangkitan pemikiran ekonomi Barat. Karena itu tulisan ini perlu menunjukkan adanya benang merah tersebut.

    Dalam Encyclokipaedia Britania, Jerome Ravetz berkata, ”Eropa masih berada dalam kegelapan, sehingga tahun 1000 Masehi di mana ia dapat dikatakan kosong dari segala ilmu dan pemikiran, kemudian pada abad ke 12 Masehi, Eropa mulai bangkit. Kebangkitan ini disebabkan oleh adanya persinggungan Eropa dengan dunia Islam yang sangat tinggi di Spanyol dan Palestina, serta juga disebabkan oleh perkembangan kota-kota tempat berkumpul  orang-orang kaya yang terpelajar

    Joseph Schumpeter dalam buku History of Economics Analysis, Oxford University, 1954, mengatakaan, adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages[1]. Masa kegelapan Barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam. Ketika Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. The dark ages dan kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan adalah suatu masa yang sengaja ditutup-tutupi barat, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dicuri oleh ekonom Barat. Proses pencurian itu diawali sejak peristiwa perang salib yang berlangsung selama 200 tahun, yakni dari kegiatan belajarnya para mahasiswa Eropa di dunia Islam.

    Transmisi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat telah dicatat dalam sejarah. Dalam hal ini Abbas Mirakhor menulis,

    The transmission mechanism of Islamic sciences and philosophy to the Eoropeans has been recorded in the history of thought of these disciplines. It took a variaty of forms.  First, during the late elevent and early twelfth centuries, a band of western scholars such as Constantine the African and Adelard of Bath, travel to Muslim countries, learned Arabic and made studies and brought what they could of the newly acquired knowledge with them back to Eorope. For example, one such student Leonardo Fibonacci or leonardo of Pisa (d.1240) who traveled and studied  in Bougie in Algeria in the twelfth century , learned arithmatic and mathematic of Al-Khawarizmi and upon his return he wrote his book  Liber Abaci in 1202 [2]

    Di sinilah terjadi pencurian ilmu ekonomi Islam oleh Barat. Hal ini telah banyak dikupas oleh para sejarahwan. Dari teks di atas dapat diketahuai bahwa dalam abad 11 dan 12 M, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African dan delard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Erofa. Leonardo Fibonacci atau Leonardo of Pisa (d.1240), belajar di Bougioe, Aljazair pada abad ke 12. Ia juga belajar aritmatika dan matematikanya Al-Khawarizmi. Sekembalinya dari Arab, ia menulis buku Liber Abaci pada tahun 1202.[3]

    Selanjutnya Abbas Mirakhor menyimpulkan, “The importance of this work is noted by Harro Bernardelli (!8) who make a case  for dating the beginning of economic analysis  in Europe to Leonardo’s Liber Abaci”[4].

    Kemudian banyak pula mahasiswa dari Itali, Spanyol, dan Prancis Selatan yang belajar di pusat kuliah Islam untuk belajar matematika, filsafat, kedokteran, kosmografi, dan ekonomi. Setelah pulang ke negerinya, mereka menjadi guru besar di universitas-universitas Barat. Pola pengajaran yang dipergunakan adalah persis seperti kuliah Islam, termasuk kurikulum serta metodologi ajar-mengajarnya. Universitas Naples, Padua, Salero, Toulouse, Salamaca, Oxford, Monsptellier dan Paris adalah beberapa universitas yang meniru pusat kuliah Islam.[5]

    Sejarah juga mencatat bahwa ilmuwan terkemuka Raymond Lily (1223-1315 M), belajar di universitas Islam. Sepulangnya ke Erofa ia banyak menulis tentang kekayaan khazanah keilmuan Islam dan selanjutnya mendirikan The Council of Vienna (1311)  dengan lima buah fakultas yang mengajarkan bahasa Arab sebagai mata kuliah utama. Dengan pengusaan bahasa Arab, mereka menerjemahkan karya-kaarya Islam ke bahasa latin.[6]

    Salah satu materi yang diterjemahkan adalah berkenaan dengan ilmu ekonomi Islam. Beberapa penerjemah tersebut antara lain, Michael Scot, Hermaan the German, Dominic Gusdislavi, Adelard Bath, Constantine the African, John of Seville, Williem of Luna Gerard of Cremona, Theodorus of Antioch. Alfred of Sareshel dan banyak lagi deretan penerjemah Barat yang tak bisa disebutkan di sini. Tapi, beberapa penerjemah Yahudi perlu juga dipaparkan. Mereka antara lain, Jacob of Anatolio, Jacon ben Macher, Kalanymus ben kalonymus, Moses ben Salomon, Shem Tob ben Isac of Tortosa, Salomon Ibn Ayyub, Todros Todrosi, Zerahoyah Gracian, Faraj ben Salim dan Yacub ben Abbob Marie.[7]

    Karya-karya intelektual muslim yang diterjemahkan adalah karya-karya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusydi, Al-Khawarizmi, Ibnu  Haytam, Ibnu Hazam, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, Ar-Razi, Abu ‘Ubaid, Ibnu Khaldun, Ibnu Taymiyah, dan sebagainya.

    Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scholastic, Pertama, penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles tentang ekonomi. Kedua, towering achievement (capaian hebat) St.Thomas Aquinas. Scumpeter menulis dalam catatan kakinya nama Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi yang berjasa menjembatani pemikiran Aristoteles ke St. Thomas.[8] Artinya, tanpa peranan Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi,  St.Thomas tak pernah mengetahui konsep konsep Aristoteles. Karena itu tidak aneh, jika pemikiran St.Thomas sendiri banyak yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja sehingga para sejarawan menduga St.Thomas mencuri ide-ide itu dari ekonomi Islam.

    Dugaan kuat itu sesuai dengan analisa Capleston dalam bukunya A History of Medieval Philosofy, New York, 1972, “Fakta bahwa St.Thomas Aquinas memetik ide dan dorongan dari sumber-sumber yang beragam, cenderung menunjukkan bahwa ia bersifat eklektif dan kurang orisinil. Sebab kalau kita melihat doktrin dan teorinya, ia  sering mengatakan, “ini sudah disebut Ibnu Sina” (Avicenna), atau “ini berasal langsung dari Aristoteles”[9]. Berdasarkan realitas ini kita dapat mengatakan bahwa tak ada sesungguhnya yang orisinil atau istimewa dari St. Thomas tersebut. Sekaitan dengan itu Harris dalam bukunya The Humanities, 1959, menulis, “Tanpa pengaruh peripatetisisme orang Arab, teologi Thomas Aquinas dan pemikiran filsafatnya tak bisa dipahami”[10].

    Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :

     

    غلا  السعر  فسعر لنا  رسول الله  صلى الله عليه و سلم :

    ان الله  هو الخالق  القابض  الباسط الرازق المسعر وانى أرجوا أن ألقى ربى وليس أحد منكم  يطلبنى  بمظلمة ظلمتها  اياه بدم ولا مال (رواه الدارمى)

     

    “Harga melambung pada zaman Rasulullah SAW. Orang-orang ketika itu mengajukan saran kepada Rasulullah dengan berkata: “ya Rasulullah hendaklah engkau menetukan harga”. Rasulullah SAW. berkata:”Sesungguhnya Allah-lah yang menetukan harga, yang menahan dan melapangkan dan memberi rezeki. Sangat aku harapkan bahwa kelak aku menemui Allah dalam keadaan tidak seorang pun dari kamu menuntutku tentang kezaliman dalam darah maupun harta.”[11]

    Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun)  mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Inilah yang mendasasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.

    Sungguh menakjubkan, teori Nabi tentang harga dan pasar. Kekaguman ini dikarenakan, ucapan Nabi Saw itu mengandung pengertian bahwa harga pasar itu sesuai dengan kehendak Allah yang sunnatullah atau hukum supply and demand.

    Maka sekali lagi ditegaskan kembali bahwa teori inilah yang diadopsi oleh Bapak Ekonomi Barat, Adam Smith dengan nama teori invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible  hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).

    Selanjutnya ilmuwan Barat bernama Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak.[12] Inilah yang disadur oleh Gresham dalam teorinya Gresham Law dan Oresme treatise.

    St. Thomas menyalin banyak bab dari Al-Farabi. St. Thomas juga belajar di Ordo Dominican mempelajari ide-ide Al-Gazhali. Teori pareto optimum diambil dari kitab Nahjul balaghah, karya Imam Ali. Bar Hebraeus, pendeta Syriac Jacobite Church, menyalin beberapa bab dari kitab Ihya Ulumuddin, karya al-Gahazali. Pendeta Spanyol Ordo Dominican bernama Raymond Martini, menyalin banyak bab dari tahafut al-falasifa, dan Ihya al-Ghazali.[13] Bahkan Bapak ekonomi Barat, Adam Smith (1776) dengan bukunya The  Wealth of Nation diduga keras banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwalnya Abu ‘Ubaid (838). Judul buku Adam Smith saja persis sama dengan judul buku Abu ‘Ubaid yang berjudul Al-Amwal.[14] Hiwalah yang dipraktekkan sejak zaman Nabi, baru dikenal oleh praktisi perbankan konvensional tahun 1980-an  dengan nama anjak piutang.

    Menurut Dr Sami Hamond, seorang ahli perbankkan dari Yordan, cek pertama ditarik di dunia ini bukan oleh tukang besi Inggris tahun 1675 di London sebagaimana disebutkan dalam textbook Barat, tetapi dilakukan oleh Saifudawlah Al-Hamdani, putra mahkota Aleppo yang berkunjung ke Bagdad pada abad X Masehi. Penukaran mata uang mengakui keabsahan cek yang dikeluarkan putera mahkota karena ia mengenal tanda tangannya. Dalam Encyclopedia of Literates, menurut Hamond, juga diceritakan seorang penyair bernama Jahtha menerima selembar cek yang ia gagal menguangkannya. Ini terjadi juga pada abad ke 10 Masehi. Sejarah itu menunjukkan bahwa pada abad ke 10 yang lalu cek sudah dikenal dalam ekonomi Islam. Seorang pengelana Persia Naser Kashro yang pergi ke kota Bashrah pada abad ke 10 M menceritakan, bahwa uang yang dibawanya diserahkan pada penukar mata uang dan ia menerima kertas berharga, semacam traveller cheques yang dipakai dalam berbelanja

    Selain contoh di atas masih banyak lagi konsep ekonomi Islam yang ditiru Barat. Beberapa institusi dan model ekonomi yang ditiru oleh Barat dari dunia Islam adalah syirkah (lost profit sharing), suftaja (bills of excahange), hiwalah (Letters of Credit), funduq (specialized large scale commercial institutions and markets which developed into virtual stock exchange),[15] yakni lembaga bisnis khusus yang memiliki skala yang besar yang dikembangkan dalam pasar modal.

    Funduq untuk biji-bijian pertanian dan tekstil ditiru dari Baghdad,  Cordova dan Damaskus. Demikian juga darut tiraz (pabrik yang dibangun oleh negara untuk usaha eksploitasi tambang besi dan perdagangan besi) di Spanyol [16] Menurut penjelasan Labib, insitusi yang mirip dengan darut tiraz adalah institusi ma’una, (sejenis bank privasi  yang dibangun di dunia Islam ditemukan di di Eropa Tengah dengan nama Maona. Insitusi ini digunakan di Tuscani yang berfungsi sebagai sebuah perusahaan umum yang mengembangkan dan menggali tambang besi serta melakukan perdagangan besi tersebut dalam skala yang amat luas.[17] Selanjutnya wilayatul hisbah, yakni polisi ekonomi (pengawas ekonomi perdagangan) yang sudah ada sejak masa  Rasul Saw, juga ditiru oleh Barat.[18]

     


    [1] Schumpeter, Joseph. A., History of Economic Analysis,  Oxford University Press (New York), 1954, hlm. 73-74. Tulisan  Schumpeter tentang adanya Great Gap ini juga diulas oleh Abbas Mirakhor, Muslim Contribution to Economics, op.cit,  hlm. 83

    [2] Durant, Will, The Age of Faith, New York, Simon and Schuster, Encyclopaedia of Islam, New Editoin, 1950, yang juga dikutip Abbas Mirakhor, ibid..hlm. 95

    [3] Abbas Mirakhor, Ibid..

    [4] Ibid..

    [5] Ibid., hlm. 95

    [6] Ibid., hlm.96

    [7]Durant, Will, op.cit, hlm. 909.

    [8] Abbas Mirakhor, ibid, hlm.83

    [9] Capleston, A History of Medieval Philosofy, New York, 1972,

    [10] Abbas Mirakhor, op.cit., hlm 84

    [11]Ad-Darimy, Sunan Ad-Darimy, Darul Fikri Beirut , tt., hlm  78

    [12]Ibnu Taymiyah, Majmu’Fatawa Ibnu Taymiyah, vol. 29, hlm. 469

    [13]Hammond, The Philosophy of Al-Faraby its influence on Medieval though, New York,  1974).

    [14] Zainul Arifin,  Memahami Bank Syari’ah, Jakarta, Alpabet,2000, hlm. 6-7

    [15] Abbas Mirakhor, op.cit, hlm 98

    [16] Shubi Labib, Capitalism in Medievel Islam, Journal of Economic History, vol. 29, 1968). Abbas Mirakhor, op.cit., hlm. 99

    [17]Ibid, hlm. 94

    [18]Thomas Glick, Muhtasib and Muhtasab, A Case  Study of Institusional Diffusions, Viator, volume II, 1971, hlm. 45

    Comments (1)

    Pak, saya tertarik untuk mempelajari transaksi ekonomi yang terjadi pada masa nabi-nabi dari Nabi Adam hingga Nabi Muhammad saw. Tapi saya belum menemukan adanya referensi yang lengkap dan detail mengenai hal tsb. Jika Bapak memiliki informasi mengenai hal ini, smg Bpk tidak keberatan untuk membaginya dengan saya 🙂 karena saya sangat penasaran mengenai hal tsb. Demikian Pak. Terima kasih sebelumnya dan semoga ilmu Bpk berkah. Amin.

    NB: boleh tahu alamat email Bapak? terima kasih 🙂

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition