• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Kebebasan dan Tanggung Jawab sebagai Prinsip Ekonomi Islam

    2

    Posted on : 07-05-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Islamic Economics

    Oleh : Agustianto

    Prinsip kebebasan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam pertama kali dirumuskan oleh An-Naqvi menjadi aksioma etika ekonomi Islam dalam bukunya Ethics and Economics : An Islamic Synthesis (1981).  Rumusan Ab-Naqvi ini selanjutnya banyak dikutip oleh para penulis kontemporer, khususnya dari Indonesia.[1]. Jika An-Naqvi dan para penulis lain memisahkan kedua prinsip tersebut, sehingga masing-masing prinsip itu berdiri sendiri, tetapi dalam buku (tulisan)  ini, kedua prinsip tersebut digabungkan menjadi satu. Penyatuan ini dilakukan karena kedua prinsip itu memiliki keterkaitan yang sangat kuat dan seharusnya tidak boleh dipisahkan, karena dalam konsep teologi Islam, kebebasan yang diberikan kepada manusia meniscayakan pertangung jawaban di akhirat.

    Dimasukkannya prinsip kebebasan sebagai prinsip ekonomi Islam oleh para pakar hanyalah untuk menjaga kelogisan adanya tanggung jawab (masuliyah) di akhirat (ma’ad) sebagai konsekuensi logis dari kebebasan yang melekat pada diri manusia.

    Penyatuan ini juga dimaksudkan agar pembaca dengan cepat menangkap pengertian kebebasan dalam kajian ini, sehingga tidak muncul tanda tanya dan kerancuan dalam pikiran tentang makna kebebasan dalam perspektif Islam[2].

    Pengertian kebebasan dalam perekonomian Islam difahami dari dua perspektif, pertama perspektif teologi  dan kedua perspektif ushul fiqh / falsafah tasyri’.

    Pengertian kebebasan dalam perspektif pertama berarti bahwa manusia bebas menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk dalam mengelola sumberdaya alam. Kebebasan untuk menentukan pilihan itu melekat pada diri manusia, karena manusia telah dianugerahi akal untuk memikirkan mana yang baik dan yang buruk, mana yang  maslahah dan mafsadah mana yang manfaat dan mudharat. Karena kekebasan itu, maka adalah logis (wajar) bila manusia  harus bertanggung jawab atas segala perilaku ekonominya di muka bumi ini atas pilihanya sendiri. Manusia dengan potensi akalnya mengetahi  bahwa penebangan hutan secara liar akan menimbulkan dampak banjir dan longsor. Manusia juga tahu bahwa membuang limbah ke sungai yang airnya dibutuhkan masyarakat untuk mencuci dan mandi adalah suatu perbuatan salah yang mengandung mafsadah dan mudharat. Melakukan riba adalah suatu kezaliman besar. Namun ia melakukannya juga, karena ia harus mempertangung jawabkan perbuatannya itu di hadapan Allah, karena perbuatan itu dilakukannya atas pilihan bebasnya.

    Seandainya manusia berkeyakinan bahwa ia melakukan perbuatan itu karena dikehendaki Allah secara jabari, maka tidak logis ia diminta pertanggung jawaban atas penyimpangan perilakunya.

    Dengan demikian, makna kebebasan dalam kacamata teologi Islam ialah manusia memiliki kebebasan dalam memilih. Adanya pemberikan reward and punisment merupakan suatu indikasi bahwa manusia itu bebas melakukan pilihan-pilihan. Semua keputusannya dalam melakukan pilihan-pilihan tersebut akan ditunjukkan kepadanya pada hari kiamat nanti untuk dipertanggung jawabakan di mahkamah (pengadilan) ilahi.  Allah berfirman dalam QS. 99 : 7-8 :

    Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya.

    Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.

    Hal ini berarti bahwa dalam pandangan Islam, manusia bebas untuk memilih, bebas untuk menentukan, karena pada akhirnya dia yang harus bertanggungjawab terhadap semua perbuatannya ; karena itulah maka ada reward atau punishment dari Allah Swt.

    Dengan demikian, makna kebebasan dalam konteks ini bukanlah kebebasan sebagaimana dalam faham liberalisme yang tidak dikaitkan dengan masuliyah di akhirat.  Kebebasan dalam Islam bukan kebebasan mutlak[3], karena kekebasan seperti itu hanya akan mengarah kepada paradigma kapitalis mengenai laisssez faire dan kebebasan nilai (value free). Kebebasan dalam pengertian Islam adalah kekebasan yang terkendali (al-hurriyah al-muqayyadah).

    Dengan demikian, konsep ekonomi pasar bebas, tidak sepenuhnya begitu saja diterima dalam ekonomi Islam. Alokasi dan distribusi sumber daya yang adil dan efisien, tidak secara  otomatis terwujud dengan sendirinya berdasarkan kekuatan pasar. Harus ada lembaga pengawas dari otoritas pemerintah -yang dalam Islam- disebut lembaga hisbah.

    Kebebasan dalam konteks kajian prinsip ekonomi Islam dimaksudkan sebagai antitesis dari faham jabariyah (determenisme). Faham ini mengajarkan bahwa manusia bertindak dan berperilaku bukan atas dasar kebebasannya (pilihannya) sendiri, tetapi karena kehandak Tuhan (dipaksa Tuhan). Dalam faham ini manusia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang.

    Determinisme seperti itu, tidak hanya merendahkan harkat manusia, tetapi juga menafikan tanggung jawab manusia. Karena adalah tidak logis manusia diminta tanggung jawabnya, sementara ia melakukannya secara ijbari (terpaksa).

    Pengertian kebebasan dalam perspektif ushul fiqh berarti bahwa dalam muamalah, Islam membuka pintu seluas-luasnya di mana manusia bebas melakukan apa saja sepanjang tidak ada nash yang melarangnya. Aksioma ini didasarkan pada kaedah populer, ”Pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yanaga melarangnya”. Jika kita terjemahkan arti kebebasan bertanggung jawab ini ke dalam dunia binsis, khususnya perusahaan, maka kita akan mendapatkan bahwa Islam benar-benar memacu umatnya untuk melakukan inovasi apa saja, termasuk pengembangan teknologi dan diversifikasi produk.

    Pertanggung-jawaban (mas-uliyah) yang harus dihadapi manusia di akhirat juga merupakan konsukensi fungsi kekhalifahan manusia sebagai khalifah. Dalam kapasitasnya sebagai khalifah, manusia merupakan pemegang amanah (trustee), karena itu setiap pemegang amanah harus bertanggung jawab atas amanah yang dipercayakan untuknya. Pertanggung jawaban, accountability atau  masuliyah ditekankan dengan perintah dari Allah melalui istilah hisab atau perhitungan di hari pembalasan. Istilah hisab ditemukan 109 kali dalam Al-quran dari akar kata hisab (perhitungan), muhasib (penghitungan/akuntan) dan muhasabah sebagai pertanggung jawaban yang merupakan manifestasi dari perilaku kehidupan di dunia ini.

    Kepercayaan pada hari kiamat memiliki peranan penting dalam kehidupan seorang muslim yang harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Konsp pertanggung jawaban sudah ditetapkan oleh sunnatullah yang sangat ditekankan dalam Islam, bukan merupakan norma etika umum atau perundang-undangan negara. Konsep ini tertanam di masing-amsing individu muslim dan digambarkan dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya terbatas pada para profesional, akademisi atau pengusaha saja.

    Harus pula dipahami bahwa pertangggung-jawaban tidak hanya terbatas dalam konsep eskatologis (di akhirat), tetapi juga mencakup proses praktis di dunia ini, yakni berupa kemampuan analisis dan sajian ilmiah dalam akuntansi, misalnya apa yang diperintahkan Allah dalam Al-quran 2;282, ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk yang ditentukan, hendaklah kamu menulsikannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menulisnya dengan benar” (QS. 2;282).


    [1] Mereka antaralain Muhammad Syafi’i Antonio, Muhammad Yasir Nasution, Adiwarman karim dan sejumlah penulis lainnya.

    [2] Dalam berbagai forum baik di kelas maupun seminar, para peserta sering minta penjelasan tentang pengertian kebabasan dalam prinsip ekonomi Islam dan mereka sering memahaminya secara salah. Bahkan dalam buku ajar yang populer di Indonesia sebagaimana yang ditulis Adiwarman Karim dalam buku Ekonomi Mikro Islami (2002). Pengertian dan penjelasan kebebasan sama sekali jauh dari pengertian sesungguhnya. Artinya, penjelasannya tentang prinsip kebebasan menyimpang dari pengertian yang dimaksudkan para ahli ekonomi Islam dan ulama. Bandingkan dengan tulisan An-Naqvi, halaman,74 – 89.

    [3] Dalam filsafat materialisme Barat yang diajarkan Filosoof  Jean Paulk Sarter,’ Manusia ditakdirkan bebas, Tuhan  tidak ada”. Kekebasan manusia tidak terbatas dan bersifat mutlak. Tidak ada nilai-nilai yang transenden yang ditetapkan untuk umat manusia, tidak hukum Tuhan dan tidak teori Plato dan filosof Yunani lainnya. Satu-satunya fondasi untuk nilai-nilai adalah kebebasan manusia itu sendiri. (Jean Paul Sarter, Beingg and Nathingness dalam,  Anthony Manser, Sharter : A Philosopic Study, 1966.

    Comments (2)

    […] minta penjelasan tentang pengertian kebabasan dalam prinsip ekonomi Islam dan mereka sering … Download Kebebasan dan Tanggung Jawab sebagai Prinsip Ekonomi Islam … […]

    menurut saya tips and trik diwebsite ini sangat menarik apabila anda ingin menjadi mempelajari tentang finnace (Berinvestasi dengan baik)
    silahkan kunjungi website di bawah ini
    http://gi.gunadarma.ac.id/

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition