• Dapatkan 8 buku karya Agustianto, antara lain: Fikih Muamalah Ke-Indonesiaan, Maqashid Syariah, dalam Ekonomi dan Keuangan, Perjanjian (Akad) Perbankan Syariah, Hedging, Pembiayaan Sindikasi Syariah, Restrukturisasi Pembiayaan Bank Syariah, Ekonomi Islam Solusi Krisis Keuangan Global. Hub: 081286237144 Hafiz
  • Optimalisasi Peranan Dewan Pengawas Syari’ah (Bagian 2)

    0

    Posted on : 09-05-2011 | By : Agustianto | In : Artikel, Perbankan Syariah

    Oleh : Agustianto, MA

    Anggota DSN-MUI,  Ketua I Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan

    Dosen  Fikih  Muamalah Ekonomi Pascasarjana UI/TRisakti/Paramadina

    Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah badan independen yang ditempatkan oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) pada perbankan dan lembaga keuangan syariah. Anggota DPS harus terdiri dari para pakar di bidang syariah muamalah yang juga memiliki pengetahuan di bidang ekonomi  perbankan.

    Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN yang merupakan otoritas tertinggi dalam mengeluarkan fatwa mengenai kesesuaian produk dan jasa bank dengan ketentuan dan prinsip syariah. Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha bank agar tidak menyimpang dari ketentuan dan prisnip syariah yang telah difatwakan oleh DSN.

    Dewan Syariah Nasional (DSN) merupakan bagian dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan sektor keuangan pada khususnya, termasuk usaha bank, asuransi dan reksadana.

    Anggota DSN terdiri dari para ulama, praktisi dan pakar dalam bidang-bidang yang terkait dengan perekonomian dan syariah muamalah. Anggota DSN ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 4 tahun.

    Menurut MUI (SK MUI No Kep.754/II/1999) ada empat tugas pokok DSN:

    (1)   Menumbuh kembangkan penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan

    perekonomian,

    (2) Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan keuangan,

    (3) Mengeluarkan fatwa atas produk keuangan syariah, dan

    (4) Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.

     

    DSN merupakan satu-satunya badan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Di samping itu DSN juga mempunyai kewenangan untuk :

    (1)     memberikan atau mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai anggota DPS pada satu lembaga keuangan syariah.

    (2)     Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS di masing-masing lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar tindakan hukum fihak terkait.

    (3)     Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan BAPEPAM.

    (4)     Memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syariah untuk menghentikan penyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.

    (5)     Mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.

     

    Optimalisasi  peran DPS dan DSN

    Agar DPS dan DSN memiliki peran yang optimal dan signifikan, setidaknya ada lima hal penting yang harus menjadi perhatian  bersama

    Pertama, MUI menentukan klasifikasi keahlian pihak-pihak yang dapat diangkat menjadi anggota DSN atau DPS. Seperti di Sudan, Abdallah (1994) menyatakan bahwa anggota Department of Fatwa and Research (DFR) dan Higher Sharia Supervisory Board (HSSB) adalah orang-orang yang mempunyai keahlian di bidang Syariah (Islamic Jurisprudence), hukum dan ekonomi (akuntansi).

    Kedua, Bank Indonesia sudah mengeluarkan PBI (Peraturan bank Indonesia), tahun 2010 tentang Good Corporate Governance Bank Umum Syariah dan UUS.  Salah isinya adalah mengatur tentang peran dan kedudukan Dewan Pengawas Syariah. Menurut PBI tersebut, seorang konsultan bank syariah tidak boleh menjadi Dewan pengawas Syariah, hal ini bertujuan agar terjadi pola hubungan yang fair antara  konsultan, DPS dan bank syariah. Alangkah tidak fairnya,m jika seorang konsultan bank syariah merangkap juga sebagai DPS, maka usulan produk konsultan otomatis akan dioterima oleh DPSnya, karena DPSnya adalah konsultan itu sendiri.

     

    Selain itu, dulu kepada kami di DSN ada semacam kritikan, dimana   ada beberapa anggota DSN juga merupakan konsultan pada bank-bank syariah atau divisi unit syariah. Hal ini tentunya akan mengakibatkan adanya keraguan publik terhadap independensi DSN itu sendiri. Sebenarnya public tidak perlu ragu kalau ada anggota DSN yang berperan sebagai konsultan, karena mekanisme kerjanya tetap terpisah dan bekerja masing-masing. Apalagi di saat dimana jumlah pakar ekonomi syariah sangat terbatas. Independensi juga menurut saya tidak menjadi masalah.

     

    Mautz and Sharf (1996) menyatakan bahwa ada dua tipe independensi, independensi dalam berpikir dan independensi dalam bentuk fisik.Independensi dalam berpikir sangat ditentukan sekali oleh tingkat kejujuran mental dan berpikir seorang pengawas, sedangkan independensi dalam bentuk fisik tercermin dari sikap dan kedudukan antara si pengawas dengan objek yang diawasi. (Wirman Syafi’I, UIA Malaysia)

    Dengan kredibilitas dan komitmen mereka yang tinggi terhadap prinsip-prinsip syariah, independensi dalam berpikir anggota DSN merupakan suatu independensi yang tidak perlu lagi diragukan. Dengan bertindak sebagai konsultan pada bank-bank atau unit syariah, seorang anggota DSN sebenarnya tidak  kehilangan independensinya dalam bentuk fisik.

    Anggota DSN akan mengawasi operasional bank syariah yang terkadang  merupakan hasil dari konsultasi yang mereka berikan kepada bank-bank atau unit syariah tersebut.

    Kalaupun terkesan ada  semacam kurang  independensinya DSN tersebut, sebenarnya kesan itu kurang beralasan, karena selama ini saya sebagai angota DSN tetap merasa memiliki independensi yang tinggi dalam merumuskan fatwa. Kami memiliki standar ilmu syariah yang komprehensif dalam menatapkan fatwa-fatwa ekonomi syariah.

    Dalam masa transisi, dimana Indonesia masih kekurangan SDM, DSN MUI dan Bank Indonesia telah melakukan berbagai terobosan program dan juga kegiatan dalam rangka menambah jumlah sumber daya manusia yang ahli dalam bidang ekonomi syariah, seperti sertifikasi, annual meeting, seminar, workshop  dsb

    Ketiga, model pengawasan DPS  pasca kelauranya PBI tentang GCG Bank Syariah betul-betul aktif dan produktif.  Pada model pengawasan ini DPS  dilakukan oleh sebuah departemen syari’ah di suatu perbankan syari’ah. Dengan model ini ahli syariah bertugas full time, didukung oleh staf teknis yang membentu tugas-tugas pengawasan syariah yang telah digariskan oleh ahi syariah departemen tersebut. Jika model ini diterapkan secara fungsional, maka  tugas-tugas DPS sebagaimana yang dihekehendaki DSN dapat terwujud. Kalau DPS melanggar PBI dan sudah diingatkan sebanyhak tiga kali, maka selama 10 tahun, orang tersebut tidak boleh menjadi DPS.

    Keempat, di masa depan,  posisi DPS seharusnya sejajar dengan Komisaris. sehingga perannya dan kedudukannya sangat kuat. Ketentuan ini seyogianya masuk dalam Undang-Undang Perbankan Syari’ah. Apabila Dewan Pengawas Syari’ah terlepas dari Bank Indonesia, maka akibatnya, mereka bekerja dalam pengawasan itu, hanya sambilan saja. Padahal Islam menuntut profesionalisme dan keseriusan dalam setiap pekerjaan, termasuk dalam pengawasan. (Ini tulisan lama, sebelum keluarnmya UU No 21 tahun 2011. Tentang perbankan syariah)

    Kelima, Banyak usulan dari tokoh di daerah, agar  bank syari’ah memiliki DPS di daerah. Hal ini sejalan dengan semakin meluasnya kantor cabang perbankan syari’ah ke berbagai wilayah provinsi, bahkan kabupaten /kota. Usulan tersebut  positif dan perlu didukung, agar penerapan prinsip syari’ah lebih terjamin di daerah-daerah. Namun, banyak kendalanya antara lain masalah cost.

    Harus dicatat, meskipun DPS hanya ada di Pusat (kecuali BPD dan BPRS), saya selaku advisor (konsultan) salah satu bank syariah, sangat sering turun ke daerah memberikan pencerahan dan menguji kesyariahan akad-akad di daerah, Bahkan kini sebagian bank syariah sudah memiliki audit syariah secara khusus. Maka auditor syariah datang ke cabang-cabang, Jadi tidak perlu anggota DPS turun langsung ke daerah, bukankah sudah ada wakilnya, yaitu auditor syariah (sharia compliance).  Jadi meskipun DPS  yang berdomisili di Pusat sulit  memeriksa dan mengawasi  praktek dan kontrak-kontrak yang dilaksanakan bank syari’ah di daerah, namun tim audit yang ahli syariah dapat melakukannya.

    Penutup

    Untuk menjamin kemurnian penerapan nilai-nilai syari’ah pada praktek perbankan syari’ah dibutuhkan lembaga Pengawas Syariah yang berkualitas berkapasitas, berkompeten  dan kredible, yaitu memiliki kemampuan yang memadai di bidang syariah, hukum, serta  pengetahuan tentang keuangan dan perbankan. Untuk menjamin dipraktekkannnya sistem syari’ah secara konsisten di lembaga perbankan syari’ah, maka peranan DPS dan DSN  harus ditingkatkan secara signifikan.  Karena itulah Bank Indonesia dan DSN MUI selalu bekerjasama untuk meningkatkan kompetensi DPS dan mengoptimalkan peran DPS. Dalam rangka itulah Annual Meetring ke 5 di Ancol mengangkat tema Optimalisasi Peran DPS.  Upaya untuk mengamalkan ajaran syari’ah dalam  perbankan syariah terus ditingkatkan agar citra bank syariah makin baik.  Hal ini juga berarti, cita-cita kita untuk  mengamalkan Islam secara kaffah melalui institusi bank syari’ah dan lembaga keuangan syariah akan terwujud secara bertahap dan terprogram.

     

    Post a comment

    All Articles | Contact Us | RSS Feed | Mobile Edition